Saturday, August 18, 2007

Agama dalam Bernegara ( 2)

Oleh : A Qodri Azizy

Mantan Rektor IAIN Walisongo, Sekretaris Kementerian Kesra

Setelah melawan penjajah, Indonesia akhirnya dapat meraih kemerdekaan yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Perjuangan panjang telah melibatkan gerakan kedaerahan, etnik, keagamaan, sampai pada akhirnya atas dasar kebangsaan. Ketika mempersiapkan UUD, juga telah terjadi tarik ulur yang cukup panjang dan detail.

Ambil contoh, Piagam Jakarta yang merupakan embrio untuk persiapan rumusan Pembukaan UUD 1945. Untuk memperoleh kesepakatan akhir dalam merumuskan Pembukaan UUD 1945 telah terjadi tarik ulur panjang mengenai penghilangan tujuh. Dengan pelbagai pertimbangan yang mengedepankan kepentingan umum dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), para tokoh Islam akhirnya menyetujui untuk tidak dicantumkannya tujuh kata itu dalam naskah resmi Pembukaan UUD 1945. Dari Pembukaan inilah rumusan lima sila Pancasila diambilkan. Karena telah melalui proses yang cukup panjang, maka ketika mengemuka lagi dalam pendewasaan demokratisasi, jawaban tegasnya adalah bahwa dasar Pancasila (Pembukaan UUD 45) itu merupakan hasil final dalam konsensus berbangsa dan bernegara.

Kalau kita kaji secara saksama, kesimpulan para tokoh masa lalu itu mempunyai implikasi besar dan banyak. Pendapat singkat itu, akan mencakup kajian pelbagai aspek, meliputi konsep negara-bangsa sebagai wujud NKRI, serta komitmen untuk mempertahankan keutuhan NKRI. Komitmen keagamaan memberi arti bahwa separatisme dari NKRI adalah pemberontak, yang dalam doktrin agama disebut bughah. Apapun alasannya, bughah harus dihancurkan. Ini memperkuat landasan negara-bangsa dan khususnya lagi NKRI. Dengan demikian, tampak sekali bukan formalitas yang dikejar, namun esensi nilai-nilai luhur dalam rangka rahmatan lil 'alamien dengan sistem kontemporer yang berorientasi pada masa depan.

Ini berarti akan bermanfaat, baik bagi umat Islam sendiri maupun bagi warga negara yang beragama lainnya. Upaya ini sekaligus mampu menyodorkan jalan keluar harmonisasi antarnilai agama, tercakup di dalamnya norma dan etika, serta nilai-nilai dalam berbengsa dan bernegara. Ini juga solusi untuk menghindari benturan budaya antara nilai agama di satu sisi dan nilai sekuler yang akan didesakkan sebagai nilai kebangsaan. Dalam waktu bersamaan, nilai-nilai globalisasi harus melalui penyaringan kemaslahatan bangsa dan negara, yang di dalamnya termasuk nilai budaya atau tradisi lokal dan nilai agama.

Dari segi esensi, UUD 1945 seharusnya sudah dapat diperlakukan sebagai analogi pada Konstitusi Madinah, sehingga keberadaannya harus ditaati oleh semua warga negara. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran UUD 1945 dan perlawanan terhadap Negara secara kelembagaan berarti bughah yang sah untuk dihancurkan. Namun harus ada kejelasan batas antara perlawanan yang masuk bughah dan 'perlawanan' dalam kontek loyal opposition.

Bukan hanya hukuman berat terhadap bughah yang perlu mendapatkan perhatian, hukuman terhadap perusuh juga perlu mendapatkan landasan keagamaan, yang juga dengan tegas disebutkan dalam Alquran. Lebih dari itu, gerakan dan kerja teroris merupakan bentuk lain yang lebih berat dari pada perusuh. Dalam waktu bersamaan, tugas negara juga berat. Yaitu bukan hanya menciptakan keamanan dan kemaslahatan, namun juga menciptakan kesejahteraan bagi bangsanya (umatnya).

Agama sebagai sumber
Di awal sudah dijelaskan bahwa NKRI bukanlah negara sekuler. NKRI mempunyai kewajiban untuk melindungi agama. Lebih dari itu, negara menjadikan agama dengan pemahaman dan pemaknaan sesuai dengan Indonesia sebagai landasan negara-bangsa. Ini berarti, harus ada proses tentang pemaknaan agama, bukan semata-mata pemahaman agama di negara lain yang secara otomatis diimpor atau dipaksakan di Indonesia. Dengan kata lain, relasi (lebih tepatnya eklektisisme) agama dan negara setelah melalui proses kajian dan pengolahan ilm ushul al fiqh dalam kontek keindonesiaan.

Kalau kita konsekuen dengan sasaran Islam sebagai rahmatan lil 'alamien, maka nilai-nilai ajaran Islam tidak hanya bermanfaat bagi umat Islam, namun juga bagi siapa saja yang mau menjalankannya. Islam sebagai petunjuk bagi manusia, berarti ajaran tersebut harus dijalankan, bukan hanya dihafal, didiskusikan, atau dijadikan wacana. Bukan pula hanya sekedar dijadikan landasan atau asas partai politik. Di sini para pemikir Islam juga masih ketinggalan perkembangan, termasuk yang ada di Indonesia. Ketika orientasi para founding fathers kita menempatkan agama, dalam hal ini Islam, sebagai landasan moral, mereka masih saja sering terkungkung dengan praktik formalitas.

Jelaslah agama menjadi salah satu sumber berbangsa dan bernegara, termasuk sumber hukum nasional kita. Proses menjadikan syari'ah Islam sebagai sumber ini memang ada perbedaan. Model fundamentalis menginginkan syari'ah Islam secara langsung dan tekstual sebagai hukum dan landasan politik. Sedang menurut model esensialis menginginkannya menjadi sumber hukum dan sumber moral berpolitik.

Sedangkan dalam tradisi ulama klasik, sumber itu melalui kajian yang dalam praktiknya menjadi fiqh (ilmu Agama). Nah, ketika upaya menjadikan Islam sebagai sumber moral dan sumber hukum, para pemikir kita masih tergolong ketinggalan zaman. Sering mendorongkan syari'ah secara langsung menjadi hukum formal, sementara penjabaran syari'ah tersebut masih dalam perdebatan pemahaman, penafsiran, dan pemaknaan.

Mengadopsi nilai-nilai dari Islam yang terpenting adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umum. Penguasa perlu mendapatkan masukan dari ahlinya, dalam hal ini para ulama dan pemikir Islam, mengenai politik, hukum, dan lainnya. Ulama perlu melakukan ijtihad sesuai dengan tuntutan yang ada di Indonesia. Dengan upaya seperti ini, sangat mungkin akan menghasilkan keputusan hukum, politik, atau sejenisnya yang mempunyai ciri khas Indonesia dan sejalan dengan ketentuan agama.

No comments: