Tuesday, August 14, 2007

Setelah Pintu Ijtihad Terbuka

ulil abshor abdala/jawapos

Upaya kalangan Islam modernis pada awal abad ke-20 untuk membuka kembali pintu ijtihad yang semula dianggap tertutup bukanlah sia-sia belaka. Berkat usaha mereka yang gigih, sekarang ini pintu ijtihad telah terbuka-menganga dengan lebar sekali.

Saat ini, nyaris jarang kita temui kalangan dalam Islam yang menolak ijtihad sebagai keniscayaan. Dengan kata lain, ijtihad dipandang penting dan perlu.

Ini tentu kemajuan yang luar biasa jika kita pertimbangkan kenyataan bahwa sejak abad ke-4 hijriah, sejumlah ulama Sunni mendeklarasikan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Pandangan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup mendominasi umat Islam dalam waktu yang cukup lama, bahkan hingga paro pertama abad ke-20.

Masalahnya, setelah pintu terbuka, siapakah yang berani masuk? Apakah ada jaminan bagi orang yang berani masuk ke sana untuk mengemukakan hasil ijtihadnya dengan bebas, tanpa ada kekhawatiran akan dituduh macam-macam? Bagaimana ijtihad itu sendiri didefinisikan? Apakah ijtihad hanya sebatas pada wilayah hukum formal (fiqh) ataukah cakupannya lebih luas lagi?

Paradoks yang kita lihat saat ini adalah: setelah pintu ijtihad dengan gigih diperjuangkan untuk dibuka, banyak kalangan yang enggan masuk ke sana. Jika ada kalangan tertentu yang berani masuk, itu dilakukan dengan sikap kehati-hatian yang berlebihan sehingga yang timbul adalah "ijitihad setengah hati".

Ada kecenderungan pula untuk memagari wilayah tertentu agar tidak diterobos ijtihad dengan cara melebarkan cakupan wilayah qath’iyyat (hal-hal yang dianggap pasti dalam agama sehingga tak boleh diutak-atik lagi).

Ada pula kalangan yang berpandangan bahwa ijtihad hanya relevan dalam aspek tathb?q?. Artinya, hanya pada aspek pelaksanaan hukum Islam yang sudah ada, bukan mengutak-atik hukum itu sendiri, walau dalam kenyataan, hukum itu sudah tak lagi relevan dengan zaman.

Sementara, ada pula pandangan bahwa generasi Islam terdahulu telah meletakkan landasan yang lengkap untuk pemahaman teks-teks Islam sehingga tak ada sisa sedikit pun buat generasi belakangan untuk memberikan kontribusi (ma taraka ’l-aw?’ilu li ’l-aw?khiri shai’an). Menurut pandangan ini, generasi sekarang hanya cukup manut saja pada apa yang sudah dikatakan generasi imam-imam di masa lampau.

Yang lebih menarik ialah adanya kecurigaan yang tampaknya kian mendalam di beberapa kelompok dalam Islam terhadap peran akal dalam agama. Seolah-olah, membuka ruang yang luas bagi akal akan membahayakan agama. Pandangan ini jelas antitetikal atau berlawanan dengan semangat ijtihad yang dasarnya adalah keberanian menalar dan berpikir secara independen (meskipun tak harus serta merta meninggalkan peran wahyu).

Ada dua hal yang layak dipikirkan kembali oleh umat Islam saat ini. Pertama, tampaknya, pengertian ijtihad harus dibebaskan dari definisi konvensional yang dipahami sejumlah sarjana Islam saat ini.

Selama ini, ijtihad hanya dimengerti sebagai usaha menetapkan suatu hukum dalam kasus-kasus partikular (al-ahk?m al-juz’iyyah) berdasar dalil-dalil yang sudah ada dalam kitab suci. Ijtihad hanyalah bersifat legal, yakni ijtihad dalam masalah hukum fikih. Monopoli ijtihad oleh "kaum fekih" (meminjam istilah Bung Karno) semacam ini perlu dipertimbangkan kembali.

Dalam pandangan saya, ijtihad harus dimaknai kembali dalam konteks modern. Pengertian ijtihad yang relevan saat ini adalah hurriyyat al-ta’b?r atau kebebasan berpendapat atau berekspresi dalam pengertian yang seluas-luasnya. Aktor ijtihad bukan saja kalangan ahli ilmu fikih atau hukum Islam, tetapi semua kalangan yang memiliki kompetensi yang memadai dalam bidang masing-masing.

Saat ini, hukum bukan saja "diproduksi" oleh kalangan ahli hukum Islam. Sebagian besar hukum yang mengatur kehidupan publik kita saat ini lebih banyak dibuat di gedung DPR, bukan di ruang fatwa yang hanya dihuni para ulama. Ratusan UU dan peraturan lainnya saat ini diputuskan hampir setiap bulan di parlemen oleh para pakar yang memiliki kompetensi di bidang mereka masing-masing.

Hukum fikih tak akan pernah bisa mencakup seluruh bidang kehidupan sosial modern yang kian mengalami diferensiasi dan pencabangan yang rumit. Jadi, memang, seharusnya Islam tak semata-mata didefinisikan dari sudut pandang fikih sehingga menjadi legalistis.

Sebetulnya apa yang dikerjakan anggota parlemen itu tiada lain adalah ijtihad itu sendiri. Dengan demikian, parlemen kita saat ini adalah salah satu gelanggang ijtihad yang penting.

Diam-diam, parlemen kita saat ini juga telah melaksanakan suatu praktik "fikih politik" (fiqh al-siy?sah) baru yang layak dipikirkan oleh mereka yang masih melihat ijtihad sebagai monopoli kalangan fuqah?’ atau ahli hukum Islam.

Jika ijtihad kita maknai kembali sebagai "kebebasan berpendapat", maka aspek yang penting untuk kita pikirkan dalam diskursus soal ijtihad adalah masalah perlindungan atas hak itu. Praktik pengafiran dan pembid’ahan berlawanan dengan semangat ijtihad sebagai kebebasan berpendapat.

Dalam pengertian yang baru ini, ijtihad telah masuk dalam kategori civil right yang tak bisa dibatalkan siapa pun. Masih banyak kita saksikan sejumlah sarjana muslim yang mengalami tuduhan "macam-macam" karena mengajukan interpretasi yang berbeda mengenai isu-isu tertentu dalam agama.

Dengan kata lain, setelah pintu ijtihad dibuka, kita memerlukan perlindungan hukum yang memadai bagi mereka yang mempraktikkannya. (ulil abshar-abdalla)

No comments: