Wednesday, September 12, 2007

Agama dan Krisis Bangsa


ZAINAL ALIMUSLIM HIDAYAT

Gembira tetapi tak bahagia. Inilah perasaan kebanyakan umat Muslim menyambut Ramadhan tahun ini. Gembira karena berjumpa lagi dengan bulan yang penuh berkah. Namun sedih saat dihadapkan kesulitan hidup bertubi-tubi.

Puncak krisis ekonomi terjadi 10 tahun lalu. Tetapi masalah fundamental seperti kelangkaan kebutuhan pokok dan energi masih menjadi rutinitas. Pemerintah memang menjamin, stok kebutuhan pokok selama puasa. Tetapi siapa yang menjamin semua bisa menjangkau harganya?

Badai sulit berlalu. Inilah lagu yang terus dinyanyikan rakyat Indonesia hingga kini. Pertanyaannya, di manakah letak agama di tengah aneka krisis yang terus menghimpit?

Pada krisis tahun 1998-1999, agama menjadi tumpuan masyarakat dalam mengurangi derita. Kebalikan dari teori sekularisasi, studi Daniel L Chen menyimpulkan, tekanan ekonomi justru meningkatkan intensitas keagamaan (Club Goods and Group Identity: Evidence from Islamic Resurgence During the Indonesian Financial Crisis, 2004).

Himpitan ekonomi ternyata menstimulasi masyarakat lebih intensif mengikuti studi al Quran (pengajian) dan banyak anak dimasukkan ke sekolah agama. Di sisi lain, kegiatan pengajian menjadi ex post social insurance di mana dalam klub ini masyarakat menumbuhkan solidaritas untuk saling membantu menutup kebutuhan dasar saat didera krisis.

Kompetisi Sekular

Di bulan Ramadhan gairah beragama juga meningkat. Masalahnya, kini tak gampang menjaga kekhusyukan dalam menjalankan puasa dan ibadah lain. Mal-mal bermunculan. Begitupula stasiun televisi dengan siaran 24 jam sehari.

Kini, ritual agama harus berkompetisi dengan banyak hal sekular. Dalam kertas kerja berjudul The Church v.s the Mall: What Happens When Religion Faces Increased Secular Competition?, Gruber dan Hungerman (2006) menunjukkan pengalaman di Amerika Serikat.

Sejak undang-undang yang melarang toko ritel buka pada hari minggu (blue law) dicabut tiga dekade lalu, partisipasi orang yang pergi ke gereja dan donasi yang dikumpulkan merosot. Tak cuma itu, kalangan remaja tak lagi tertarik ikut sunday school.

Mungkinkah Ramadhan mengalami gejala yang sama? Di awal bulan puasa masjid meluap. Namun tak lama, mal-mal lebih ramai dikunjungi orang. Di bulan puasa jumlah pengemis di kota-kota meningkat karena umat Muslim lebih giat bersedekah.

Tetapi mereka juga menjadi beberapa kali lipat lebih konsumtif. Penjualan mobil pada September hingga Oktober diproyeksikan naik 10 persen-15 persen dibanding bulan-bulan sebelumnya (Bisnis Indonesia, 1/9). Nielsen Media Riset mencatat, terlihat spending insidential pada produk-produk telekomunikasi, makanan, minuman, departemen store dan sebagainya, yang mengalami peningkatan dalam beriklan (Cakram, Agustus 2007).

Di negeri ini, berhasil dikumpulkan zamat sekitar Rp 250 milyar per tahun. Padahal potensi paling optimistis sebagaimana dirilis PBB UIN Rp 19 triliun (Eri Sudewo, 2006). Meski agama memiliki instrumen redistribusi kekayaan, tampak belum optimal karena terdesak konsumerisme yang dijajakan iklan.

Homo religius

Adam Smith dalam The Wealth of Nations seperti dikutip Iannaccone (1998) berargumen, self interest motivates clergy just as it does secular producers. Sejak tahun 1970-an ekonom dan sosiolog banyak yang kembali pada pandangan itu. Perilaku religius merupakan bentuk pilihan rasional, baik pada level individu, kelompok, maupun pasar.

Karena itu, derajat keterlibatan dalam aktivitas religius dilakukan dalam rangka memenuhi “kebutuhan" yang dipersepsikan masing-masing. Saudagar membalut jualannya dengan baju agama demi mengeruk laba. Partai politik membangun organisasi sayap keagamaan seraya berharap bisa mendulang suara. Dan pejabat menggelar istighasah serta taubat nasional untuk menenangkan hati rakyat.

Masalah ritual agama yang tak mengubah perilaku, boleh jadi bukan karena ragam ibadah yang menekankan consumption afterlife atau pelaksanaannya terlampau berhitung pahala. Banyak studi di masyarakat Kristen AS menunjukkan sebaliknya di mana orang melaksanakan aktivitas keagamaan berorientasi kini dan di sini. Ironisnya, ke-di sini-an itu terperangkap dan mewujud homo economicus ala Smith yang tak memberi ruang pada kesalihan sosial (atau dalam bahasa politisi, tak ada makan siang gratis).

Agama selalu diharapkan memberi eksternalitas positif dan berkontribusi dalam mengikis aneka krisis. Namun perlu diingat, meski agama berpengaruh, tetapi efeknya tidak seragam di tiap level.

Banyak studi menunjukkan partisipasi keagamaan pada individu bisa menghindarkan dari narkoba, seks pranikah, atau membuat panjang umur seperti mazhab agama yang mengharamkan rokok. Tetapi di negara kita yang konon religius ini, ternyata korupsi tidak bisa diberantas dengan petuah agama saja.

Nabi Muhammad SAW menjelaskan, betapa banyak orang berpuasa tetapi hanya mendapat lapar dan dahaga. Bagi umat Muslim, hikmah Ramadhan harus membekas pada jiwa dan perilaku. Karena itu, mari bermetamorfosa dari sekadar homo economicus menjadi homo religiousus yang rasional dan mengembangkan kesalihan sosial.

ZAINAL ALIMUSLIM HIDAYAT Peneliti di Indonesia Muda Institute; Sedang studi economics of religion

No comments: