Kalau kiamat tidak mendadak datang, maka insya Allah dalam empat hari ke depan kita akan segera memasuki gerbang keajaiban. Empat hari ke depan akan menjadi saat-saat yang menentukan apakah kita termasuk yang berkesempatan ''menyaksikan'' pembelengguan setan si laknat dan penaklukkan para iblis si terkutuk. Kita tidak tahu apakah usia kita masih tersisa untuk mengarungi masa sependek itu; hanya empat hari.
Janganlah kita berandai-andai bahwa maut akan mengambil masa cuti atau libur untuk tidak bertugas selama empat hari. Ia akan selalu datang mengepakkan sayapnya. Selalu sadarkah kita bahwa dia datang tanpa kompromi. Tanpa pemberitahuan. Tanpa janji. Tanpa pandang bulu. Tidak siang dan tidak malam. Pagi atau sore. Sehat atau sakit. Tengah beribadah atau sedang bermaksiat. Ketahuilah wahai kita semua! Maut adalah makhluk tak bernyawa yang selalu waspada dan senantiasa siap menyergap siapa saja.
Empat hari ke depan, insya Allah pada hari Kamis, kita akan memasuki gerbang Ramadhan; gerbang yang selama sebelas bulan ditutup rapat. Tak dimasuki oleh siapa pun. Ada yang berharap sejak sebelas bulan lalu tetapi ada juga yang baru empat hari ini melayangkan harapan bisa bertemu Ramadhan. Yang pasti, ia diperuntukkan bagi kita semua umat Islam. Empat hari sebuah masa penuh rahasia dan hanya Allah SWT yang tahu karena Dia yang menentukan. Semoga kita sukses melalui empat hari dengan nyawa tetap melekat di badan. Maka, mari bersiap dan berandai-andai; inilah Ramadhan terakhir yang dijatahkan Allah kepada kita.
Sebagai bekal, mari kita merenung dan berhitung. Dalam dua puluh empat jam sehari semalam, atau dalam seribu empat ratus empat puluh (1.440) menit sehari semalam, atau dalam delapan puluh enam ribu empat ratus (86.400) detik sehari semalam. Atau enam ratus empat ribu delapan ratus (604.800) detik dalam seminggu, atau dua juta lima ratus sembilan puluh dua ribu (2.592.000) detik dalam sebulan, atau tiga puluh satu juta seratus empat ribu (31.104.000) detik dalam setahun, maka seberapa persenkah yang kita gunakan untuk mengingat Allah? Lalu berapakah kira-kira jatah umur kita? Lantas berapa pulakah usia kita yang tersisa? Kalau jatah umur kita 50 tahun, maka sudah satu miliar lima ratus lima puluh lima juta dua ratus ribu (1.555.200.000) detik kita habiskan untuk hidup di dunia fana ini. Kalau kurang dari 50 tahun, ayo kita hitung sendiri, begitu pula kalau lebih dari 50 tahun umur kita, mari kita bermuhasabah sendiri.
Nah, kalau 11 bulan kita meninggalkan Allah, maka sudah tujuh ribu sembilan ratus dua puluh (7.920) jam atau setara dengan empat ratus tujuh puluh lima ribu dua ratus (475.200) menit kita membuat Allah menunggu kita menghadap kepada-Nya. Duh! Alangkah lamanya kita mengabaikan kehadiran-Nya dan alangkah beraninya kita melakukan ini semua! Sepanjang detik yang kita lewati, sejak bangun di pagi hari hingga tidur di malam hari, hampir seluruh waktu yang ada kita gunakan hanya untuk diri kita sendiri. Seakan-akan Allah tak pernah hadir dalam penggalan kehidupan kita. Alangkah sabar-Nya Dia sebagai Maharaja, alangkah nistanya kita sebagai hamba. Sadarilah! Alangkah besar dan luas kasih sayang-Nya, sehingga kita masih mungkin dipertemukan dengan Ramadhan kembali. Bulan di mana ampunan-Nya melampaui besaran alam semesta ini, kasih sayang-Nya seluas yang kita angan-angankan, dan pahala yang Dia sediakan lebih dari cukup, agar kita bisa terhindar dari sergapan api pembalasan di negeri akhirat kelak.
Sungguh! Setelah berjalan amat jauh, jauh dari nilai-nilai kebenaran, kini saatnya kita sebagai sebuah kumpulan budak-budak-Nya, harus berusaha sekuat daya yang tersisa, mengumpulkan serpihan-serpihan kesadaran ilahiyah secara bersama untuk mudik ke kampung halaman. Tak ada jalan paling elegan untuk ditempuh kecuali dengan tobat, apalagi kita dikenal sebagai bangsa yang religius dan amat menjunjung tinggi nilai-nilai religiusitas. Sebab, sejatinya, kita termasuk bangsa yang paling aneh tetapi malah amat dicinta Allah SWT. Dalam serangkaian prahara yang bukan saja nyaris meluluhlantakkan eksistensi republik, Allah selalu turun tangan memberikan ma'unah-Nya agar republik tetap utuh. Tetapi, jarang sekali kita berkenan menyempatkan diri untuk bertafakkur, kenapa Allah tak pernah meninggalkan kita?
Mengambil kesempatan barang sebentar dari banyak kesempatan yang dijatah Allah kepada kita, untuk bertafakkur dan bertadabbur atas kondisi ini menjadi penting, karena itu akan membuka kesadaran terbawah kita tentang makna kehadiran Ramadhan. Tanpa itu, kita tak akan pernah mampu membalas jasa atas banyak ma'unah Allah. Alih-alih bisa membalas jasa, menyadari bahwa Allah hadir dalam kehidupan kita, akan menjadi sebuah kesadaran yang menyentak. Sebab, pada saat-saat musibah datang beruntun, ketika sandang tidak mencukupi, di saat pangan jauh dari memadai dan begitu papan sudah habis dihempas bencana alam, maka betapa tak kuasanya kita, dan betapa butuhnya kita akan pertolongan Allah melalui kehadiran Ramadhan. Betapa banyak saudara kita yang sebelas bulan lalu masih sempat menemani kita nyadran ke kuburan-kuburan leluhur, kini tak lagi bersama kita.
Inilah kesempatan emas bagi kita untuk menyukuri anugerah Ramadhan. Sebuah bulan penuh keajaiban karena pahala dilipat-lipat, setan dikerangkeng dan iblis dibelenggu. Ajaib karena inilah bulan di mana para malaikat yang tak terhitung jumlahnya, datang berbondong-bondong ke langit dunia. Mengaminkan semua munajat dan doa-doa kita. Menghitung seberapa bulir air mata penyesalan yang jatuh tak sengaja di atas bentangan sajadah. Karena terlalu jauh kita meninggalkan garis Allah, maka kita mulai menyadari betapa sulitnya mencari jalan pulang. Ketika Nabi Ibrahim AS ditanya Allah, Fa Aina Tadzhabun (hendak ke mana kalian pergi?), maka ia lantas menjawab, Inni Dzaahibun Ilaa Robbii Sayahdiini (Sungguh hamba pergi menuju Tuhanku, maka Ia akan memberi hamba petunjuk). Ketika itulah terasa betapa pentingnya arti Ramadhan bagi kita semua. Betapa benar tradisi Baginda Rasul yang menyambut Ramadhan seperti menunggu kedatangan kekasih yang lama pergi.
Saudara-saudaraku! Insya Allah, Ramadhan akan segera menemui kita hanya dalam hitungan hari. Mari kita sambut bulan penuh berkah ini dengan suka cita seperti pernah kita harapkan ketika kita shalat Idul Fitri tahun lalu. Bukan tidak mungkin tahun depan kita tidak akan bertemu Ramadhan lagi. Jangan-jangan inilah Ramadhan terakhir. Siapa yang tahu? Sebab, siapa berani menjanjikan bahwa tahun depan kita masih bisa tersenyum karena disapa Ramadhan. Tak ada yang tahu. Karena itulah, kalau sepanjang sebelas bulan sebelum ini kita melupakan Allah, mengabaikan fakir miskin, alpa terhadap anak yatim dan merampas hak-hak mereka, tidak mengindahkan keluarga, kini saatnya kita berasyik masyuk dengan mereka. Semoga kita sukses melewati empat hari setelah hari ini agar kita benar-benar bertemu dengan serangkaian keajaiban yang disiapkan Ramadhan. Taqabbal Dua'anaa Ya Ilaahal Alamiina. Wallaahu A'lamu Bish Showaab.
No comments:
Post a Comment