Wednesday, August 15, 2007

Dari DI ke JI


Aksi-aksi teror di Indonesia bukanlah sekadar produk lokal, namun berkaitan dengan jaringan terorisme global. Hal tersebut terbukti pada kemampuan mereka menggunakan peralatan militer, merakit bom, menentukan target, meloloskan diri, dan melakukan perlawanan. Namun, yang sering dilupakan adalah peran organisasi teror lokal. Bak lahan pembibitan, organisasi lokal itu ranah yang menumbuhkan mereka, yang nantinya bisa berkembang menjadi jaringan global.

Contohnya, jaringan terorisme global yang menyerang kawasan-kawasan wisata di Mesir sejak 2000 tidak bisa dilepaskan dari organisasi teror lokal sebelumnya. Misalnya, Jamaah Takfir wal Hijrah, Tandzim Jihad, dan Jamaah Islamiyah, yang beroperasi di tingkat lokal Mesir sejak 1970-an hingga 80-an.

Tentu saja, yang melakukan aksi-aksi teror sejak 2000 bukanlah generasi 1970 dan 1980. Mereka sudah banyak yang mati. Yang hidup pun ramai-ramai bertobat. Namun, generasi sebelumnya telah mewariskan impian, dendam-kesumat, dan doktrin-doktrin kekerasan pada generasi selanjutnya.

Celakanya, hubungan lintas generasi itu tak bisa dipangkas secara mudah. Nama organisasi bisa berganti-ganti setiap saat, seperti nama-nama yang dipakai para teroris saat ini, tetapi iktikad dan semangat tak bisa dengan mudah lenyap.

Di Indonesia, organisasi seperti Darul Islam dan Negara Islam Indonesia (DI/NII) telah mewariskan keturunan, baik ideologis maupun biologis, kepada pelaku-pelaku teror saat ini. Secara resmi, organisasi DI/NII sudah lama tamat. Namun, para pelaku teror di Indonesia mulai 2000 tidak bisa dilepaskan dari lingkaran organisasi tersebut. Misalnya, Fathurrahman Ghozi dan saudaranya, Jabir alias Gempur, adalah putra dari M. Zainuri, tokoh Komando Jihad asal Jawa Timur yang ditangkap pada zaman Ali Moertopo. Lingkaran yang dimaksud adalah organisasi keluarga besar DI/NII dan ideologi mendirikan sebuah negara Islam atau menegakkan syariat Islam di Indonesia.

Hierarki struktural tidak bisa dijadikan patokan karena DI/NII telah mengalami pergantian kulit atau tercerai-berai akibat konflik saudara yang melahirkan kelompok-kelompok sempalan yang masing-masing berdikari. Misalnya, Komando Jihad, Majelis Khilafatul Muslimin, Lembaga Kerasulan, dan nama-nama lain hingga Jamaah Islamiyah (JI) yang dibangun Abdullah Sungkar setelah menyatakan keluar dari NII dan mengubah Metode Perjuangan NII dengan Metode Perjuangan Jamaah Islamiyah Mesir pimpinan Syekh Umar Abdurrahman. JI secara organisasi sudah talak tiga dari DI, namun pengaruh ideologi tak bisa dimungkiri.

Saya tak ingin menggunakan DI/NII itu sebagai stigmatisasi ataupun menafikan banyaknya mantan tokoh dan keturunan organisasi tersebut yang tidak ada kaitannya lagi dengan aksi-aksi teror saat ini. Saya hanya ingin menekankan satu hal bahwa generasi terorisme lokal sangat berpotensi menjelma terorisme global. Organisasi lokal adalah cikal-bakal dari organisasi global.

Karena itu, warisan ideologi dan dendam kesumat dari generasi itu harus dipotong secara tuntas sembari melakukan antisipasi terhadap munculnya organisasi-organisasi teror lokal baru di Indonesia. Karena terbawa arus melawan terorisme global, sebagian masyarakat dan aparat pemerintah justru lengah terhadap kemunculan organisasi-organisasi teror lokal baru yang dengan leluasa melakukan kekerasan, perusakan, dan penyerangan terhadap kelompok-kelompok dalam masyarakat yang dianggap berbeda pandangan.

Bila cerita DI/NII dan segala turunannya tersebut tak ingin terulang lagi; organisasi-organisasi lokal yang bisa dimanfaatkan jaringan global sehingga terjadi aksi-aksi kekerasan seperti yang kita saksikan saat ini, diperlukan ketegasan aparat pemerintah untuk menindak kelompok-kelompok teror lokal baru itu. (mohamad guntur romli).

No comments: