Saturday, September 22, 2007

Peleburan Ego dalam Puasa


Abdul Munir Mulkhan

Belum kering air mata dari berbagai bencana sebelumnya, gempa berkekuatan 7,9 skala Richter kembali mengguncang Pertiwi, korban jiwa kembali jatuh. Bantuan segera mengalir ke daerah bencana, tetapi banyak korban belum tersentuh bantuan.

Mengapa? Belum usaikah Tuhan menguji kesetiaan iman negeri ini?

Pertanyaan tersebut tidak hanya sulit dijawab, tapi tidak tersedia jawaban tanpa debat panjang, kecuali jika kita bisa terbebas dari ego personal. Boleh jadi kita lakoni puasa sebagai sebuah rutinitas ritual tanpa makna yang berhubungan secara signifikan dengan problem aktual kebangsaan, kemanusiaan, dan peristiwa aktual seperti bencana gempa tersebut. Di sini pencarian makna fungsional puasa menjadi penting.

Tak mengubah keadaan

Makna hakiki dan terpenting puasa ialah penumbuhaktualan manusia malaikat, yaitu seseorang yang mampu melebur ego personal ke dalam superego yang trans-human dan lebih suci (aufgehoben, meminjam terma Hegel). Itulah mengapa dikatakan bahwa puasa bukan sekadar tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan seks dengan suami atau istri (ketubuhan) walau itu halal di hari biasa.

Ritual puasa yang dilakoni secara fisikal-jasadiah semata hanya berakibat lapar dan dahaga, tetapi tidak mengubah keadaan. Puasa sebenarnya merupakan revolusi mental melalui media ketubuhan tersebut.

Pengendalian kebutuhan ragawi dengan berpuasa adalah sarana bertumbuh aktualnya kekuatan roh (spiritual) yang bebas dan lebih hebat dari jasad-tubuh. Melalui proses itu diharapkan roh spiritual manusia menjadi lebih tajam dan produktif bagi tugas kemanusiaan melampaui kepentingan ego personal. Penanda seseorang mencapai posisi tersebut antara lain ialah saat syahwat kuasa dan harta secara efektif dikendalikan roh spiritual yang bebas dari jerat kebutuhan tubuh diabdikan bagi kepentingan kemanusiaan lebih luas, melampaui manusia personal, bahkan di luar batas teritori kebangsaan.

Peluang mencapai posisi spiritual di atas menjadi mungkin ketika kejadian manusia berakar dari dua unsur, yaitu jasad wadag dan roh (spiritual). Kearifan tradisional menyimpulkan bahwa kehidupan duniawi yang jasadiah adalah penjara roh. Sementara jasad wadag merupakan entitas materi terbatas dan habis bagi, roh merupakan entitas metafisikal yang bebas dengan wilayah jelajah tak terbatas. Jika ego personal manusia lebih berdimensi jasad ketubuhan, superego lebih berdimensi roh spiritual dan metafisikal.

Walaupun terasa agak kuno, pandangan demikian—tubuh sebagai penjara roh— mengandung makna fungsional bagi kerja lintas batas ego personal kemanusiaan atau kebangsaan. Dari sini seseorang bisa dan berani melakukan tindakan tidak populer dan biasa berbeda dari kecenderungan manusia umumnya. Seseorang yang memiliki makanan hanya cukup bagi dirinya, tetapi bersedia berbagi dengan orang lain yang lebih membutuhkan. Tindakan itu dilakukan atas kesadaran penuh dengan risiko yang harus ditanggung, yaitu hak pribadinya berkurang bagi kebutuhan makan hari itu.

Manusia "linuwih"

Indikator lain telah sampainya seseorang ke ruang superego ialah ketika ia seolah meninggalkan kemanusiaannya memasuki wilayah malaikat. Manusia demikian inilah yang disebut orang Jawa sebagai manusia linuwih yang waskitha karena gentur tapane. Seseorang yang mentradisikan laku prihatin yang dalam tradisi sufi dikenal dengan warak (warok/wira’i atau satria) tidak mata duitan.

Manusia linuwih itu biasa melakukan tindakan tidak biasa, tidak seperti manusia umumnya. Bukan kekuatan magic, sihir, atau black magic seperti bisa terbang, tidak mempan senjata atau peluru tajam, melainkan kemampuan seseorang memberi apa yang terbaik bagi diri sendiri kepada orang lain yang lebih membutuhkan saat umumnya lebih mementingkan diri sendiri.

Seseorang yang hanya memiliki sepiring nasi untuk berbuka, misalnya, mau berbagi dengan orang lain agar orang lain bisa berbuka seperti dirinya. Seorang penguasa bersedia melepas segala aturan protokoler yang ketat hanya untuk bisa berbagi derita dengan rakyat kecil. Muhammad Rasulullah seperti rasul lainnya sering kali memberi contoh tindakan demikian. Demikian pula Umar ibn Khatthab (khalifah kedua dalam sejarah Islam), Sidharta Gautama (dalam sejarah Buddha), Gandhi (dalam sejarah India), dan Suster Teresa (dalam sejarah Kristiani).

Negeri ini dengan berbagai persoalan dan berpuluh juta penduduk miskin akibat cacat sistem sosial, ekonomi, dan politik, serta bencana alam yang masih terus mengguncang bumi Pertiwi memerlukan kehadiran manusia-manusia linuwih yang mampu melampaui ego personalnya. Kita butuh kehadiran seorang pemimpin yang merepresentasikan sosok manusia yang disebut mukaasyafah dalam ajaran Islam.

Dialah seorang pemimpin yang bisa meleburkan ego kemanusiaan (ego kuasanya) atau dimensi al-nasut-nya ke dalam dimensi al-lahut-nya (ke-ilahi-an). Sang penguasa yang mampu melampaui batas formal kepartaian, golongan, citra diri atau kelompoknya bagi sebesar mungkin kepentingan rakyat jelata yang miskin dan tertindas. Derita rakyat jelata adalah kesedihan sang pemimpin, tangis rakyat miskin adalah air mata sang pemimpin.

Puasa adalah ekspresi kerinduan spiritual manusia saat hidup dalam ruang keterbatasan jasadiah. Suatu kerinduan metafisikal sang roh saat masih berada dalam ruang lauhil mahfudz sebelum Allah melibatkan roh itu ke dalam jasad wadag manusia. Kerinduan ego metafisikal demikian itu terpenuhi dengan menjalani puasa jika ibadah itu dilakoni penuh kesadaran (muhasabah). Dari sini seseorang bagaikan lahir kembali sebagai manusia linuwih yang waskitha untuk selanjutnya menjalankan tugas sejarah, meningkatkan mutu kehidupan dan martabat umat manusia di dunia serta membebaskan manusia dari penderitaan.

Abdul Munir Mulkhan Guru Besar di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Anggota Komnas HAM

No comments: