Oleh : Muhammad Zuhri
Semua agama besar di dunia, baik agama samawi maupun agama kebajikan, sepakat menggunakan puasa sebagai satu-satunya sarana teknis untuk mencapai kondisi diri yang bersifat rabbani. Tak seorang pun tahu kapan `jalan lapar' ini dimulai. Alquran mengabadikan kepurbaannya dalam sebuah ayatnya, ''kamaa kutiba `alalladziina min qablikum'' yang berarti ''... sebagaimana telah diwajibkan atas umat sebelum kamu.'' (QS Al-Baqarah [2]: 183).
Puasa melatih kita untuk tidak menjadi pribadi yang serakah. Ia melatih ketahanan diri agar mampu memungut fasilitas alam seminimal mungkin untuk kebutuhan hidupnya. Fasilitas alam yang langka tak seharusnya diperebutkan dengan mengorbankan pihak lain atau dihamburkan untuk memanjakan nafsu, namun harus dimanfaatkan seefisien mungkin demi kelestarian hidup bersama.
Dalam penghayatan puasa selama satu bulan ini, terjadi proses transformasi kesadaran yang berwujud lenyapnya ''iradah insaniah'' menjadi ''iradah rabbaniyah''. Dari kehendak pribadi yang cenderung menguntungkan dan memenangkan diri sendiri menjadi sesuai dengan kehendak Tuhan. Bahkan, bermacam-macam kemampuan adikodrati pun bisa terungkap saat itu, namun hal itu bukan merupakan tujuan ibadah puasa. Dengan begitu, ibadah puasa merupakan partisipasi orang beriman terhadap kemanajeran Sang Pencipta di muka bumi. Fenomena yang tampak pada pribadi yang ikhlas berkorban (sha'imiin) adalah dimilikinya keteguhan hati di dalam menatap kenyataan dan pandangan yang positif terhadap kemungkinan.
Demikianlah kondisi takwa yang dijanjikan pada para shaimiin -- orang-orang yang berpuasa. Mereka yang beriman dan ber-ihtisab selama sebulan ini akan seumpama kondisi seorang yang belum pernah berbuat dosa di masa lalu.
Dalam salah satu ayat Alquran Allah SWT berfirman, ''.... Barangsiapa bertakwa kepada Allah, Allah akan menjadikan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tak dapat diduga ...'' (QS Al-Thalaq [65]: 2-3). Maka jelaslah bagi kita bahwa kondisi takwa merupakan partisipasi Allah terhadap shaimiin.
Mereka yang beruntung mendapat kondisi tersebut dapat disaksikan dampak positifnya terhadap masyarakat. Kadar dirinya yang bersifat vested-interest telah berubah menjadi kadar pribadi yang siap mengambil alih ''kemanajeran'' Allah di wilayah dan kesempatan yang dapat dijangkaunya.
Pribadi yang demikian diibaratkan telah mendapat Lailatul Qadar di tengah masyarakat yang sedang menunggu hasil kreativitasnya. Dia telah sanggup menyongsong misi rahmatan lil-alamin yang diwariskan Rasulullah SAW kepada kaum Muslim. Demikianlah yang semestinya.
No comments:
Post a Comment