Irham Sya’roni
Kepala Pondok Pesantren Darul-Hikmah Yogyakarta
Salah satu peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah hidup Rasulullah adalah peristiwa diperjalankannya beliau (isra’) dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil Aqsa di Jerusalem. Perjalanan lalu dilanjutkan vertikal (mi'raj) dari Qubbah As Sakhrah (terletak sekitar 150 meter dari Masjidil Aqsa) menuju Sidrat Al Muntaha (akhir penggapaian). Lalu, kembali lagi ke Makkah. Semuanya dilakoni hanya dalam waktu yang amat singkat: semalam. Dalam beberapa kitab tafsir ditulis: sebagian malam.
Sudah 14 abad hijriyah peristiwa spektakuler itu berlalu. Namun, gaungnya masih terdengar hingga saat ini. Pasalnya, setiap 27 Rajab, umat Islam di seluruh penjuru dunia memeringatinya sebagai momentum kontemplasi dan refleksi, serta bagian terpenting rangkaian keberimanan mereka.
Perdebatan tak berujung
Di tengah maraknya peringatan Isra’ Mi’raj, senyatanya masih menyimpan sederet pertanyaan besar yang mengkristal dan menjadi perdebatan tak berujung. Di antaranya, pakah perjalanan isra’ dan mi’raj Muhammad itu dengan ruh saja, atau ruh dan jasad? Mengapa pula perjalanan isra’ mesti dilakukan ke Baitul Muqaddas? Berapa kali Rasulullah isra’ dan kapan waktu tepatnya?
Pun, tentang hakikat tujuh langit, Sidrat Al Muntaha, serta Buraqru’yatullah (kendaraan Muhammad ketika mi’raj), menjadi perdebatan tak berkesudahan yang menyelimuti peristiwa sakral-transendental Muhammad. Termasuk juga pertanyaan, bagaimana ihwal Rasulullah bertemu dan melihat Tuhannya? Perdebatan merupakan fenomena yang lumrah. Pasalnya, Alquran memang tidak pernah membeberkan peristiwa itu secara rinci. Alquran hanya mengisahkannya secara sekilas dan global, sehingga membuka ruang penafsiran yang luas kepada siapa saja yang berhasrat menguak tabir misteri di balik peristiwa agung itu.
Dari itulah kemudian muncul dua kubu yang (seolah) berseberangan, yaitu kubu doktrinal dan rasional, kubu literal dan liberal, serta kubu tekstual dan kontekstual. Namun, bagaimana pun perdebatan itu terjadi, semuanya mesti berjalan ke satu tujuan, yakni peneguhan iman.
Bagi kubu rasional dan empiris, dibutuhkan kehati-hatian memaknai isra’ dan mi’raj. Jangan sampai ketika rasio dan dunia empirik dikultuskan, justru membuatnya ingkar dengan ‘ilm (pengetahuan) dan qudrat (kekuasaan) Tuhan. Sementara bagi para pemegang teguh pendekatan imani (para pengikut jejak keteguhan Abu Bakar Ash Shiddiq), peristiwa ini justru menjadi bukti bahwa 'ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segalanya.
Hari ini, esok, dan kemarin, adalah perhitungan manusia, perhitungan makhluk. Tuhan sama sekali tidak terikat dengan hitungan-hitungan itu. Ilmuwan ternama Albert Einstein secara implisit tak menampik eksistensi Dzat Yang Maha itu. Ia mengatakan bahwa semua yang terjadi diwujudkan oleh superior reasoning power (kekuatan nalar yang superior). Atau, dalam bahasa Alquran disebut Al 'Aziz Al 'Alim, yakni Allah SWT.
Manusia memang makhluk yang lemah dan serba terbatas, sehingga tidak bisa membedakan antara: (a) yang mustahil menurut akal dan yang mustahil menurut kebiasaan, (b) yang bertentangan dengan akal dan yang tidak atau belum dimengerti oleh akal, dan (c) yang rasional dan irasional dengan yang suprarasional. Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh eksistensialisme, menyatakan, "Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu." Dan itu pula sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata, "Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya."
Pelajaran berharga
Banyak hikmah yang terkandung dalam peristiwa tersebut. Hikmah yang pertama adalah, peristiwa itu merupakan momentum kebangkitan dan peneguhan konsistensi perjuangan. Beberapa waktu sebelum peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah dirundung kesedihan. Khadijah dan Abu Thalib yang selalu menjadi benteng penjuangan beliau meninggal dunia. Sementara tekanan fisik dan psikologis kaum kafir Quraisy semakin berat. Dalam situasi yang mendekati titik 'putus asa' inilah Allah membangkitkan Nabi dan memperjalankannya menyusuri jejak para nabi pendahulunya, kemudian dibawa menemui Tuhan di Sidrat Al Muntaha (Mustawa). Dari perjalanan itulah, Nabi menemukan kembali spirit perjuangannya untuk mendakwahkan Islam secara terbuka.
Kedua, purifikasi atau penyucian hati. Sebelum dibawa oleh Jibril, Nabi dibaringkan lalu dibelah dadanya, kemudian hatinya dibersihkan dengan air zamzam. Apa signifikasi dari purifikasi tersebut? Tak lain adalah pelajaran bagi umat Muhammad, bahwa untuk bisa mendekat dan sampai kepada Allah dibutuhkan kesucian hati. Shalat yang kita lakukan pada dasarnya adalah upaya mencapai Ilahi. Hanya, jika tidak didukung oleh kesucian hati, maka shalat hanya akan menjadi ritual tanpa arti.
Ketiga, di tengah perjalanan, Rasulullah dihadapkan pada dua pilihan: susu dan khamr. Susu merepresentasikan kebaikan, sementara khamr mewakili keburukan. Kebaikan akan selalu identik dengan manfaat, sementara keburukan selalu identik dengan kerugian. Ini pula yang menjadi pilihan kita di dunia. Beruntunglah, dengan sigap Nabi memilih susu. Keempat, perjalanan horizontal dan vertikal yang dilakoni Nabi mengisyaratkan bahwa, setiap perjalanan hidup kita hendaknya selalu diawali dan dipungkasi oleh 'masjid' (sujud), yakni didasari ketaatan kepada Sang Khaliq. Perjalanan horizontal adalah proses menuju vertikal. Rasulullah bersabda, "Dunia itu adalah tempat bercocok tanam untuk akhirat." Karenanya, setiap gerak tubuh dan denyut nadi di dunia horizontal ini pada gilirannya akan berujung pada arah vertikal (Allah). Kelima, sekembalinya dari perjalanan tersebut, Nabi membawa oleh-oleh spesial: shalat, yaitu bentuk peribadatan tertinggi seorang Muslim.
No comments:
Post a Comment