Thursday, September 27, 2007

Demokrasi Bermuatan Tauhid


Category:Books
Genre: Nonfiction
Author:Idris Thaha

Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan M. Amien Rais adalah dua intelektual terkemuka Islam Indonesia yang kritis. Mereka juga orang yang berada di depan bagi upaya penegakan demokrasi di negara ini. Bahkan, mereka tak henti-hentinya meneriakkan demokrasi ketika ia dicederai tidak saja oleh negara tetapi juga politisi.
Sebagai pemikir Islam, mereka tidak saja menganjurkan diberikannya muatan-muatan nilai-nilai Islam dalam politik, lebih dari itu mereka juga menjadi pelaku utamanya. Artinya, tidak sekadar mencari dalil-dalil ajaran Islam bahwa Islam sesuai dengan demokrasi seperti yang diteriakkan intelektual Islam lainnya. Tetapi, pengakuan dan perilakunya sudah menunjukkan bahwa Islam tak bertolak belakang dengan demokrasi. Perkara beberapa negara muslim di Timur Tengah dan juga Indonesia selama ini mempraktikkan otoritarianisme itu soal lain. Inilah yang ingin dikembalikan keduanya agar berada pada posisi yang sebenarnya.
Buku ini ingin melihat peta pemikiran Cak Nur dan Amien Rais tentang hubungan Islam dan Demokrasi dari sudut pandang partisipasi rakyat, kebebasan, penegakan hukum, keadilan sosial, mutu pendidikan dan masyarakat madani. Mengapa? Karena enam pilar di atas merupakan esensi demokrasi.
Meskipun sama-sama memperjuangkan demokrasi dan mendasarkan perilakunya pada ajaran Islam, buku Demokrasi Religius ini menunjukkan bahwa keduanya punya dasar pijakan dan aktivitas yang berbeda.
Benar, bahwa Cak Nur dan Amien Rais menganggap bahwa demokrasi merupakan salah satu sistem yang seharusnya menjadi pilihan paling bagus buat manusia modern, termasuk bangsa Indonesia. Tetapi, sebagai paham yang datang dari Barat, ia tak lepas dari kekurangan. Di sinilah, dibutuhkan muatan lokal atau nilai lain yang sesuai dengan konteks masyarakatnya. Islam menjadi salah satu basis dasar yang ikut menutup kebolongan demokrasi Barat.
Penulis buku ini memandang, meskipun demokrasi sama-sama dianggap peling penting bagi pemerintahan modern saat ini, keduanya juga punya perbedaan. Bagi Cak Nur, demokrasi harus didasarkan pada pluralisme bukan pada tataran konsep, tetapi pada tataran praksis. Ia harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan ia menandaskan pluralisme dasar utama keselamatan manusia. Pluralisme juga sudah menjadi kehendak Tuhan (QS, 49:13) dan diajarkan Islam (QS,5:44-50).
Sementara Amien Rais menganggap demokrasi harus didasarkan pada tauhid sosial. Secara sederhana ia diartikan sebagai penegakan keadilan sosial di dalam masyarakat. Tauhid ini tentu saja sumber dasarnya dari Tuhan. Manusia berkewajiban menegakkan orde soscial yang adil dan etis. Tauhid sosial Amien yang dipengaruhi oleh Abu A’la Al Maudidi, Ikhwanul Muslimin, Moh. Natsir bermakna pembebasan radikal dari tirani dan zalim dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Maka, dasar pemikiran Cak Nur dan Amien Rais tersebut jelas ditujukan untuk kehidupan yang adil dan beradab sesuai prinsip demokrasi. Pemikirannya juga bersumber pada ajaran Ilahi meskipun dengan istilah yang berbeda, tetapi prinsipnya sama.
Dosen pemikiran politik Islam di Universitas Negeri Jakarta (UIN) ini sampai pada pemetakan pemikiran Cak Nur dan Amien Rais. Jika Cak Nur lebih memilih pelaksanaan demokrasi subtansial, Amien Rais memilih demokrasi formalis. Itu pulalah kenapa dalam memperjuangkan demokrasi Cak Nur lebih memilih melakukan pemberdayaan wacana dan pentingnya penerapan oposisi loyal di Indonesia. Tak lain untuk mempercepat dan mengisi substansi demokrasi. Demokrasi tanpa oposisi adalah omong kosong.
Sementara Amien Rais memilih menerapkan tauhid sosialnya dengan terjun ke dunia politik praktis. Reformasi telah menempatkan dirinya sebagai intelektual yang ada di depan. Maka, ia mendirikan partai politik sebagai salah satu “kendaraan” menuju kekuasaan politik sebagai panggilan pelaksanaan tauhid sosialnya. Meskipun cita-citanya menjadi presiden kandas di tengah jalan.
Meskipun mereka berbeda dalam mengisi demokrasi, keduanya punya kesamaan, bahwa Islam dan demokrasi bisa berjalan beriringan. Pluralisme atau tauhid sosial tujuannya untuk menciptakan keadilan. Keduanya sependapat bahwa menegakkan dan membela keadilan merupakan misi dan tugas pada Nabi dan Rasul, para sahabat, para tabiin, umat manusia dan kaum Muslim.
Hal demikian juga tak jauh berbeda dengan konsep musyawarah. Musyawarah harus didasarkan atas perintah agama yang mengajarkan empat perkara yang menjami keselamatan manusia dari kerugian; yakni iman, amal saleh, saling menasihati tentang yang benar dan saling mengingatkan (hal. 297).
Atas pandangan dua intelektual Islam Indonesia itu dalam mengkaitkan Islam dengan demokrasi, tak berlebihan jika buku ini menyebut keduanya sebagai pewaris Natsir. Bahkan mereka pernah disebut sebagai “Natsir Muda”. Keduanya berhasil menunjukkan secara elegan bagaimana pelembagaan nilai-nilai spiritual Islam ke dalam wilayah politik praktis. Mereka patut menjai contoh par exellence bagi apa yang disebut dalam buku ini sebagai demokrasi religius.
Inilah buku pertama yang mengkaitkan antara nilai-nilai Islam dengan kehidupan politik dari dua pemikir Islam terkemuka di Indonesia. Sepak terjangnya sejak mash muda disertai dengan semangat “menata” Indonesia masa depan patut dijadikan teladan bagi generasi mendatang. Tentu saja dengan nuansa khas keduanya. Amien yang meledak-ledak dan seringkali tanpa kompromi dengan Cak Nur yang santun dan seringkali sulit dilihat arah politiknya (ingat Cak Nur pernah masuk dalam bursa konvensi partai Golkar meskipun akhirnya menyatakan mundur). Tetapi, keduanya sama-sama yakin bahwa itulah jalan masing-masing yang diyakini menuju kehidupan demokratis di masa datang.
Buku yang diangkat dari thesis pada Program Studi Ilmu Politik, Fisip Universitas Indonesia (UI) ini menunjukkan bahwa demokrasi yang digembar-gemborkan masyarakat dunia ini pada akhirnya harus dibimbing oleh wahyu Illahi, agar tidak salah jalan. Demokrasi Indonesia bukan demokrasi Amerika yang dalam perilakunya seringkali menghisap yang lemah, justru seringkali diatasnamakan demokrasi.

No comments: