Friday, August 24, 2007

Mencermati Konsep Khilafah

  • Oleh A Adib

INTERNATIONAL Khilafah Conference (IKC) atau Konferensi Internasional Khilafah (KIK) 2007 berlangsung serempak di beberapa negara pada 12 Agustus 2007, Rajab 1428 Hijriah. Di Indonesia, IKC dilaksanakan di Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta.

"Saatnya Khilafah Memimpin Dunia". Demikian tema yang diusung untuk mengingatkan seluruh elemen bangsa, khususnya ulama, tentang hal yang dipercaya sebagai warisan Nabi Muhammad saw yang selama ini ditinggalkan, yaitu khilafah.

Mereka yang percaya sistem khilafah beranggapan, Islam tidak hanya menjadi agama semata, namun juga sebagai sistem politik. Era kekuasaan nabi Muhammad diteruskan oleh para Sahabat yang melembagakan sebuah sistem politik yang disebut khilafah.

Umat Islam yang percaya dengan sistem khilafah beranggapan, Nabi -di samping seorang rasul- juga menjadi kepala negara. Ia adalah penguasa tertinggi keagamaan dan politik. Madinah adalah negara pertama Islam di muka bumi ini, dan di dalamnya Islam mencapai bentuk yang sempurna.

Islam tidak hanya menjadi agama semata, namun juga sebagai sistem politik. Itu merupakan era kekuasaan yang diteruskan oleh para sahabat, yang melembagakan sebuah sistem politik yang disebut khilafah sebagai bentuk kekuasaan yang diidealkan untuk meneruskan sistem kekuasaan yang diwariskan oleh Nabi.

Tidak Mewariskan

Bagi sebagian besar umat Islam dunia yang tidak sependapat menyatakan, semua mesti didasarkan pada realitas sejarah. Padahal kenyataannya, sejarah Islam tak mewariskan sistem politik dan kekuasaan yang tunggal.

Ketika membangun masyarakat muslim di Madinah, Nabi tak pernah menetapkan satu bentuk kekuasaan. Nabi juga tak pernah berpesan bahwa orang-orang sepeninggalnya harus meneruskan tradisi kekuasaan yang telah ia bangun.

Kalaupun orang-orang sepeninggalnya mengembangkan satu bentuk kekuasaan yang disebut khilafah (orang-orangnya disebut al-khulafa al-rasyidin), itu adalah keputusan politik yang dibuat untuk merespons keadaan pada waktu tersebut.

Bukti bahwa Nabi tak pernah menetapkan satu bentuk kekuasaan politik tertentu, dapat dilihat dalam proses pengangkatan keempat khalifah, yang semuanya berkesan ad hoc serta tidak ada model yang secara konsisten diikuti dari waktu ke waktu.

Abu Bakar Shiddiq diangkat secara aklamasi dan demokratis, meski hanya oleh kalangan sahabat muhajirin. Lain halnya dengan Umar bin Khattab yang diangkat melalui wasiat, dan Utsman bin Affan yang diangkat melalui tim formatur yang diprakarsai oleh Umar, serta Ali bin Abi Thalib yang diangkat melalui aklamasi.

Tak mengherankan, jika Abdullahi Ahmad An-Naim, intelektual asal Sudan, bertanya, mana yang disebut sistem khilafah: aklamasi, wasiat, atau formatur. Itu menunjukkan bahwa urusan politik dalam Islam adalah urusan dunia. Nabi sendiri memberi kebebasan untuk berijtihad dengan sabdanya: "Kamu semua lebih mengerti urusan duniamu.'' Dasar itulah, yang dijadikan landasan para sahabat dalam menentukan sistem politik yang sesuai dengan kondisi saat itu, sehingga cara pengangkatan keempat sahabat Nabi pun berbeda-beda.

Lain pula sistem politik pada periode Tabiin setelah periode sahabat. Terjadi perubahan mendasar dalam sistem kekuasaan. Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah mengembangkan sistem dinasti, yakni kekuasaan diwariskan menurut garis keluarga. Tradisi yang dikembangkan oleh generasi sahabat sama sekali ditinggalkan.

Kekuasaan Berubah

Sejarah menunjukkan, dalam Islam bentuk kekuasaan berubah dari masa ke masa. Generasi sahabat mengembangkan cara-cara yang berbeda dari generasi Tabiin, dan demikian seterusnya.

Bentuk-bentuk kekuasaan berubah sesuai dengan kondisi dan situasi. Tidak ada satu bentuk kekuasaan lebih islami dari bentuk lainnya, dalam pengertian bahwa bentuk kekuasaan tertentu berasal dan sesuai dengan Islam, sementara lainnya tidak.

Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa sejak awal Islam tak memperkenalkan satu bentuk kekuasaan. Islam hanya menekankan pentingnya moral dalam kekuasaan.

Menjadi ironis, jika periode dinasti Islam pada kejayaan dinasti Umayyah dan Abbasiyyah -yang berhasil membangun peradaban Islam sebagai peradaban dunia- seringkali dirujuk oleh para pendukung sistem khilafah sebagai puncak dari sistem khilafah Islam.

Padahal, di zaman dinasti Islam, kekuasaan sudah banyak berubah dan terkadang menjadi despotisme yang jelas-jelas bertentangan dengan moral agama. Para khalifah naik ke panggung kekuasaan dengan cara-cara yang tidak terpuji dan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Puncak dari despotisme adalah ketika khalifah mengklaim diri sebagai bayang-bayang Tuhan di muka bumi. Irulah, ironi ketika sekelompok orang menganggap konsep khilafah sebagai bagian yang paling inheren dari agama, dan konsep tersebut dipercaya sebagai konsep kekuasaan yang diperkenalkan Nabi kepada para Sahabatnya.

Tugas umat, menurut mereka, adalah mengembalikan kekuatan umat yang tercerai berai tersebut ke dalam sistem khilafah. Pandangan seperti itu memunculkan reaksi dan tanggapan, karena tidak sesuai dengan realitas sejarah. Bahkan muncul tuduhan, bahwa konsep khilafah dimunculkan sebagai akibat dari ketidakmampuan sebagian umat Islam dalam menghadapi persaingan dunia saat ini. Mereka pun berusaha melakukan refleksi, namun tidak dibarengi dengan kritisisme yang tinggi.

Sejarah mengajarkan bahwa kejayaan Islam pada masa lalu tidak disebabkan oleh sistem politik tertentu saja, sebab kenyataannya sejarah Islam tak mewariskan sistem politik dan kekuasaan yang tunggal.

Ali Abdurraziq dari Mesir dalam bukunya yang kontroversial Al-Islam wa Ushul al-Hukm: Bats fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam, menyatakan, Islam sama sekali tidak mengenal sistem khalifah. Sistem khilafah diciptakan oleh orang per orang sepeninggal Nabi saw sebagai ijtihad politik.

Pelajaran paling penting yang diberikan Abdurraziq dalam bukunya itu adalah, bahwa urusan politik dan kekuasaan merupakan urusan dunia, dan urusan dunia diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Agama hanya menjadi moral yang mengontrol jalannya kekuasaan. Islam adalah risalah.

Pada 1924, khilafah Islam di Istambul dengan Sultan Abdul Hamid II sebagai penguasa, secara resmi dihapus oleh Mustafa Kamal Attaturk. Peristiwa itu secara simbolis menghapus sistem khilafah dari dunia Islam.

Setahun kemudian, baik Attaturk maupun Abdurraziq menyadari bahwa sistem khilafah yang pernah menguasai dunia Islam selama 13 abad tidak dapat mengatasi berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh modernisme. Sistem itu harus digantikan dengan rasionalisme.

Itu jelas bukan ironi, karena membuka mata hati dan pikiran umat Islam agar tidak terbelenggu oleh sebuah konsep politik lama untuk berijtihad kembali. Tidak salah dan tidak dosa bagi yang meninggalkan sistem khilafah untuk memilih yang lebih tepat saat ini, seperti Nabi membebaskan para Sahabat melalui sabdanya (yang artinya): " Kamu semua lebih mengerti urusan duniamu.''(68)

--- A Adib, wartawan Suara Merdeka di Jakarta.

No comments: