Tuesday, August 21, 2007

Mencari Islamisme ideal


KH Prof.Dr. Jalaluddin Rakhmat


Kira-kira dua bulan setelah saya masuk Islam, mahasiswa-mahasiswa Islam di universitas tempat saya mengajar mulai mengadakan pengajian setiap Jumaat malam di masjid universitas. Ceramah kedua disampaikan oleh Hisyam, seorang mahasiswa kedokteran yang sangat cerdas yang telah belajar di Amerika selama hampir sepuluh tahun. Saya sangat menyukai dan menghormati Hisyam. Dia berbadan agak bulat dan periang, dan mukanya tampak sangat ramah. Dia juga mahasiswa Islam yang sangat bersemangat.

Malam itu Hisyam berbicara tentang tugas dan tanggungjawab seorang Muslim. Dia berbicara panjang lebar tentang ibadah dan kewajiban etika orang yang beriman. Ceramahnya sangat menyentuh dan telah berjalan kira-kira satu jam ketika dia menutupnya dngan ucapan yang tidak disangka-sangka berikut ini.

“Akhirnya, kita tidak dapat lupa - dan ini benar-benar penting - bahwa sebagai orang Muslim, kita wajib untuk merindukan, dan ketika mungkin berpartisipasi di dalamnya, yakni menggulingkan pemerintah yang tidak Islami - di mana pun di dunia ini - dan menggantinya dengan pemerintahan Islam.”


“Hisyam!” Saya mencela. “Apakah anda bermaksud mengatakan bahwa warga negara Muslim Amerika harus melibatkan diri dalam penghancuran pemerintah Amerika? Sehingga mereka harus menjadi pasukan kelima di Amerika; suatu gerakan revolusioner bawah tanah yang berusaha untuk menggulingkan pemerintah? Apakah yang kamu maksudkan adalah jika seorang Amerika masuk Islam, dia harus melibatkan diri dalam pengkhianatan politik?!”

Saya berfikir begitu dengan maksud memberikan Hisyam suatu skenario yang sangat ekstrem, sehingga dapat memaksanya untuk melunakkan atau merubah pernyataannya. Dia menundukkan pandangannya ke lantai sementara dia merenungi pertanyaan saya sebentar. Kemudian dia menatap saya dengan suatu ekspresi yang mengingatkan saya terhadap seorang doktor yang hendak menyampaikan khabar kepada pesakitnya bahwa tumornya adalah tumor berbahaya. “Ya,” dia berkata, “Ya, itu benar.”

Dr. Jeffrey Lang, muslim Amerika yang juga profesor matematik di Universitas Kansas, menceritakan pengalaman di atas untuk menunjukkan betapa “absurdnya” gagasan mendirikan negara Islam bagi orang Islam di Amerika. “Bagi mereka, ide bahwa kaum Muslim – menurut agama mereka - berkewajiban untuk menyerang negara-negara yang tidak agresif seperti Swiss, , Ekuador atau jika mereka tidak mau tunduk kepada Islam sangat tidak masuk akal, ” kata Dr. Lang selanjutnya. Anehnya, di mana saja Dr. Lang menemukan wacana negara Islam ini dikemukakan, baik di meja diskusi ilmiah maupun di medan perang. Ia mencuba mencari sejak bila wacana ini muncul dan apa alasannya.

Dar Al-Islam dan Dar Al-Harb

Dari penelitiannya yang panjang, bukan sebagai orientalis tetapi sebagai pengamat partisipan, ia memperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, ide “negara Islam” – al-dawlah al-islamiyyah - bermula dari keinginan untuk menjalankan syariat Islam dalam konteks sosial politik umat Islam kontemporer. Kedua, ide negara Islam ditunjang oleh konsep klasik dar al-Islam dan dar al-harb. Dunia ini dibagi dua. Satu bahagian dunia di perintah dengan syariat Islam dan sisanya diperintah oleh aturan bukan ajaran Islam. Dalam bahasa Sayyid Quthub, dalam bukunya yang sangat revolusioner, Ma’alim fi al-Thariq, satu bahagian hidup dalam lindungan al-nizham al-Islami, dan bahagian lain dalam al-nizham al-jahili. Dr. Lang merumuskannya dengan bagus:

Formulasi hukum politik ini memisahkan dunia menjadi dua wilayah yang tidak ada sangkut-pautnya; dar al-Islam, negara yang diperintah oleh kaum Muslim menurut syariah (hukum Islam), dan dar al-harb, negara yang tidak di bawah kendali orang Muslim yang mana harus di tundukkan dengan jalan, kalau perlu, penaklukkan, supaya tunduk di bawah pemerintahan Islam. Menurut teori ini, keadaan perang yang terus menerus terjadi antara wilayah Muslim dan non-Muslim. Banyak orang dalam dunia akademia dan media Barat menyatakan bahwa teori ini memperlihatkan karakter Islam yang suka perang.

Menurut teori Dar Al-Islam dan Dar Al-Harb (untuk selanjutnya saya sebut DIH), kita harus terus menerus dalam situasi berperang sebelum seluruh dunia ini diperintah oleh syariat Islam. Untuk itu, yang menjadi alasan utama adalah ayat Al-Quran surat Al-Taubah ayat 5, terkenal sebagai ayat pedang: Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dalam penelitian Dr. Lang, semua ayat yang berkenaan dengan perang menyiratkan bahwa Islam memperkenankan peperangan hanya untuk mempertahankan diri atau membela korban-korban kesewenang-wenangan dan penindasan. Bahkan ayat pedang yang baru saja disebut, berkenaan dengan Perjanjian Hudaibiyah yang dilanggar oleh orang-orang musyrik. Sebahagian besar para ulama tafsir menyebutkan ayat pedang sebagai ayat yang “bertentangan” dengan ayat-ayat perintah perang dengan tujuan mempertahankan diri atau menentang penindasan. Untuk mengatasi “pertentangan” ini, dikemukakanlah teori nasikh-mansukh. Ayat-ayat yang melarang agresi ketenteraan (QS. Al-Baqarah; 191-193; QS. Al-Baqarah; 256; QS. Al-Nisa; 91; QS. Al-Anfal; 61), dimansukh oleh QS. Al-Taubah; 5. Dr. Lang mengutip teori nasikh-mansukh ini dari salah seorang aktivis, Muhammad Abdul Salam Faraj, yang di hukum gantung pada tanggal 15 April 1982 bersama dengan kelompok yang dituduh membunuh Presiden Anwar Sadat. Ia menulis dalam ‘kewajiban yang di lalaikan’:

Kebanyakan ahli tafsir menyatakan pendapat tertentu tentang ayat yang mereka sebut ayat pedang (QS. Al-Taubah; 5). Inilah ayat itu: “Apabila telah usai bulan-bulan haram itu, bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu menjumpai mereka, tangkap mereka, kepung mereka, dan sergap mereka.”

Ibnu Katsir menulis dalam tafsirnya: Al-Dahak ibn Muzahim berkata, “(Ayat ini) membatalkan perjanjian, kontrak, dan kesepakatan apa pun antara Nabi dan orang kafir.” Al-‘Ufi berkata tentang ayat ini, “Menurut Ibn ‘Abbas: Tidak ada persetujuan, tidak ada fakta pertahanan dengan orang-orang kafir yang dikenal setelah diturunkannya perintah pembatalan tuntutan kewajiban yang ditetapkan oleh perjanjian itu.”

Mufassir Muhammad ibn Ahmad ibn Juzzay Al-Kalbi berkata, “Pembatalan perintah untuk berdamai dengan orang-orang kafir, memaafkan mereka, berhubungan dengan mereka secara pasif, dan mentoleransi penghinaan-penghinaan mereka adalah sebelum perintah memerangi mereka. Oleh karena itu, tampaklah berlebihan jika pembatalan perintah hidup dengan damai bersama orang-orang kafir diulang dalam setiap bacaan Al-Quran. Perintah hidup secara damai dengan mereka disampaikan dalam 114 ayat yang tersebar di 54 surat. Semua ayat itu dihapuskan oleh ayat QS. Al-Taubah; 5 dan QS. Al-Baqarah; 216 (Ayat: Diwajibkan atas kamu untuk berperang).

Argumentasi nasikh-mansukh ini sudah kita ketahui sangat rentan kritik. Pertama, semua hadis yang dijadikan dalil nasikh-mansukh terhitung hadis yang lemah. Kedua, banyak pertentangan di antara para ulama tentang ayat yang dinasakh, dan dengan ayat mana ia dinasakh. Ketiga, formula teori nasikh-mansukh ini juga di ikhtilafkan di antara para ulama ‘Ulum Al-Quran. Keempat, nasikh-mansukh dikemukakan untuk “mendamaikan” ayat-ayat yang bertentangan; padahal Al-Quran sendiri menegaskan tidak ada pertentangan di dalamnya dan “akhirnya” menurut Dr. Lang, “Teori nasikh-mansukh ini kelihatannya mendakwa bahwa Tuhan menurunkan informasi yang berlebih dan dalam wahyu terakhir pada umat manusia sehingga Dia harus sering-sering menilai sendiri selama proses penyampaiannya. Persepsi ini sangat sulit di sesuaikan dengan gambaran Al-Quran tentang Tuhan. Tidak mengherankan cukup banyak muallaf Islam memberi tahu saya bahwa mereka betul-betul kaget dan keimanannya sangat tergoncang ketika pertama kali menemukan teori ini.”

Pemerintahan Khilafah

Kita tinggalkan Dr. Lang dan mencoba memahami teori “negara Islam” ini dari apa yang disebut oleh Eickelman dan Piscatori sebagai konsep baru yang dimunculkan para pemikir Islam abad kedua-puluh untuk “reinventing tradition.” Negara Islam dapat dihubungkan dengan sistem khalifah, yang merujuk pada pemerintahan Khulafa Al-Râsyidin. Sistem khalifah adalah tradisi pertama dalam menerapkan syariat Islam pada kehidupan bernegara. Abu Al-Hasan Al-Mawardi (991-1058) merumuskan konsep khilafah ini dalam makalahnya yang terkenal Kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah. Menurut Al-Mawardi, pemerintah Islam diperlukan untuk melaksanakan syariat Islam. Adalah pembaharu Islam dari Mesir, Sayyid Rasyid Ridha, yang menghubungkan sistem khalifah ini dengan konsep negara Islam. Ia melihat sistem khilafah yang dijalankan oleh empat khalifah yang pertama sebagai contoh ideal pemerinatahan Islam. Hukumat Al-Khilafah adalah al-khilafah al-Islamiyyah. Karena tidak mungkin kita menghidupkan kembali sistem khilafah, kita aplikasikan sistem khilafah pada negara Islam modern.

Sudah banyak kritik pada sistem khilafah ini. Tidak mungkin tulisan singkat ini meliput semua argumentasinya. Saya hanya akan menyampaikan pokok-pokok argumentasi terhadap sistem khilafah. Pertama, sistem pemerintahan khulafa al-rasyidin itu – bila mempelajari tarikh agak mendalam - tidaklah seideal seperti yang digambarkan. Saya takut menyebutkan contoh-contohnya karena pembaca akan menganggap saya “menyerang kesucian para sahabat Nabi”. Cukuplah saya mengutip lagi, pernyataan Munawir Sadzali, yang menyebut sahabat Nabi itu sebagai “political animals”. Kedua, di antara para khalifah itu sendiri terdapat perbedaan sistem pemerintahan. Misalnya, dalam hal pengangkatan ketua pemerintahan. Abu Bakar dipilih melalui perhimpunan singkat dan tergesa-gesa –menurut Umar bin Khaththab “faltah”- di Saqifah Bani Sa’idah. Tidak semua yang hadir dalam rapat itu setuju dengan pemilihan Abu Bakar. Umar diangkat melalui surat semacam “Supersemar” oleh Abu Bakar ketika ia sakit. Surat itu sendiri ditulis oleh Utsman yang kemudian menisbahkan surat itu kepada Abu Bakar tanpa seorang saksi pun. Utsman ditunjuk oleh Dewan Pembentukan yang semua anggotanya diangkat oleh Umar menjelang kematiannya. Ali diangkat atas desakan penduduk Madinah yang baru saja mengalami kerusuhan karena pembunuhan Utsman. Sebagai tambahan, tidak perlu disebutkan bahwa setiap khalifah yang empat itu memerintah dengan gaya yang berbeda.

Kedua, secara historis sistem khilafah ini tidak pernah dijadikan rujukan pemerintahan, kecuali ketika Utsmaniyyah mengalami keruntuhan pada abad XVIII dan XIX. Penguasa Utsmaniyyah ingin memberikan legitimasi kepada kekuasaannya dengan menemukan kembali tradisi khilafah. Disebarkan juga cerita bahwa sebelum kejatuhannya, khalifah terakhir Abbasiyyah menitipkan khilafah kepada Usmaniyyah, dengan begitu dibuatlah silsilah sampai kepada Rasulullah saw. “There were obvious political reasons why Ottoman sultans of the age of decline reformulated an appropriated the classical theory of the caliphate,” kata Halil Inalcik dalam The Cambridge Historical Islam.

Ketiga, berkaitan dengan fungsi khilafah sebagai pelaksana syariat Islam, kita melihat apa yang disebut sebagai syariat Islam itu berubah-ubah sepanjang sejarah. Pada pemerintahan reformasi Ottoman – tanzimat 1839-1876 – dibuat perundangan tentang hukum pidana dan dagang di Eropah. Di Mesir, undang-undang tentang waqaf dirumuskan berbeda dengan ketentuan waqaf seperti ada pada kitab-kitab fiqih klasik. Bahkan Arab Saudi, yang terkenal konservatif, telah mengundang-undangkan The Social Insurance Law, yang berbeda dengan fiqih klasik tentang faraidh. Di Iran sekarang telah terjadi banyak perundangan baru yang dianggap bagian dari syariat Islam, tetapi berbeda dengan kompendium fiqih klasik. Walhasil, dakwaan bahwa syariat Islam tidak berubah-ubah memerlukan pemikiran lagi kita semua.

Wilayat Al-Faqih

Dari khazanah Ahlus Sunnah, kita berpindah ke khazanah Syiah. Konsep negara Islam dirumuskan oleh Imam Khomeini dalam wilayat al-Faqih. Saya juga tidak akan mengulang kembali konsep ini yang sudah saya tulis pada tempat lain. Pada pokoknya, para fuqaha adalah orang yang melanjutkan kepemimpinan para Nabi dari para imam. Konsep wilayat al-Faqih ini sedang dan telah mengalami modifikasi berkali-kali. Kita dapat membuat rentangan konsep ini dari dalam spektrum dari statis ke populis. Wilayat al-Faqih Syaikh Jawad Mughniyyah sangat populis; sedangkan wilayat al-Faqih dari Ayatullah Khayri sangat statis.

Walaupun konsep ini lahir dari ijtihad ulama Syiah, di kalangan Ahlus Sunnah pun kita melihat kecenderungan untuk mengartikan negara Islam sebagai negara yang diperintah oleh ahli fiqih. Anda dapat menemukan konsep ini bahkan pada konsep politik dari para ulama Partai Islam SeMalaysia (PAS), setelah memenangkan pemilu kebelakangan ini. Syariat tidak lain daripada ketentuan hukum sebagaimana dirumuskan oleh para ulama.. Saya agak ngeri membayangkan hidup dalam pemerintahan Islam seperti ini di . Para ulama mungkin sepakat untuk memutuskan bahwa saya murtad, dan karena itu harus dihukum mati. Atau, seperti , saya akan ditembak karena tidak berjanggut.

Kesatuan Al-Din dan Al-Dawlah

Imam Khomeini, seperti juga para pemikir Islam lainnya, menegakkan argumentasi tentang negara Islam pada ketidak-terpisahan antara agama dan negara dalam Islam. Bukankah sangat aneh bila Islam yang mengatur kaki mana yang masuk ke tandas tetapi tidak mengatur negara; padahal negara sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Kesatuan antara al-din dan al-dawlah juga sering di nisbahkan kepada Nabi saw yang menghimpun dalam dirinya kekuasaan spiritual dan politik sekaligus.

Pada prinsipnya, saya setuju dengan kesatuan agama dan negara; namun tidak dalam pengertian keharusan mendirikan negara agama Islam. Saya sependapat dengan kesatuan the religious dan the political; tetapi tidak dalam bentuk Islamic State. Dalam makalah ini saya tidak akan memperincikan bentuk alternatif ini kecuali sekadar menegaskan bahwa keterlibatan Islam dalam politik harus ditujukan untuk menegakkan keadilan, menentang tirani, membela mustadhafin, memajukan perdamaian, dan kesejahteraan umat manusia. Pada bagian terakhir ini, saya juga hanya ingin menyampaikan beberapa kesukaran untuk mempertahankan konsep kesatuan agama dan negara sebagai karakteristik khas ajaran Islam (saya merujuk kepada Eickelman dan Piscatori lagi dalam Muslim Politics).

Pertama, tidak adanya pemisahan antara urusan negara dengan urusan agama bukan hanya khas Islam. Moral Majority di Amerika, teologi pembebasan di negara-negara Amerika Latin, aktivis Sikh di India, pendeta Budha di Myanmar dan Vietnam, semua berpendapat bahwa urusan negara tidak dapat dipisahkan dari urusan agama. Kedua, karena agama tidak dapat dipisahkan dari politik maka seluruh kehidupan menjadi sangat politis. Muatan politik yang mencakup berbagai kegiatan muslim menyebabkan umat Islam tidak mampu dan tidak merasa perlu membangun struktur politik. Ketiga, penegasan kesatuan ini menegaskan persepsi kaum orientalis bahwa politik Islam, berbeda dengan politik yang lain adalah politik yang tidak rasional, emosional, tak terkendalikan dan sulit diramalkan. Kembali kepada cerita Dr. Lang, orang yang menganut fahaman negara Islam memperkuat anggapan Barat bahwa Islam adalah agama kekerasan, agama agresif, agama yang tidak dapat diajak berdamai.

Kesimpulan

Saya tidak punya kesimpulan apa pun. Tulisan ini dibuat tidak sebagai tulisan ilmiah. Ia hanyalah kumpulan coretan dan renungan saya selama ini. Saya tidak tahu apakah hasil refleksi ini konstruktif atau destruktif. Yang pasti, pandangan saya dalam tulisan ini sudah berbeda jauh dengan pandangan politik saya sebelumnya. Terserah kepada anda untuk menerima atau menolaknya. Jika anda ikut merenungkan kembali pandangan anda sebelumnya, anda sudah bergabung bersama saya. Tidak dalam partai politik, tetapi dalam “reinventing traditions.”


Nota: Makalah Jalaluddin Rakhmat ini merupakan hasil dari sebuah diskusi di Kelab Kajian Agama Paramadina, Jakarta, 20 Oktober 2000.


KH Prof.Dr. Jalaluddin Rakhmat


Kira-kira dua bulan setelah saya masuk Islam, mahasiswa-mahasiswa Islam di universitas tempat saya mengajar mulai mengadakan pengajian setiap Jumaat malam di masjid universitas. Ceramah kedua disampaikan oleh Hisyam, seorang mahasiswa kedokteran yang sangat cerdas yang telah belajar di Amerika selama hampir sepuluh tahun. Saya sangat menyukai dan menghormati Hisyam. Dia berbadan agak bulat dan periang, dan mukanya tampak sangat ramah. Dia juga mahasiswa Islam yang sangat bersemangat.

Malam itu Hisyam berbicara tentang tugas dan tanggungjawab seorang Muslim. Dia berbicara panjang lebar tentang ibadah dan kewajiban etika orang yang beriman. Ceramahnya sangat menyentuh dan telah berjalan kira-kira satu jam ketika dia menutupnya dngan ucapan yang tidak disangka-sangka berikut ini.

“Akhirnya, kita tidak dapat lupa - dan ini benar-benar penting - bahwa sebagai orang Muslim, kita wajib untuk merindukan, dan ketika mungkin berpartisipasi di dalamnya, yakni menggulingkan pemerintah yang tidak Islami - di mana pun di dunia ini - dan menggantinya dengan pemerintahan Islam.”


“Hisyam!” Saya mencela. “Apakah anda bermaksud mengatakan bahwa warga negara Muslim Amerika harus melibatkan diri dalam penghancuran pemerintah Amerika? Sehingga mereka harus menjadi pasukan kelima di Amerika; suatu gerakan revolusioner bawah tanah yang berusaha untuk menggulingkan pemerintah? Apakah yang kamu maksudkan adalah jika seorang Amerika masuk Islam, dia harus melibatkan diri dalam pengkhianatan politik?!”

Saya berfikir begitu dengan maksud memberikan Hisyam suatu skenario yang sangat ekstrem, sehingga dapat memaksanya untuk melunakkan atau merubah pernyataannya. Dia menundukkan pandangannya ke lantai sementara dia merenungi pertanyaan saya sebentar. Kemudian dia menatap saya dengan suatu ekspresi yang mengingatkan saya terhadap seorang doktor yang hendak menyampaikan khabar kepada pesakitnya bahwa tumornya adalah tumor berbahaya. “Ya,” dia berkata, “Ya, itu benar.”

Dr. Jeffrey Lang, muslim Amerika yang juga profesor matematik di Universitas Kansas, menceritakan pengalaman di atas untuk menunjukkan betapa “absurdnya” gagasan mendirikan negara Islam bagi orang Islam di Amerika. “Bagi mereka, ide bahwa kaum Muslim – menurut agama mereka - berkewajiban untuk menyerang negara-negara yang tidak agresif seperti Swiss, , Ekuador atau jika mereka tidak mau tunduk kepada Islam sangat tidak masuk akal, ” kata Dr. Lang selanjutnya. Anehnya, di mana saja Dr. Lang menemukan wacana negara Islam ini dikemukakan, baik di meja diskusi ilmiah maupun di medan perang. Ia mencuba mencari sejak bila wacana ini muncul dan apa alasannya.

Dar Al-Islam dan Dar Al-Harb

Dari penelitiannya yang panjang, bukan sebagai orientalis tetapi sebagai pengamat partisipan, ia memperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, ide “negara Islam” – al-dawlah al-islamiyyah - bermula dari keinginan untuk menjalankan syariat Islam dalam konteks sosial politik umat Islam kontemporer. Kedua, ide negara Islam ditunjang oleh konsep klasik dar al-Islam dan dar al-harb. Dunia ini dibagi dua. Satu bahagian dunia di perintah dengan syariat Islam dan sisanya diperintah oleh aturan bukan ajaran Islam. Dalam bahasa Sayyid Quthub, dalam bukunya yang sangat revolusioner, Ma’alim fi al-Thariq, satu bahagian hidup dalam lindungan al-nizham al-Islami, dan bahagian lain dalam al-nizham al-jahili. Dr. Lang merumuskannya dengan bagus:

Formulasi hukum politik ini memisahkan dunia menjadi dua wilayah yang tidak ada sangkut-pautnya; dar al-Islam, negara yang diperintah oleh kaum Muslim menurut syariah (hukum Islam), dan dar al-harb, negara yang tidak di bawah kendali orang Muslim yang mana harus di tundukkan dengan jalan, kalau perlu, penaklukkan, supaya tunduk di bawah pemerintahan Islam. Menurut teori ini, keadaan perang yang terus menerus terjadi antara wilayah Muslim dan non-Muslim. Banyak orang dalam dunia akademia dan media Barat menyatakan bahwa teori ini memperlihatkan karakter Islam yang suka perang.

Menurut teori Dar Al-Islam dan Dar Al-Harb (untuk selanjutnya saya sebut DIH), kita harus terus menerus dalam situasi berperang sebelum seluruh dunia ini diperintah oleh syariat Islam. Untuk itu, yang menjadi alasan utama adalah ayat Al-Quran surat Al-Taubah ayat 5, terkenal sebagai ayat pedang: Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dalam penelitian Dr. Lang, semua ayat yang berkenaan dengan perang menyiratkan bahwa Islam memperkenankan peperangan hanya untuk mempertahankan diri atau membela korban-korban kesewenang-wenangan dan penindasan. Bahkan ayat pedang yang baru saja disebut, berkenaan dengan Perjanjian Hudaibiyah yang dilanggar oleh orang-orang musyrik. Sebahagian besar para ulama tafsir menyebutkan ayat pedang sebagai ayat yang “bertentangan” dengan ayat-ayat perintah perang dengan tujuan mempertahankan diri atau menentang penindasan. Untuk mengatasi “pertentangan” ini, dikemukakanlah teori nasikh-mansukh. Ayat-ayat yang melarang agresi ketenteraan (QS. Al-Baqarah; 191-193; QS. Al-Baqarah; 256; QS. Al-Nisa; 91; QS. Al-Anfal; 61), dimansukh oleh QS. Al-Taubah; 5. Dr. Lang mengutip teori nasikh-mansukh ini dari salah seorang aktivis, Muhammad Abdul Salam Faraj, yang di hukum gantung pada tanggal 15 April 1982 bersama dengan kelompok yang dituduh membunuh Presiden Anwar Sadat. Ia menulis dalam ‘kewajiban yang di lalaikan’:

Kebanyakan ahli tafsir menyatakan pendapat tertentu tentang ayat yang mereka sebut ayat pedang (QS. Al-Taubah; 5). Inilah ayat itu: “Apabila telah usai bulan-bulan haram itu, bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kamu menjumpai mereka, tangkap mereka, kepung mereka, dan sergap mereka.”

Ibnu Katsir menulis dalam tafsirnya: Al-Dahak ibn Muzahim berkata, “(Ayat ini) membatalkan perjanjian, kontrak, dan kesepakatan apa pun antara Nabi dan orang kafir.” Al-‘Ufi berkata tentang ayat ini, “Menurut Ibn ‘Abbas: Tidak ada persetujuan, tidak ada fakta pertahanan dengan orang-orang kafir yang dikenal setelah diturunkannya perintah pembatalan tuntutan kewajiban yang ditetapkan oleh perjanjian itu.”

Mufassir Muhammad ibn Ahmad ibn Juzzay Al-Kalbi berkata, “Pembatalan perintah untuk berdamai dengan orang-orang kafir, memaafkan mereka, berhubungan dengan mereka secara pasif, dan mentoleransi penghinaan-penghinaan mereka adalah sebelum perintah memerangi mereka. Oleh karena itu, tampaklah berlebihan jika pembatalan perintah hidup dengan damai bersama orang-orang kafir diulang dalam setiap bacaan Al-Quran. Perintah hidup secara damai dengan mereka disampaikan dalam 114 ayat yang tersebar di 54 surat. Semua ayat itu dihapuskan oleh ayat QS. Al-Taubah; 5 dan QS. Al-Baqarah; 216 (Ayat: Diwajibkan atas kamu untuk berperang).

Argumentasi nasikh-mansukh ini sudah kita ketahui sangat rentan kritik. Pertama, semua hadis yang dijadikan dalil nasikh-mansukh terhitung hadis yang lemah. Kedua, banyak pertentangan di antara para ulama tentang ayat yang dinasakh, dan dengan ayat mana ia dinasakh. Ketiga, formula teori nasikh-mansukh ini juga di ikhtilafkan di antara para ulama ‘Ulum Al-Quran. Keempat, nasikh-mansukh dikemukakan untuk “mendamaikan” ayat-ayat yang bertentangan; padahal Al-Quran sendiri menegaskan tidak ada pertentangan di dalamnya dan “akhirnya” menurut Dr. Lang, “Teori nasikh-mansukh ini kelihatannya mendakwa bahwa Tuhan menurunkan informasi yang berlebih dan dalam wahyu terakhir pada umat manusia sehingga Dia harus sering-sering menilai sendiri selama proses penyampaiannya. Persepsi ini sangat sulit di sesuaikan dengan gambaran Al-Quran tentang Tuhan. Tidak mengherankan cukup banyak muallaf Islam memberi tahu saya bahwa mereka betul-betul kaget dan keimanannya sangat tergoncang ketika pertama kali menemukan teori ini.”

Pemerintahan Khilafah

Kita tinggalkan Dr. Lang dan mencoba memahami teori “negara Islam” ini dari apa yang disebut oleh Eickelman dan Piscatori sebagai konsep baru yang dimunculkan para pemikir Islam abad kedua-puluh untuk “reinventing tradition.” Negara Islam dapat dihubungkan dengan sistem khalifah, yang merujuk pada pemerintahan Khulafa Al-Râsyidin. Sistem khalifah adalah tradisi pertama dalam menerapkan syariat Islam pada kehidupan bernegara. Abu Al-Hasan Al-Mawardi (991-1058) merumuskan konsep khilafah ini dalam makalahnya yang terkenal Kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyyah. Menurut Al-Mawardi, pemerintah Islam diperlukan untuk melaksanakan syariat Islam. Adalah pembaharu Islam dari Mesir, Sayyid Rasyid Ridha, yang menghubungkan sistem khalifah ini dengan konsep negara Islam. Ia melihat sistem khilafah yang dijalankan oleh empat khalifah yang pertama sebagai contoh ideal pemerinatahan Islam. Hukumat Al-Khilafah adalah al-khilafah al-Islamiyyah. Karena tidak mungkin kita menghidupkan kembali sistem khilafah, kita aplikasikan sistem khilafah pada negara Islam modern.

Sudah banyak kritik pada sistem khilafah ini. Tidak mungkin tulisan singkat ini meliput semua argumentasinya. Saya hanya akan menyampaikan pokok-pokok argumentasi terhadap sistem khilafah. Pertama, sistem pemerintahan khulafa al-rasyidin itu – bila mempelajari tarikh agak mendalam - tidaklah seideal seperti yang digambarkan. Saya takut menyebutkan contoh-contohnya karena pembaca akan menganggap saya “menyerang kesucian para sahabat Nabi”. Cukuplah saya mengutip lagi, pernyataan Munawir Sadzali, yang menyebut sahabat Nabi itu sebagai “political animals”. Kedua, di antara para khalifah itu sendiri terdapat perbedaan sistem pemerintahan. Misalnya, dalam hal pengangkatan ketua pemerintahan. Abu Bakar dipilih melalui perhimpunan singkat dan tergesa-gesa –menurut Umar bin Khaththab “faltah”- di Saqifah Bani Sa’idah. Tidak semua yang hadir dalam rapat itu setuju dengan pemilihan Abu Bakar. Umar diangkat melalui surat semacam “Supersemar” oleh Abu Bakar ketika ia sakit. Surat itu sendiri ditulis oleh Utsman yang kemudian menisbahkan surat itu kepada Abu Bakar tanpa seorang saksi pun. Utsman ditunjuk oleh Dewan Pembentukan yang semua anggotanya diangkat oleh Umar menjelang kematiannya. Ali diangkat atas desakan penduduk Madinah yang baru saja mengalami kerusuhan karena pembunuhan Utsman. Sebagai tambahan, tidak perlu disebutkan bahwa setiap khalifah yang empat itu memerintah dengan gaya yang berbeda.

Kedua, secara historis sistem khilafah ini tidak pernah dijadikan rujukan pemerintahan, kecuali ketika Utsmaniyyah mengalami keruntuhan pada abad XVIII dan XIX. Penguasa Utsmaniyyah ingin memberikan legitimasi kepada kekuasaannya dengan menemukan kembali tradisi khilafah. Disebarkan juga cerita bahwa sebelum kejatuhannya, khalifah terakhir Abbasiyyah menitipkan khilafah kepada Usmaniyyah, dengan begitu dibuatlah silsilah sampai kepada Rasulullah saw. “There were obvious political reasons why Ottoman sultans of the age of decline reformulated an appropriated the classical theory of the caliphate,” kata Halil Inalcik dalam The Cambridge Historical Islam.

Ketiga, berkaitan dengan fungsi khilafah sebagai pelaksana syariat Islam, kita melihat apa yang disebut sebagai syariat Islam itu berubah-ubah sepanjang sejarah. Pada pemerintahan reformasi Ottoman – tanzimat 1839-1876 – dibuat perundangan tentang hukum pidana dan dagang di Eropah. Di Mesir, undang-undang tentang waqaf dirumuskan berbeda dengan ketentuan waqaf seperti ada pada kitab-kitab fiqih klasik. Bahkan Arab Saudi, yang terkenal konservatif, telah mengundang-undangkan The Social Insurance Law, yang berbeda dengan fiqih klasik tentang faraidh. Di Iran sekarang telah terjadi banyak perundangan baru yang dianggap bagian dari syariat Islam, tetapi berbeda dengan kompendium fiqih klasik. Walhasil, dakwaan bahwa syariat Islam tidak berubah-ubah memerlukan pemikiran lagi kita semua.

Wilayat Al-Faqih

Dari khazanah Ahlus Sunnah, kita berpindah ke khazanah Syiah. Konsep negara Islam dirumuskan oleh Imam Khomeini dalam wilayat al-Faqih. Saya juga tidak akan mengulang kembali konsep ini yang sudah saya tulis pada tempat lain. Pada pokoknya, para fuqaha adalah orang yang melanjutkan kepemimpinan para Nabi dari para imam. Konsep wilayat al-Faqih ini sedang dan telah mengalami modifikasi berkali-kali. Kita dapat membuat rentangan konsep ini dari dalam spektrum dari statis ke populis. Wilayat al-Faqih Syaikh Jawad Mughniyyah sangat populis; sedangkan wilayat al-Faqih dari Ayatullah Khayri sangat statis.

Walaupun konsep ini lahir dari ijtihad ulama Syiah, di kalangan Ahlus Sunnah pun kita melihat kecenderungan untuk mengartikan negara Islam sebagai negara yang diperintah oleh ahli fiqih. Anda dapat menemukan konsep ini bahkan pada konsep politik dari para ulama Partai Islam SeMalaysia (PAS), setelah memenangkan pemilu kebelakangan ini. Syariat tidak lain daripada ketentuan hukum sebagaimana dirumuskan oleh para ulama.. Saya agak ngeri membayangkan hidup dalam pemerintahan Islam seperti ini di . Para ulama mungkin sepakat untuk memutuskan bahwa saya murtad, dan karena itu harus dihukum mati. Atau, seperti , saya akan ditembak karena tidak berjanggut.

Kesatuan Al-Din dan Al-Dawlah

Imam Khomeini, seperti juga para pemikir Islam lainnya, menegakkan argumentasi tentang negara Islam pada ketidak-terpisahan antara agama dan negara dalam Islam. Bukankah sangat aneh bila Islam yang mengatur kaki mana yang masuk ke tandas tetapi tidak mengatur negara; padahal negara sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Kesatuan antara al-din dan al-dawlah juga sering di nisbahkan kepada Nabi saw yang menghimpun dalam dirinya kekuasaan spiritual dan politik sekaligus.

Pada prinsipnya, saya setuju dengan kesatuan agama dan negara; namun tidak dalam pengertian keharusan mendirikan negara agama Islam. Saya sependapat dengan kesatuan the religious dan the political; tetapi tidak dalam bentuk Islamic State. Dalam makalah ini saya tidak akan memperincikan bentuk alternatif ini kecuali sekadar menegaskan bahwa keterlibatan Islam dalam politik harus ditujukan untuk menegakkan keadilan, menentang tirani, membela mustadhafin, memajukan perdamaian, dan kesejahteraan umat manusia. Pada bagian terakhir ini, saya juga hanya ingin menyampaikan beberapa kesukaran untuk mempertahankan konsep kesatuan agama dan negara sebagai karakteristik khas ajaran Islam (saya merujuk kepada Eickelman dan Piscatori lagi dalam Muslim Politics).

Pertama, tidak adanya pemisahan antara urusan negara dengan urusan agama bukan hanya khas Islam. Moral Majority di Amerika, teologi pembebasan di negara-negara Amerika Latin, aktivis Sikh di India, pendeta Budha di Myanmar dan Vietnam, semua berpendapat bahwa urusan negara tidak dapat dipisahkan dari urusan agama. Kedua, karena agama tidak dapat dipisahkan dari politik maka seluruh kehidupan menjadi sangat politis. Muatan politik yang mencakup berbagai kegiatan muslim menyebabkan umat Islam tidak mampu dan tidak merasa perlu membangun struktur politik. Ketiga, penegasan kesatuan ini menegaskan persepsi kaum orientalis bahwa politik Islam, berbeda dengan politik yang lain adalah politik yang tidak rasional, emosional, tak terkendalikan dan sulit diramalkan. Kembali kepada cerita Dr. Lang, orang yang menganut fahaman negara Islam memperkuat anggapan Barat bahwa Islam adalah agama kekerasan, agama agresif, agama yang tidak dapat diajak berdamai.

Kesimpulan

Saya tidak punya kesimpulan apa pun. Tulisan ini dibuat tidak sebagai tulisan ilmiah. Ia hanyalah kumpulan coretan dan renungan saya selama ini. Saya tidak tahu apakah hasil refleksi ini konstruktif atau destruktif. Yang pasti, pandangan saya dalam tulisan ini sudah berbeda jauh dengan pandangan politik saya sebelumnya. Terserah kepada anda untuk menerima atau menolaknya. Jika anda ikut merenungkan kembali pandangan anda sebelumnya, anda sudah bergabung bersama saya. Tidak dalam partai politik, tetapi dalam “reinventing traditions.”


Nota: Makalah Jalaluddin Rakhmat ini merupakan hasil dari sebuah diskusi di Kelab Kajian Agama Paramadina, Jakarta, 20 Oktober 2000.

No comments: