Monday, August 20, 2007

Kebangkitan Syiah, Azyumardi Azra dan Vali Nasr


the-shia-revival-kecil.jpg

Terdapat dua hal yang menarik dari tulisan Azyumardi Azra “Kebangkitan Syiah”, yang dimuat dalam kolom “Resonansi” pada Republika 2 Agustus 2007. Pertama adalah Vali Reza Nasr, yang sayangnya hanya Azyumardi jelaskan sebagai anak Seyyed Hossen Nasr, saintis dan filosof Muslim Amerika asal Iran. Yang kedua adalah buku karya Vali Nasr, The Shia Revival: How Conflicts Within Islam will Shape the Future (W.W. Norton & Company 2006), yang edisinya dalam bahasa Indonesia telah diterbitkan sebuah penerbit di Jakarta.

Keduanya, baik Vali Nasr maupun bukunya, adalah idola baru kalangan jurnalis dan pemikir liberal-neokonservatif di Amerika Serikat dalam kajian mengenai Iran, Syiah, dan sektarianisme. Kini bagi mereka, Nasr adalah sumber paling otoritatif. Terlebih lagi, Nasr pernah memberikan konsultasi bagi Washington dan Pentagon pada 2006. Sebab, mengutip seorang ulama Syiah, yang menurut mereka “fundamentalis” itu, tentu saja suatu anatema.

Vali Reza Nasr adalah peneliti senior kajian Timur Tengah pada Council on Foreign Relation (CFR), sebuah lembaga “think tank” tentang kebijakan luar negeri paling berpengaruh bagi Gedung Putih. Begitu berpengaruhnya hingga CFR sering disebut-sebut sebagai agen lain dalam kebijakan luar negeri Amerika selain depeartemen luar negeri itu sendiri.

Perhatikanlah bagaimana para pewaris dinasti berpengaruh di AS hingga para politisi, ekonom, dan pengusaha ternama AS telibat dalam CFR sebagai anggota dewan kehormatan. Nama-nama seperti Jonathan S. Bush (sepupu George W. Bush), David Rockefeller, Jr., John D. Rockefeller IV, Dick Cheney, Condoleezza Rice, Paul Wolfowitz, John D. Negroponte (deputi menlu), Henry Kissinger, Alan Greenspan, Irving Kristol (tokoh neokonservatisme Amerika), dan George Soros tampaknya sudah lebih daripada cukup untuk menggambarkan kuatnya pengaruh CFR dalam kebijakan luar negeri AS.

Andai saja, dalam kolomnya tersebut, Azyumardi sedikit menjelaskan afiliasi dan preferensi pemikiran Nasr tersebut, maka kesimpulan Azyumardi bahwa, “Perspektif seperti ini (Vali Nasr) hemat saya tidak menolong bagi terciptanya hubungan lebih baik dan harmonis di antara kedua sayap Islam; Suni dan Syiah,” akan semakin mengungkap aktor utama pemicu konflik Suni-Syiah di Irak.

Kebangkitan Syiah

Mengetahui afiliasi dan preferensi pemikiran seseorang tentu saja hanyalah salah satu bagian dari upaya memahami pemikirannya. Berkaitan dengan pemikiran Vali Nasr dalam banyak artikel, wawancara, dan bukunya tersebut, terutama yang berkaitan dengan konflik sektarian di Irak, terdapat beberapa hal yang patut dipertimbangkan secara kritis.

Pertama, Vali Nasr memandang bahwa jatuhnya rezim Saddam Hussein yang Suni menyusul invasi AS ke Irak pada 2003 telah membantu kebangkitan Syiah di negeri Mesopotamia itu. Perspektif seperti ini tidaklah sepenuhnya salah tetapi telah mengabaikan beberapa fakta penting.

Mengasumsikan Saddam sebagai representasi Suni adalah sama kelirunya dengan menganggap Ahmad Chalabi, “brutus” Irak yang dipelihara AS, sebagai representasi Syiah. Terlebih lagi, tumbangnya Saddam juga berimplikasi pada bangkitnya Kurdi di utara Irak, dan mayoritas Kurdi adalah Suni. Jadi, ini bukan semata soal Syiah tetapi adalah alamiah jika kelompok-kelompok yang dahulunya terrepresi tampil ke permukaan ketika kekuasaan otoriter tumbang.

Selanjutnya, Nasr mengabaikan fakta bahwa pemerintahan Irak sekarang ini sejatinya bukanlah rezim yang diinginkan Washington untuk menggantikan Saddam. Jauh-jauh hari, kalangan neokonservatif di Gedung Putih, seperti Donald Rumsfeld dan Richard Perle, secara eksplisit menginginkan Chalabi naik tahta. Lagi pula, pelaksanaan pemilu di Irak pada 2005 terwujud lebih karena desakan dan tekanan Ayatullah Ali Sistani, figur ulama terpopuler di kalangan Syiah Irak, ketimbang keinginan AS.

Kedua, Nasr memandang Iran terlibat dalam konflik sektarian di Irak— bahkan menuding pemimpin-pemimpin Iran sebagai anti-Suni. Padahal, pada saat yang sama, ia juga mengakui bahwa Iran kini lebih menampilkan wajah non-sektarian karena membutuhkan simpati negara-negara Arab Suni tetangganya guna menetralisasi agresivitas AS.

Terlepas dari dalih Nasr bahwa Iran bermain di dua sisi, faktanya dari mulai Jenderal Peter Pace (mantan Kepala Staf Gabungan Militer AS), Robert Gates (Menhan AS), hingga David Milliband (Menlu Inggris) senada menyatakan bahwa tidak ada bukti keterlibatan Iran dalam konflik di Irak. Tambahan pula, lembaga “think tank” transatlantik, BASIC (British American Security Information Council), dalam laporan risetnya, menegaskan bahwa Iran hanyalah “kambing hitam” kegagalan AS di Irak.

Ketiga, Nasr berupaya membersihkan tangan AS dari pertumpahan darah di Irak. Baginya, faktor utama semua itu adalah kebencian satu sama lain antara Suni-Syiah, sesuatu, yang menurutnya, tidak disadari AS ketika ‘mendemokratisasi’ Irak.

Dalam banyak artikelnya, Nasr seringkali menulis panjang-lebar mengenai permusuhan Suni-Syiah, yang dia analogikan seperti “Protestan versus Katolik” dalam dunia Kristen. Terlepas dari bagaimana dia menjelaskan secara argumentatif analogi tersebut, dalam konteks Irak, Nasr telah mengabaikan begitu saja fakta bahwa Suni-Syiah di Irak, terutama di distrik-distrik campuran, sejak lama telah melakukan nikah-campur dan situs-situs suci mereka pun saling berdekatan.

Selain itu, Nasr juga melewatkan fakta bahwa kekerasan berbau sektarian di Irak justru baru terjadi pada tahun ketiga pendudukan AS. Fakta ini bersama laporan investigatif jurnalis Kurt Nimmo dan analisis beberapa analis, seperti Pepe Escobar, Ghali Hassan, dan Mike Whitney, yang mengindikasikan keterlibatan para pejabat intelijen AS dan pasukan keamanan partikelir mereka dalam berbagai tindakan kekerasan yang memicu konflik sektarian, menjadi petunjuk bahwa Amerika tidaklah senaif yang disimpulkan Nasr.

Di sini, bisa dilihat bahwa Nasr mewarisi pandangan provokatif pemikir liberal-neokonservatif bahwa setiap Syiah pasti membenci Suni dan begitu pula sebaliknya. Adakah ini memang upaya tak kenal lelah untuk mengalihkan perhatian Dunia Muslim terhadap pendudukan AS di Irak dan Israel terhadap Palestina, mengingat sebuah jajak pendapat mutakhir dari Zogby International atas Mesir, Yordan, Maroko, Arab Saudi, Lebanon, dan Uni Emirat Arab menunjukkan bahwa sekitar 80% responden masih tetap menilai AS dan Israel sebagai ancaman terbesar terhadap keamanan kawasan ketimbang Iran?

Yang pasti, seperti dikatakan Edward Said, “Para pakar Timur Tengah yang memberi saran kepada para pembuat kebijakan (di AS) telah diinspirasi oleh Orientalisme, nyaris setiap orang.” (Orientalism, Pantheon Books, 1978). (Ditulis oleh Irman Abdurrahman).

No comments: