Hermanto Harun
Alumni Universitas Al zhar, Mesir, Dosen Fakultas Syari’ah IAIN STS Jambi
Mengupas politik seakan tak menemukan muaranya, karena selalu faktual dan dinamis. Cerita politik juga selalu menggoda untuk dibincangkan, bahkan cukup mendominasi ranah ‘gosip’ di pelbagai media. Hal ini karena politik adalah bagian yang tak terpisahkan dari kepentingan, dan area yang strategis untuk menyemai kepentingan itu adalah kekuasaan. Maka paradigma politik menjelma menjadi sebuah ungkapan “siapa mendapatkan apa, kapan dan di mana”. Dengan demikian realitas politik sangat paradoks dengan pengertian teori normatifnya.
Dalam realitasnya, perilaku politik dan norma teoretisnya terdapat tabir pemisah. Seakan keduanya berbeda jalan. Paradigma perilaku politik, bagi kebanyakan politisi, mengkristal menjadi kekuasan sebagai tujuan akhir, sehingga tindakan macheavallistik, seperti dusta, menjegal, oportunisme, dan perilaku amoral lainnya menjadi hal biasa, bahkan harus dilakukan demi tercapainya kepentingan. Sedangkan norma teoretis politik hanya menjadikan kekuasaan sebagai perantara untuk mewujudkan nilai ideal sesuai dengan fitrah manusia. Sehingga, norma politik selalu mengedepankan kamus moral dalam mencapai kekuasaan.
Di sinilah tepatnya ungkapan Al Ghazali bahwa agama adalah pondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak memiliki pondasi akan roboh dan yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Ungkapan ini sinkron dengan pendapat Hasan Al Banna. Dalam bukunya Fiqh Al Siyasi, Al Banna menulis bahwa tidak ada kebaikan dalam agama jika menegasikan politik, dan tidak ada kebaikan dalam politik jika meninggalkan agama.
Pernyataan Al Banna tersebut merupakan konklusi dari pemahaman keagamaan yang integral. Baginya, keberagamaan yang benar dan tepat adalah jika agama selalu menjadi mahaguru dan tujuan berpolitik. Namun anehnya, tidak semua Muslim menyadari hal ini. Bahkan ada sekelompok gerakan Islam yang menganggap bahwa politik dan segala perangkatnya, seperti partai, demokrasi dan yang lainnya merupakan hal yang sangat paradoks dengan keinginan norma agama. Pemahaman seperti ini kadang merujuk kepada teks literal agama, dan menjustifikasi bahwa politik menjadi barang 'haram' karena tidak ada dan dilakukan pada zaman Nabi SAW.
Pemahaman dikotomik.
Sebagai akibat dari adanya pengharaman politik bagi sebagian kelompok Islam, maka peradigma politik menjelma menjadi rumus logika politik yang diwarisan kaum penjajah. Rumus logika politik yang dimaksud adalah berpolitik berarti memburu kekuasaan, dengan cara apapun, semuanya mungkin dan legal demi tercapainya tujuan kekuasaan itu. Cara politik seperti ini akhirnya dengan tanpa reserve akan sekaligus menegasikan norma agama. Hingga, adagium yang lumrah terdengar di tengah mayarakat adalah 'jika berpolitik tinggalkanlah agama, dan jika menekuni agama tinggalkanlah politik'.
Pada akhirnya politik dan agama memiliki ‘teritorial’ masing-masing dan di antara keduanya harus terpisah. Para penghuni wilayah agama menjadi nista jika berpolitik dan para politisi lumrah dan seakan tanpa dosa jika meninggalkan norma agama. Walaupun kadang, di ranah kedisinian, agamawan dan politisi sama-sama ‘berkuda’ agama dalam berpolitik, dan sama-sama mempolitisasi agama.
Pemahaman yang salah terhadap politik, sebenarnya telah menggurita dalam benak masyarakat Muslim. Hal ini, menurut penulis, paling tidak karena ada dua faktor. Pertama, realitas perilaku politik sangat sarat akan tamsil dan bukti rill, bahwa orang-orang yang dianggap memiliki label keberagamaan, seperti kiai, ustadz, dan buya seringkali larut dan terperangkap dalam dinamika politik picisan yang serupa dengan orang yang tidak mengetahui norma agama. Sehingga timbul kesan bahwa agamawan dan tidak agamawan menjadi sama saja jika berada dalam ruang politik. Akibatnya, agama menjadi tertuduh sebagai alat legitimasi politik an sich. Agama terfitnah menjadi justifikasi-justifikasi sempit dan terbatas sesuai dengan interpretasi pesan syahwat penggunanya.
Kedua, adanya pengaruh dari pola pikir (ghazwul fikr) yang ditanamkan oleh Barat terhadap dunia Islam. Semboyan agama untuk Tuhan, dan negara untuk semua merupakan ungkapan yang seringkali nyaring didengungkan di tengah dunia Islam. Juga, adagium gereja sebagai pewaris sekularisme yang inti pesannya memisahkan agama dengan negara. Ungkapan 'berikan hak Tuhan kepada Tuhan dan hak kaisar kepada kaisar' merupakan fakta bahwa dogma gereja sangat antipati dengan penyatuan agama dan negara. Walaupun pada keyataan empiriknya, Barat tetap saja menjadikan politik sebagai kendaraan dalam menyemai norma agamanya. Barat selalu saja mengurusi persoalan keagamaan menggunakan otoritas politik negara.
Dua faktor tersebut memberi andil yang signifikan terhadap paradigma politik di pelbagai negara Islam, termasuk di Indonesia. Pemahaman dikotomik terhadap agama dan politik di Indonesia cukup banyak mempengaruhi perjalanan bernegara-bangsa yang akhirnya memberi identitas Indonesia sebagai negara yang netral tarhadap agama. Ujungnya, Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim terbelenggu dalam aturan-aturan hukum yang tidak bersumber dari dogma keimanan Islam. Hasilnya, meskipun Muslim Indoensia mayoritas dalam jumlah tapi minoritas dalam politik.
Partai Islam
Pengertian politik secara leksikal sangatlah sederhana. Dalam ungkapan Arab, istilah politik dibahasakan dengan al siyasah yang berasal dari kata sa-sa yang juga berarti dabbara (mengatur), amara (perintah), naha (larangan). Menurut Abd Aziz Izzat dalam bukunya Al Nizam Al Siyasi fi Al Islam, pengertian politik berarti mengatur persoalan umat dan menjaga kemaslahatannya, dan tidak berarti penyesatan, penipuan dan permusuhan. Dengan demikian, tema sentral politik dalam agama adalah mengatur dan mengarahkan persoalan umat kepada hal yang lebih maslahat sesuai keinginan agama. Di sinilah Ibn Uqail mengungkapkan bahwa perilaku politik harus selalu mendekatkan manusia kepada yang ashlah (right) bukan fasad (disright), meskipun tidak dilakukan Rasul dan tidak dijelaskan secara literal oleh wahyu.
Jika substansi politik demikian, berarti politik memiliki tugas yang sangat mulia, terpuji, dan terhormat, karena berpolitik merupakan bagian dari intrumen keberagamaan dalam merealisasikan ajarannya. Ini artinya, politik menjadi keharusan bahkan kewajiban bagi setiap penganut agama (Islam), karena dalam menerjemahkan ajaran dan titah Tuhan, ada yang mesti menggunakan kekuasaan. Dan cara yang elegan dan konstitusional dalam merangkul kekuasaan itu adalah mutlak dengan politik. Dengan demikian, berpartai merupakan payung legalitas berpolitik. Dalam dunia kontemporer, partai politiklah yang rasional dan faktual merupakan alat perjuangan bagi terwujudkan misi dan cita agama. Bukan justru partai disingkirkan yang akhirnya menjadi tempat berteduh politisi pemuas nafsu perut dan birahi. Fahmi Huwaidi dalam bukunya Al Maqalat Al Mahzurah menulis judul Dharurat Al Hizb Al Islamy (signifikansi partai Islam). Menurut dia ada beberapa argumentasi rasional dalam mewujudkan partai Islam.
Pertama, partai merupakan lembaga yang konstitusional dalam menyalurkan aspirasi politik umat. Kedua, adanya realitas akidah yang mengharuskan seorang Muslim untuk menjalankan kehidupan secara islami. Cara tepat untuk merealisasikannya adalah ketika dipayungi hukum dan undang-undang. Dan partai merupakan bentuk yang bisa mangakomodasi kepentingan ini.
Ketiga, pekerjaan politik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemahaman keberagamaan Islam. Seorang Muslim yang benar adalah ketika pengetahuan agama digunakan untuk kehidupan dunianya. Keempat, realitas demokrasi yang tertuang dalam undang-undang yang berdiri atas dasar 'hak mayoritas dan mengakui minoritas'.
Dari beberapa argumentasi tersebut, agaknya sangat rasional untuk menjadikan politik yang berbentuk partai sebagai bagian dari instrumen keberagamaan. Politik dijadikan alat untuk merealisasikan kepentingan dan kemauan agama. Maka menjadi kelaziman bagi seorang Muslim untuk mengagamakan politik, dalam arti menjadikan politik sebagai kuda dalam mewujudkan ajaran agama, bukan justru sebaliknya, menjadikan politik sebagai agama yang segalanya dipolitisasi sesuai selera, termasuk dogma agama. Jika itu yang yang terjadi, maka akhirnya kita hanya menyaksikan drama politik 'iblis' yang berjubah agamawan atau agamawan yang berhati 'iblis'.
Ikhtisar
- Menjauhkan agama dari dunia politik, telah menjadikan politik menjadi hanya dihuni oleh orang-orang yang lemah agamanya.
- Kondisi tersebut kemudian membuat politik menjadi berwajah sangat kotor.
- Realitas menunjukkan bahwa politik menjadi area penting dalam kehidupan, sehingga cukup strategis jika area itu digunakan untuk menegakkan ajaran-ajaran agama.
No comments:
Post a Comment