Thursday, September 27, 2007

Tantangan Muhammadiyah, Bertajdid Menuju Dahlan


Oleh Dr. Yudi Latif

MENYOAL tentang Muhammadiyah berarti menghidupkan K.H. Ahmad Dahlan. Bukan berarti hari kelahiran beliau dirayakan dalam bentuk haul. Bukan pula berarti menginstitusionalisasikan peninggalan beliau, yang konsekuensinya membekukan Muhammadiyah dalam penjara spatio-temporal. Akan tetapi, menghidupkan Ahmad Dachlan bermakna merekonstruksikan hidup dan pemikirannya untuk dijadikan preskripsi aksi. Darinya kita bisa menimba pelajaran:

Pertama, beradalah di luar dunia politik, tapi tetap berpolitik.

Muhammadiyah tidak pernah menjadi partai politik atau terlibat dalam politik sebagai satu organisasi, walau secara individual maupun faksional para kadernya terlibat dalam banyak kegiatan dan partai politik, dari Masyumi sampai PAN. Dalam satu masa, bahkan kekurangberpolitikan Muhammadiyah membuat begawan Islam politik Indonesia, Muhammad Natsir, memilih mendirikan basis organisasi baru sebagai topangan untuk menghidupkan kembali Masyumi di awal Orde Baru.

Bahkan bila ditilik kembali ke awal masa kolonialisme, kegiatannya semata pada aktivitas sosial-budaya, dan kesibukannya pada periferi politik membuat Muhammadiyah berada dalam kondisi yang memungkinkan ia menerima subsidi bagi sekolah-sekolah modern kembangannya. Bukan berarti Muhammadiyah bersepakat dengan penjajah Belanda dan menerima imbalan kolaborasi itu. Berpolitik tidak harus dengan yang kasat-mata, cepat-hasil, dan konfrontasional.

Pada masanya, perlawanan yang paling tepat adalah penciptaan kesadaran kolektif tentang kekejian kolonialisme. Kesadaran ini takkan lahir tanpa kecerdasan generasi muda yang akan berjuang di masa depan. Pedagogi adalah bentuk perjuangan yang mengedepankan political wisdom. Saat berpolitik meliputi semua aktivitas, dan kepanjangan dari etika, maka Muhammadiyah menawarkan bentuk berpolitik baru dan memberikan saham dalam perjuangan berjangka panjang yang notabene suatu bentuk berpolitik dari pinggir.

Di sisi lain, dengan ber-khittah pada 1912, Muhammadiyah sudah sedari awal sadar bahwa perubahan paling bermakna adalah pergerakan dari pinggir ke pusat; perubahan melalui jalur sosial dan budaya. Jauh sebelum Nurcholish Majid menyerukan sokongan pada pembentukan Islam kultural, Muhammadiyah sudah memikirkan dan melaksanakannya. Hanya sayang kadang tidak disadari bahwa keputusan strategis yang dirancang oleh pendiri Muhammadiyah tidak diapresiasai semestinya.

Visi yang dikedepankan oleh Dahlan adalah sebuah visi berorientasi substansi untuk memberikan sumbangan hakiki. Jika jalan Muhammadiyah dibelokkan menuju politik praktis, bukan hanya akan mencederai catatan sejarahnya yang bersih dari kekisruhan, juga akan menjadi sebuah lompatan besar menuju daerah tak bertuan. Formalisme kemudian merupakan kosa kata aksi, dan aksi akan menjadi sekadar seremoni.

Kedua, sebagai produk urban, tetaplah memperhatikan masalah urban.

Biarpun memiliki banyak cabang hingga ke desa-desa, Muhammadiyah adalah bagian dari fenomena urban. Organisasi yang terlahir melalui tangan kaum pedagang Muslim urban ini memberikan warna Islam berbeda: bersahabat dengan modernitas, mengutamakan kemandirian belajar ketimbang figur, terbuka, egaliter, berorientasi keadilan ekonomi. Karenanya, terbentuklah sebuah pendekatan Islam perkotaan berbicara dengan kosa kata urban dan mengatasi masalah urban.

Kita tahu urbanisasi memunculkan dislokasi pemikiran dan komunitas, yang berakhir dengan, salah satunya, kaum mustadhafin perkotaan. Buruh berpenghasilan rendah yang dieksploitasi perusahaan asing adalah hal jamak didengar. Keluarganya kembang kempis memenuhi kebutuhan dapur maupun pendidikan juga kerap kita simak. Namun usaha membela dari kaum yang secara historis merupakan bagian dari mereka, masih sayup-sayup terdengar.

Mungkin etika protestanisme yang sering dikaitkan secara rancu dengan Muhammadiyah, berkonsekuensi juga pada kohesi dan kolektivisme etis para kadernya. Semangat komunitarianisme yang mempunyai saham besar dalam Islam seperti terpinggirkan oleh individualisme bentukan kapitalisme sebagai produk protestanisme.

Ketiga, berpikir global, dan beraksi lokal.

Dilahirkan dari rahim urban, tidak terelakkan bila Muhammadiyah terimbas oleh globalisasi. Bahkan bila mau dirunut, Ahmad Dahlan sendiri adalah produk globalisasi karena proses belajar di Mekah dan pertemuannya dengan Rasyid Ridha maupun terpengaruhinya oleh pemikiran tokoh-tokoh global pan-Islamisme masa itu seperti al-Afghani dan Abduh.

Sepulangnya ke tanah air, alih-alih mempromosikan apa yang dia dapatkan di luar, Dachlan berusaha menerjemahkan apa yang ia pahami dari perjalanan belajarnya ke dalam konteks Indonesia. Solusi yang ia tawarkan memiliki kekhasan pengaruh globalisme seperti menerima modernisme, memahami geopolitik internasional melalui kolonialisme, dan melihat umat dari wawasan lebih luas. Namun aplikasinya benar-benar berhubungan dengan kebutuhan dan kepentingan lokal.

Walau globalisasi merupakan bagian integral Muhammadiyah secara historis, tidak lantas berarti ia harus menelannya. Kemampuan kader untuk beranjak dari sekadar mengimpor pemikiran dari luar --berbentuk pengentalan maupun pencairan Muhammadiyah, baik itu dari Barat maupun dunia Islam--sesungguhnya menunjukkan kemajuan berijtihad dan kedewasaan epistemik. Melihat permasalahan bangsa secara lebih luas masih merupakan tantangan tersendiri bagi Muhammadiyah.

Keempat, layanan sosial adalah kekuatan dan keutamaan Muhammadiyah.

Muhammadiyah ditilik secara historis dipandang sebagai suatu modal sosial bangsa ini. Ia hakikatnya merupakan aset dan instrumen penting untuk realisasi dan artikulasi ide-ide pedagogikal, egalitarianisme sosial, dan amal ekumenikal.

Apa yang dulu dikhawatirkan di pertengahan 1980-an oleh Ahmad Syafii Maarif tentang kemandekan intelektualisme dalam Muhammadiyah karena terlalu terlibat dalam amaliah sosial, kini berbalik. Stagnasi intelektual sudah relatif berkurang karena Muhammadiyah sampai tingkat tertentu memiliki kemampuan dan sumber daya dalam memberi kontribusi gagasan alternatif bagi problematika sosial, ekonomi, dan religius. Justru kini terjadi kemandekan atau malah kemerosotan fungsi Muhammadiyah sebagai pemberdaya ekonomi dan pemberi layanan sosial.

Beberapa aset pendidikan dan sosial Muhammadiyah dalam keadaan yang memprihatinkan. Kepekaan organisasi ini terhadap masalah-masalah sosial, seperti kelangkaan pendidikan bagi warga miskin tak berpunya atau kekurangan gizi, masih dirasakan kurang dari semestinya atau bahkan bila dibandingkan beberapa organisasi lain.

Boleh jadi, intelektual Muhammadiyah sekarang, seperti organisasi besar Islam lain di Indonesia, fasih (well-versed) dalam diskursus pluralisme, liberalisme, atau demokrasi (dan memang ini diperlukan); tapi kefasihan mereka berpraksis Tauhid sosial, memaknakan diri sebagai ikatan etis terhadap yang lain, terasa masih tertinggal di belakang. Abstraksi terlahir dari praksis, hikmah sebagai ekstraksi dari amaliah atau dikenal dalam khazanah Yunani kuno sebagai phronesis, seperti mendapat tempat yang termarginalkan dalam pemikiran maupun ruang publik Muhammadiyah.

Sebab itu, aktivitas amaliah sosial tidak mesti selalu didikotomisasikan dengan pengayaan intelektual. Pemahaman ini bersifat universal seperti yang dicerminkan oleh Francis Asisi, dan K.H. Ahmad Dahlan juga memberikan teladannya. Ia tidak sekadar berdiri menceramahi dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan Budi Utomo, tapi juga mendirikan fasilitas layanan sosial seperti panti asuhan dan klinik di masanya. Problem kemasyarakatan adalah problem Muhammadiyah yang tidak melulu mesti disikapi dengan memprioritaskan penyelesaian intelektual. Aksi berbicara lebih dari sejuta suara.

Kelima, bertahan dengan kelenturan dan posisi di tengah.

Muhammadiyah lahir sebagai resistensi terhadap kolonialisme dalam upaya mengintegrasikan kekuatan dan persatuan Islam dengan menggunakan strategi apropriasi. Bentuk perlawanan yang ditawarkan oleh Muhammadiyah bukan berbalik pada nativisme (jangan pakai produk Barat) malah pada hibdritas (lawan Barat dengan produk Barat). Proses ini bisa terjadi melalui mekanisme khas Muhammadiyah: tajdid.

Ahmad Dahlan sendiri adalah produk dari proses ini. Hidup di lingkungan kauman di Yogya, dia membuka diri bagi pengaruh pendidikan Barat, juga belajar huruf latin dan khazanah ilmu modern dari rekan-rekannya di Budi Utomo. Hasilnya, melalui organisasi yang didirikannya, ditelurkan publikasi rutin melalui mesin cetak modern dan didirikan sekolah persilangan antara sekolah model kolonial dan pesantren.

Ia termasuk mereka yang pertama-tama memperkenalkan bangku dan papan tulis (sebuah tanda modernitas seperti komputer sekarang). Komunitas epistemik yang dibentuk melalui pengenalan rasionalisme, kurikulum, dan perangkat modern Barat ini merupakan pembadanan loncatan historis.

Sehingga, walau terlihat sebagai seorang puritan yang menghebohkan Masjid Kesultanan, jauh di dalam diri Dahlan bersemayam kelenturan dan kemoderatan. Jauh dari menolak Barat, juga jauh dari memeluknya; dekat dengan tradisionalisme tapi tidak menjadi tradisionalis. Ahmad Dahlan adalah tokoh muslim liminal, seorang yang berdiri di jalan tengah, mengawinkan tradisi dan inovasi. Keseimbangan adalah kunci yang menjaga kelenturan dan kemoderatan Dahlan. Ber-tajdid menjadi upaya menjaga keseimbangan itu. Tanpa keseimbangan, semua akan runtuh.

Singkatnya, Muhammadiyah yang melupakan Dahlan adalah Muhammadiyah yang kehilangan arah.

* Penulis adalah Wakil Rektor Universitas Paramadina, dan Direktur Eksekutif Reform Institute Jakarta, Alumni Australian National University (ANU) Canberra dan Fikom Unpad.

No comments: