Mengingatkan (Kembali) Visi Muhammadiyah |
Safari Daud Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan Bandar Lampung SALAH satu perbedaan karakter intelektual antara Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU) adalah penekanan dalam bidang akidah dan fikih. Genre intelektual Muhammadiyah lebih bercorak kepada pengembangan tauhid. Sedangkan genre intelektual NU mewakili garis pengembangan fikih. Tak pelak, menghadapi isu-isu modern, Muhammadiyah dalam perkembangannya menggagas tauhid sosial, sedangkan NU memperkaya diri dengan kontekstualisasi hukum Islam dan ide-ide pribumisasi. Dua organisasi ini dalam karakter historis mewakili corak pandang keagamaan Nusantara dan dapat dipastikan tidak pernah terlibat dalam upaya-upaya gerakan radikalisme agama. Tulisan ini membahas ketajaman visi tauhid sosial Muhammadiyah dalam bidang sosial-pendidikan. Dua bidang ini terbukti ampuh sebagai ruang alternatif di tengah derasnya arus globalisasi dalam segala aspek kehidupan. Rasanya memberikan motivasi secara simultan kepada persyarikatan Muhamamdiyah untuk terus peduli kepada perbaikan kualitas kesehatan dan kualitas pendidikan merupakan kebutuhan nyata dalam menghasilkan sumber tenaga manusia yang berkualitas dan bernilai guna bagi kemajuan bangsa Indonesia. Makna Tauhid Sosial Keprihatinan atas berbagai masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan merupakan alat analisis sosial yang tidak saja berlaku bagi kalangan teoretisi sosial semata. Kalangan Agamawan cukup peka atas persoalan-persoalan tersebut, landasannya pun diperkuat dengan pandangan-pandangan teologis yang berangkat atas dasar pemikiran keberadaan manusia yang berkedudukan sama (al-musawwah) dan berkeadilan (al-'adalah). Tujuan dari pandangan ini bermuara kepada usaha meminimalisasi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan karena tiga penyakit tersebut dapat menyebabkan terjerambabnya seseorang dalam kemusyrikan dan kekufuran. Spektrum pemecahan masalah sosial dari perspektif agama secara teoritik dimulai dalam upaya pendefinisian makna tauhid dan gerakannya sesuai dengan nilai-nilai transendental. Gerakan pembaruan pasca kaum puritan lebih bercorak kepada kritik ketertinggalan internal umat Islam dan ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi dinamika kemajuan Barat (Harun Nasution: 1975). Keprihatinan mendalam kaum pembaru tersebut beralamat kepada pelembagaan sufistik secara berlebihan dan menyebabkan umat terjebak taklid terhadap seseorang. Muhammadiyah dan NU dapat dimasukkan sebagai organisasi pembaru walaupun dengan corak dan karakteristik masing-masing, kemiripan yang sama antara dua organisasi soasial-keagamaan ini terletak kepada pendekatan budaya dalam menyampaikan visi keislaman masing-masing. Salah-satu penelitian tentang Muhammadiyah yang bisa dianggap best seller yaitu penelitian yang dilakukan oleh Mitsuo Nakamura (1983), dalam penelitian ini dijelaskan bagaimana pendekatan kultural yang dilakukan Muhamadiyah di Yogyakarta terutama di Kota Gede sehingga jiwa organisasi ini menyatu dalam sanubari umat. Selain itu, gerakan Muhammadiyah didasari atas pemahaman tauhid sosial, pendirinya K.H. Ahmad Dahlan merupakan ulama yang sangat dikenal dalam aplikasi tauhid sosial tersebut. Apabila kader Muhammadiyah membaca surat al-Ma'un, kader Muhamadiyah langsung teringat pijakan moral yang disampaikan oleh Ahmad Dahlan agar mereka benar-benar aktif dan memberikan simpati terhadap ketimpangan sosial di mana pun kader tersebut berada. Gagasan tauhid sosial mempunyai makna dan fungsi dalam lima hal. Pertama, meniadakan thaghuth atau mengingkari yang selain Allah, termasuk thaghuth politik seperti tirani yang dibangun manusia. Kedua, selain meniadakan hal-hal yang selain Allah adalah beriman sepenuhnya kepada Allah. Ketiga, deklarasi untuk melakukan komitmen secara utuh kepada Tuhan. Keempat, menerjemahkan keyakinan tauhid menjadi sikap budaya dinamis dalam mengembangkan amal shaleh. Kelima, ketegasan dalam membedakan antara yang baik dan buruk (Amien Rais: 1998). Dengan demikian dapat dikatakan tauhid dalam makna tersebut tidak sekadar dalam aspek vertikal saja tetapi juga mempunyai aspek horizontal kemanusiaan. Tauhid sosial menganggap ketimpangan sosial sebagai musuh sejati dan salah satu wujud gerakannya sekarang adalah bagaimana menggerakkan distribusi sosial dalam lingkungan neoliberalisme yang oleh segelintir teoritikus dianggap sebagai the end of history (Moeslim Abdurrahman: 2005, h.179 ). Aplikasi Tauhid Sosial Dakwah persyarikatan Muhammadiyah dalam memperkuat lembaga pendidikan, kesehatan, panti asuhan, dan tugas-tugas sosial lain seperti pemikiran mengatasi kemiskinan, penganguran, kejahatan, dan tindakan-tindakan asusila dapat mengikis sikap skeptis (keraguan) manusia terhadap peran agama dalam kehidupan modern. Sikap skeptis terhadap peran agama dewasa ini diperkokoh budaya hedonis yang menganggap materi merupakan satu-satunya cara dalam menyelesaikan persoalan kehidupan. Kekuatan kapital telah mempunyai akibat terhadap aspek sosial dan kemanusiaan yang lain. Kisah penderitaan orang-orang tertindas telah menimbulkan ketidakpastian dalam gurita the consumer culture yang menyelimuti masyarakat secara umum. Dalam situasi inilah, persyarikatan Muhammadiyah dituntun untuk tidak terjebak dalam tikaman zaman atau gurita kapitalistik. Hal serius yang patut menjadi perhatian Muhammadiyah secara berkesinambungan terkait dengan pemberdayaan masyarakat adalah pendidikan dan kesehatan, karena usaha kesehatan dan pendidikan dewasa ini ikut dibaluti kabut tebal the consumer culture di atas. Kesehatan yang masyarakat berharap banyak kepada peran negara dihantui oleh panjangnya birokrasi, antrean panjang di rumah sakit, pelayanan asuransi kesehatan (askes) yang tidak menyenangkan, serta problem tidak terdeteksinya obat palsu yang berkeliaran di pasar. Bahkan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) yang menjadi tumpuan masyarakat rendah hanya menyediakan obat-obatan yang tidak berkualitas, kenyataan ini diperparah lagi dengan rahasia umum bahwa miskinnya obat-obatan di rumah sakit dibarengi kenyataan tersedianya obat berkualitas di tempat-tampat praktek dokter pribadi yang sekaligus mereka adalah pegawai pemerintah di rumah sakit. Dalam hal ini, adagium yang berkembang "orang miskin dilarang sakit" sudah menjadi kenyataan. Rumitnya dunia kesehatan bagi si miskin diikuti oleh dunia pendidikan yang mulai ikut menjaga jarak dengan kaum lemah (mustadh'afin). Publikasi dan penerapan Badan Hukum Pendidikan (BHP) mengarah kepada pembelaan terhadap pasar dan modal. Mahalnya pendidikan sudah bukan barang rahasia, lazimnya dalam logika kapitalis, semakin mahal pendidikan semakin berkualitas pendidikan tersebut. Dengan demikian, pendidikan sudah berpaling dari milik kolektif masyarakat, pendidikan berpindah kepada mereka yang berkantong tebal dan memiliki modal material pendidikan, cita-cita orang miskin mendapatkan pendidikan suatu saat hanya tinggal cita-cita, pendidikan yang awalnya adalah mencerdaskan umat manusia menjadi mencerdaskan segelintir orang dan pelan-pelan menjadi alat penindas bagi manusia lain. Untuk itu, persyarikatan Muhammadiyah harus diingatkan kembali bahwa fitrah organisasi ini selain memikirkan fondasi spiritual masyarakat, ia juga mempunyai ikhtiar dalam pelayanan kualitas kesehatan dan pencerdasan umat manusia. Dalam hal ini, kader Muhammadiyah harus terus berpikir mulia; dengan kesehatan dan kecerdasan, masyarakat pasti mampu memberdayakan dirinya. Namun, apabila gerakan Muhammadiyah ikut terlibat dalam usaha kapitalisasi kesehatan dan pendidikan, maka watak primer khittah Muhammadiyah telah hilang. Wallahu'alam. n |
No comments:
Post a Comment