Saturday, September 1, 2007

Puritanisme Islam & Pengkhianatan Elit Politik


Oleh: Buya Abd. Aziz Aru Bone, Wartawan Rakyat Merdeka

Hari Minggu (12/8) kemarin, sekitar 90 ribu massa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memadati Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, Jakarta , dalam acara bertajuk, “Saatnya Khilafah Memimpin Dunia; Konferensi Khilafah Internasional 2007.” Organisasi Islam puritan yang menyatakan diri sebagai gerakan politik dengan agenda pembentukan Khilafah Islamiyah ini secara tegas menyatakan, menolak konsep sosial-politik Barat, seperti, konsep negara-bangsa (nation-state) dan demokrasi.

Dengan pembentukan Khilafah Islamiyah, HTI bukan saja bercita-cita melenyapkan demokrasi dan negara-bangsa Indonesia , tapi juga mencita-citakan semua negara berpenduduk muslim mayoritas sebagai satu kesatuan politik.

Kebangkitan Islam puritan yang aktornya diperankan oleh gerakan keislaman seperti HTI, erat kaitannya dengan era panjang kolonialisme Eropa di Dunia Islam, terutama Timur Tengah. Kesadaran yang lahir di kalangan dunia Islam sebagai respon terhadap kolonialisme Barat di era kolonial adalah, bahwa yang paling berbahaya dari kolonialisme bukanlah dominasi militer Barat, melainkan invasi kultural ideologi Barat yang mengikis kepercayaan umat terhadap validitas ajaran Islam. Maka berbagai konsep social-politik yang diidentifikasi berasal dari Barat, seperti, nation-state, sekularisme, demokrasi dan liberalisme, diletakan sebagai musuh yang harus diperangi karena dipandang mengancam koherensi dan validitas Islam. Dan seruan untuk kembali kepada autentisitas Islam dipandang sebagai solusi untuk menghadapi invasi kultural Barat. (El Fadl, 1997:2).

Dalam konteks pasca kolonial kini, sikap menempatkan dunia Islam pada kutup yang berlawanan secara diametral dengan Barat terus berlanjut dengan mengambil beragam agenda dan strategi, dari yang paling radikal melalui berbagai gerakan terorisme yang dimotori oleh organisasi seperti Al-Qaeda, hingga yang mengambil perlawanan politik-kultural dengan melakukan penolakan secara menyeluruh dan fundamental atas berbagai konsep sosial politik Barat, seperti yang dipelopori organisasi gerakan keislaman Hizbut Tahrir di berbagai negara.

Meski berbeda agenda dan strategi aksi, tapi gerakan Islam puritan ini sama-sama memposisikan Barat sebagai the others (meminjam istilah Edward W Said) yang menyebabkan keterpurukan Dunia Islam melalui kolonialisme duhulu, hingga imperealisme kini.
Sikap menempatkan Barat sebagai lawan juga dipicu dan seakan mendapatkan justifikasi teologis oleh pembacaan teks-teks keagamaan dengan lagam puritanistik.
Kaitannya dengan ini, tokoh penting dan ideolog Ikhwanul Muslimin yang merupakan organisasi asal Hizbut Tahrir, Sayyid Qutb, meramu tafsir tentang jihad sebagai ajaran ofensif, bukan defensif.

Dalam lagam penafsiran yang puritanistik-tekstual ala Qutb, Islam puritan juga mendapatkan justifikasi teologis untuk menolak semua ideologi dan konsep-konsep sosial politik Barat yang dinilai mengancam koherensi dan validitas Islam, termasuk demokrasi dan nation state.

Kini Islam puritan hadir di Indoensia. Selain dipengaruhi dua faktor di atas, tumbuh suburnya puritanisme Islam di Indonesia pasca runtuhnya rezim Orde Baru, juga merupakan aktualisasi kekecewaan masyarakat bawah atas peralihan politik dari rezim Orde Baru ke Era Reformasi yang sama sekali tidak berdampak pada perbaikan kesejahteraan rakyat.

Kecewa terhadap elit politik yang tidak menunjukan komitmen sungguh dan kepedulian penuh pada rakyat, rakyat pun bukan saja tidak percaya terhadap elit politik, tapi juga tidak percaya terhadap demokrasi. Lalu memandang penuh harap pada gerakan puritanisme agama yang dipandang memberikan harapan baru di dunia dan bumbu-bumbu janji syurgawi di kehidupan setelah mati.
Maka perlawanan terhadap puritanisme Islam Indonesia , sebenarnya bukan saja merupakan tantangan dan tanggungjawab kalangan muslim moderat dan civil sosiety, tapi juga elit politik.

Meski kehadirannya mengancam demokrasi dan negara-bangsa Indonesia , perlawananan terhadapnya tidak perlu melibatkan tangan besi kekuasaan negara, karena akan bertentangan dengan prinsip demokrasi yang meniscayakan kebebasan berorganisasi dan berpendapat. Biarkan saja demokrasi yang sedang tumbuh ini menjadi pasar bebas bagi ide-ide keagamaan.
Perlawanan terhadapnya sebaiknya dilakukan secara kultural oleh kalangan Islam moderat dan civil society dengan memberikan pemahaman kepada kaum muslimin Indonesia tentang pentingnya meletakan Islam sebagai corpus terbuka, moderat, dan mengambil peran kultural dalam relasi Islam dan negara, bukan sebagai ideologi politik tertutup yang legal-formalistik. Karena tidak seperti Islam Arab, dengan peran kulturalnya Islam Indonesia mengikuti gerak sejarah yang non-linear, yang mengalami kontinuitas, diskontinuitas dan perubahan. Dalam konteks Islam Indonesia , gerak sejarah itu mampu direspon secara terbuka dan adaptif, termasuk terhadap ide-ide progesif dan demokrasi.

Itu saja tidak cukup, tugas berat juga diemban para pengelola negara dan elit-elit politik untuk segera mengakhiri pengkhianatannya terhadap rakyat dan nilai-nilai demokrasi. Bahwa kini sudah saatnya para elit politik harus menunjukan keseriusan, komitmen tinggi dan keberpihakan pada rakyat agar perubahan politik yang terjadi secara langsung dapat berpengaruh positif pada perbaikan kesejahteraan rakyat, bukan hanya pergantian kekuasaan politik di tingkat elit.

Keberpihakan sepenuh hati pada kesejahteraan rakyat, merupakan keniscayaan muktak untuk menumbuhkan optimisme rakyat terhadap demokrasi sekaligus membendung arus puritanisme Islam yang mengancam nation-state dan demokrasi Indonesia. Lantaran, puritanisme Islam tumbuh subur di Indonesia pasca Orde Baru, bukan hanya sebagai respon atas sikap politik Barat terhadap dunia Islam yang tidak adil dan disokong oleh pemahaman keislaman yang puritanistik, tapi juga dipicu oleh kekecewaan terhadap elit politik dan pengelola negara yang kerap mempertontonkan pengkhianatan atas nilai-nilai demokrasi dan tidak memiliki keberpihakan sepenuh hati kepada rakyat.(**)

No comments: