Wednesday, August 8, 2007

Musharraf dan Dilema Republik Islam


Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Pada saat partai-partai Islam di Indonesia demam dengan gagasan Negara Islam di era 1950-an --saya turut larut di dalamnya-- Pakistan adalah model yang sering dirujuk. Apalagi pembentukan Pakistan sebagai negara dan bangsa baru terkait dengan gagasan Iqbal, penyair dan pemikir terkenal, yang dilontarkannya tahun 1930, delapan tahun sebelum ruh besar ini dipanggil Allah untuk selama-lamanya. Berkat terjemahan Bachrum Rangkuti dan Osman Raliby, karya dan sosok Iqbal semakin dikenal kalangan cendekiawan Indonesia. Rasa-rasanya pada waktu itu, dengan sebuah Negara Islam segalanya akan beres, karena Islam dipercaya sebagai obat mujarab bagi penyembuhan berbagai penyakit modern. Secara ideal ajaran, pendapat ini sebenarnya tidaklah salah.

Tetapi, ada satu hal fundamental yang dilupakan: kondisi sosio-kultural-intelektual umat Islam yang terkebelakang sama sekali tidak siap untuk mendukung gagasan mewah berupa sebuah negara modern yang dikaitkan dengan agama dengan segala masalahnya yang ruwet. Islam yang selama berabad-abad terkurung dalam pasungan budaya politik dinastik-otoritarian-kekhilafahan yang tidak menghormati kemerdekaan warga menjumpai kesulitan yang luar biasa untuk menciptakan sebuah negara egalitarian di era pascakolonial. Pakistan yang diidolakan itu ternyata kemudian juga gagal memenuhi harapan yang semula demikian menggebu itu.

Era Perves Musharraf (1999) adalah bukti terkini tentang betapa rumitnya mengurus sebuah negara modern yang diberi nama Republik Islam Pakistan itu. Dalam konstitusinya tercantum dasar filosofi mewah tentang kedaulatan Allah atas alam semesta dan syariah sebagai sumber hukum tertinggi. Dalam realitas, baik gagasan kedaulatan Allah maupun syariah ternyata tidak mampu menolong nasib Pakistan berhadapan dengan konflik suku yang beragam dan sengketa politik yang sering berkuah darah itu.

Kudeta militer telah terjadi berkali-kali. Berbagai suku dengan jumlah pendukungnya berikut ini: Punjabi 58 persen, Sindhi 13 persen, Phastun 12,5 persen, Baluchi empat persen, semakin menyulitkan Pakistan untuk tegak sebagai sebuah negara yang stabil.

Kemudian, ada pula Muhajir delapan persen (migran dari India tahun 1947) yang tak terikat dengan suku termasuk kelompok yang dominan dalam politik dan ekonomi. Sekarang Musharraf dengan dukungan penuh Amerika sedang kewalalahan berhadapan dengan pihak oposisi dan kekuatan militan Muslim yang berbasis di kawasan pergunungan di perbatasan Pakistan dan Afghanistan, sebuah kawasan yang tidak dapat dijangkau oleh kekuatan senjata modern.

Tragedi serangan berdarah tentara Pakistan terhadap Masjid Merah baru-baru ini di ibu kota Islamabad, di mana kekuatan militan mencoba bertahan, adalah puncak sebuah gunung es dari konflik politik kekuasaan dalam tubuh Republik Islam itu. Islam seolah tidak berdaya menjadi kekuatan mediasi dalam meredam konflik sesama Muslim, tetapi dengan orientasi dan kepentingan politik yang berlawanan secara tajam.

Masjid Merah yang letaknya hanya beberapa ratus meter dari kediaman Musharraf punya kaitan erat dengan kekuatan militan di kawasan pergunungan di atas. Sekiranya Amerika menyerang kelompok militan ini dengan dalih melawan terorisme, maka risikonya akan sangat eskalatif.

Pasukan Taliban dan Alqaidah di Afghanistan tidak bisa dihancurkan Amerika dan sekutunya, mau ditambah lagi dengan Pakistan? Gedung Putih di tangan orang gila tidak mustahil akan semakin gelap mata untuk bermain dengan api peperangan, sebuah obsesi petualangan kaum fundamentalis, tidak peduli apa pun agama yang dipeluknya. Doktrin politiknya sama: ikut kami atau lawan kami!

Begitu ruwetkah sengketa politik di Pakistan? Mengapa Islam yang dipeluk oleh 97 persen rakyat Pakistan (Suni 77 persen, Syiah 20 persen) tidak dapat menjadi perekat utama untuk sebuah perdamaian? Anda tidak perlu berandai-andai lagi. Islam bila sudah dipakai sebagai instrumen politik kekuasaan, agama ini akan berubah fungsinya dari kekuatan damai menjadi doktrin pembenar konflik atau bahkan perang saudara, dan untuk Pakistan bisa juga menjadi perang suku dengan perbedaan paham agama yang dibawanya masing-masing.

Jangankan sajak-sajak Iqbal tentang persaudaraan umat yang banyak dihafal oleh berbagai suku di sana, Alquran yang menjadi Kitab Suci rakyat Pakistan tidak dapat berbuat apa-apa sekali ia dipakai untuk tujuan politik kekuasaan. Ini fakta keras sejarah yang juga kita saksikan sepanjang abad, sebuah fakta yang menelikung tujuan Kitab Suci ini, semata-mata karena orang yang mengaku beriman itu terlalu terpaku pada godaan duniawi atas nama Tuhan.

Musharraf, seorang migran dari India, kaum militan dari berbagai suku, dan politisi yang ingin menjatuhkannya, semuanya beragama Islam, tetapi mengapa mereka memilih untuk saling menghancurkan? Inilah di antara dilema pelik yang sebenarnya sedang dihadapkan kepada seluruh umat Islam di muka bumi, tidak hanya di Pakistan. Pertanyaan sederhananya adalah: sudah benarkah keislaman kita? Apa pun yang tertulis dalam konstiusi sebuah negara, semuanya akan menjadi deklarasi mati, selama kualitas keislaman kita lebih terpaku dan terpukau oleh bentuk dengan mangabaikan substansi untuk tujuan apa Islam itu datang ke muka bumi.

Presiden Jenderal Musharraf yang naik ke panggung kekuasaan lewat kudeta militer tahun 1999, sedang dihadapkan pada pilihan yang serba sulit di sebuah Republik Islam. Negara ini yang semula juga mencakup Pakistan Timur, kemudian terjadi pemberontakan untuk melepaskan diri di sana.

Setelah pasukan Pakistan menyerah kepada gabungan pasukan Bangladesh dan India yang Hindu pada 16 Desember 1971, maka berdirilah negara baru dengan nama Bangladesh (88 persen Muslim). Oleh sebab itu, orang harus ekstra hati-hati untuk membawa agama ke dalam pusaran politik kekuasaan.

Musharraf sedang berhadapan dengan bermacam faksi politik kepentingan yang semuanya beragama Islam. Salah-salah melangkah, nyawanya sudah di ujung tanduk. Sejarah modern Pakistan sarat dengan drama pembunuhan politik kelas puncak dan kelas akar rumput.

No comments: