Oleh :Muhammad Thalib
Wakil Amir Majelis Mujahidin
Kunjungan kenegaraan Presiden Rusia Vladimir Putin ke Indonesia selama dua hari (5-6/9) sebenarnya merupakan hal yang lumrah dari sisi hubungan diplomatik. Kunjungannya kali ini didasari oleh pertimbangan bahwa hubungan kedua negara telah lama berjalan. Bahkan Rusia yang dahulu masuk dalam federasi Uni Soviet telah ikut membantu pembangunan Indonesia, antara lain lewat pabrik baja Krakatau Steel, riset nuklir di Yogyakarta, RS Persahabatan, dan Gelora Bung Karno di Jakarta.
Menurut Presiden Putin, kunjungannya ke Indonesia memiliki makna yang sangat strategis bagi kedua negara dalam rangka agenda bilateral. Putin menyatakan bahwa Rusia menghargai kedaulatan RI dan integrasi wilayah setiap negara. Dalam kunjungannya, Putin ingin memfokuskan pada hubungan bilateral sesuai dengan tuntutan global kontemporer.
Kata dia, "Kini hubungan internasional sedang mengalami masa sulit serta mengalami transformasi yang kritis. Maka ketika harus memutuskan bentuk masa depan tatanan dunia (the new world order) Indonesia dan Rusia bersikap konsisten untuk memperkuat prinsip kolektif dan aturan main hukum Internasional." Selanjutnya, Putin mengatakan, "Kita juga mempunyai prinsip yang sama tentang sikap untuk tidak mencampuri urusan domestkk sebuah Negara". (Kompas, 5 September 2007).
Pernyataan Putin tersebut, merupakan basa-basi diplomatik yang lumrah dalam pergaulan internasional. Akan tetapi di balik pernyataan Putin itu terdapat refleksi kekhawatiran Rusia terhadap perkembangan kontemporer yang semakin tidak kondusif untuk menciptakan pergaulan kolektif dan keamanan domistik karena adanya adidaya tunggal Amerika Serikat (AS) tanpa kekuatan tandingan.
Sejak Uni Soviet runtuh secara formal dan digantikan dengan Rusia pada 1991, AS mulai menunjukkan arogansinya dengan memberangus kekuasaan Saddam setelah menginvasi Kuwait pada 1980. AS yang arogan kemudian melanjutkan pamer kedigdayaan dengan menyerang Afghanistan dan Irak 2003, pascapengeboman WTC 11 September 2001. Kondisi inilah yang sebenarnya merupakan bagian tersirat yang penting di balik pernyataan Putin itu.
Mayoritas Muslim
AS dan Barat sudah lama memiliki NATO. Akan tetapi AS tidak puas hanya mencengkeram negara-negara Barat di bawah payung NATO, dan masih bermimpi untuk menjadi kaisar di wilayah Asia Pasifik. Kongres AS 1953 (Harbul Khalij, Husain Haekal 1992) membuat grand design bahwa abad ke-21 adalah abad Amerika di mana Asia Pasifik menjadi wilayah pinggirannya.
Mimpi besar ini secara konsisten hendak diwujudkan oleh pemerintah AS melalui para presiden yang memimpin negeri ini. Sikap agresif AS mulai membuat resah negara-negara Asia Pasifik karena sebagian dari negara di wilayah ini adalah musuh AS secara ideologis seperti Cina, Korea Selatan, Vietnam, dan Rusia sendiri.
Negar-negara di Asia Pasifik dari sisi agama terbagi ke dalam tiga komunitas besar yaitu Kristen, Islam, dan agama-agama lain. Secaara ideologi, keagamaan yang dapat menjadi halangan bagi AS untuk merealisasikan mimpi besarnya adalah Islam. Indonesia, oleh Putin dipandang sebagai benteng yang dapat menjaga keseimbangan benturan antara Rusia-Cina di satu pihak dengan AS dan kaki tangannya di pihak lain. Maka Indonesia dalam peta pertarungan internasional semacam ini memiliki posisi tawar yang tinggi di mata presiden Putin dan di mata AS.
Keberadaan Muslim mayoritas inilah yang membuat AS dan negara-negara Barat tidak dapat menempatkan Indoneia sebagai kaki tangannya, sebagaimana menjadikan Filipina, Singapura, dan Korea Selatan melayani kepentingan domestik AS. Kalkulasi politik global kontemporer sebagaimana dapat kita pahami dari apa yang tersirat dari pernyataan Putin itu, bagi tokoh-tokoh nasionalis sekuler maupun Muslim nasionalis haruslah dapat menyadarkan mereka bahwa dunia internasional menyadari eksistensi Indonesia ke depan ditentukan oleh kiprah mayoritas Muslim di Indonesia.
Oleh karana itu, tokoh-tokoh Muslim nasionalis seperti Amien Rais, Syafii Ma'arif, Hasyim Muzadi, dan Abdurrahman Wahid, harus belajar kepada Putin bagaimana menghargai keberadaan mayoritas Muslim di Indonesia untuk menjadi kekuatan penyeimbang dalam percaturan global kontemporer. Mereka tidak sepantasnya mendeskreditkan Muslim di negeri ini agar menukar identitasnya dengan identitas lain yang menjadi kepentingan adidaya AS dan Barat, apalagi kepentingan Zionis.
Identitas Indonesia
PDIP dalam rakernasnya (8/9) di Jakarta mengajak bangsa ini untuk membangun identitas dan martabat bangsa. Anehnya, selama ini PDIP memposisikan Islam hanya subordinasi dari identitas nasional Indonesia, bahkan Islam dianggap ancaman oleh PDIP seperti yang tersirat dalam pertemuannya dengan Golkar di Medan dan Palembang awal Agustus yang lalu. Kekhawatiran yang bersifat phobia ini dikumandangkan begitu rupa, kemudian mereka petakan Islam di Indonesia dalam kelompok militan dan moderat.
Terhadap kelompok militan, PDIP dan Golkar menempatkannya sebagai the same icon enemy yang membahayakan identitas bangsa ini. Halusinasi PDIP dan Golkar itu terpatahkan oleh pernyataan Putin yang memberikan apresiasi positif terhadap mayoritas Muslim di Indonesia tanpa mengelompokkan moderat dan militan. Seharusnya, kekuatan politik apapun yang ada di Indonesia jika ingin membangun identitas Indonesia sebagai kekuatan yang berwibawa tidak boleh mengelompokkan Islam dalam golongan moderat dan militan. Akan tetapi harus menjadikan mayoritas Muslim Indonesia sebagai tuan di negerinya sendiri, bukan sebagai penunjang kepentingan politik sementara.
Oleh karena itu partai politik apapun di Indonesia dan siapapun yang menjadi pemimpin pemerintahan di Indonesia harus menempatkan kepentingan mayoritas Muslim sebagai agenda utama dalam membangun identitas dan martabat Indonesia.
No comments:
Post a Comment