Tuesday, September 11, 2007

Puasa dan Pluralitas Pendidikan


Penulis: Thoifuri, Dosen STAIN Kudus dan Mahasiswa Program Doktor IAIN Walisongo Semarang

OTONOMI pendidikan merupakan perjuangan panjang awal diletakkannya UU No 1 Tahun 1945, UU No 22 Tahun 1948, UU No 18 Tahun 1965, dan UU No 5 Tahun 1975. UU tersebut dianggap kurang relevan dalam menata suatu sistem pemerintahan. Itu sebabnya lahirlah UU No 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah.

Lahirnya UU No 22 Tahun 1999 ini bertujuan mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja dan melatih rakyat menggunakan hak demokrasinya untuk mencapai efisiensi kerja, menjaga relevansi dengan keadaan khas daerah terutama budaya, geografi, dan karakteristik lainnya (Ana Suhaenah Suparno, 2003:72). Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana efektivitas dan kualitas pendidikan setelah otonomi daerah tersebut?

Di satu sisi para pakar pendidikan menyalahkan pemerintah dan di sisi lain menyalahkan diri sendiri. Mereka menganggap pemerintah setengah hati menangani pendidikan. Sedangkan mereka sendiri gagap dalam meningkatkan kualitas pendidikan di institusi yang mereka tangani. Itulah problematik besar yang melingkupi aspek pendidikan kita sehingga berimbas pada kebodohan, hanya pandai berteori, dan sulit melaksanakan.

Upaya program wajib belajar 9 tahun dengan gratis merupakan kiat baik pemerintah. Ironisnya, pendidikan semakin mahal sehingga banyak keluhan dari masyarakat. Mencermati persoalan pendidikan, kadang kita kurang memerhatikan salah satu faktor yang dapat mendukung pencapaian kualitas pendidikan, yakni puasa.

Terdapat hubungan kausalitas antara puasa dan kualitas pendidikan, prestasi belajar siswa. Ibarat ladang, bila ditanami sesuatu dan terlalu banyak air, tanaman itu akan mati. Demikian pula perut seseorang, jika banyak makanan, akan dapat menjadikan hati mati dan malas belajar. Di situlah peran puasa menjadikan orang mampu belajar hingga lama, manakala diimbangi kesesuaian antara perut, hati, dan pikiran.

Puasa mengandung nilai khusus bila dibandingkan dengan bentuk ibadah lainnya. Puasa langsung melekat dengan eksistensi Allah SWT dan sekaligus mampu mengangkat derajat manusia menjadi muttaqin. Tanpa mengecilkan arti ibadah lain, puasa punya nilai plus yang dapat meningkatkan kualitas berpikir dan meredam emosi yang berlebihan. Hadis Qudsi menjelaskan, ''Puasa adalah urusan-Ku, Allah SWT, maka Aku-lah yang berhak memberi pahala sendiri.'' Di samping itu, hadis lain menyatakan, ''Setiap sesuatu itu ada zakatnya (pembersih) maka zakatnya badan seseorang adalah puasa.'' (HR Ibnu Majjah).

Hanya ritual

Puasa merupakan bentuk ibadah yang dianggap berat bagi orang awam. Karena butuh pengorbanan jasmani dan rohani. Rasa lapar dan haus sepanjang 14-15 jam, tidak boleh berhubungan seks dengan suami/istri di siang hari, tidak boleh bicara yang kurang manfaat, sampai tidak boleh melakukan kegiatan yang merugikan orang lain merupakan 'siksaan' tersendiri.

Perlu dipahami bahwa tolok ukur iman seseorang juga dapat dilihat dari ibadah puasa. Sejatinya puasa dapat membuat bening hati untuk konsentrasi belajar, terutama pemerintah dalam menentukan kebijakan pendidikan. Sebagai hipotesis, benarkah para pemimpin enggan melaksanakan puasa? Mungkin jawabnya tidak. Hanya saja mereka masih belum memahami hakikat makna puasa. Puasa hanya dianggap sebagai aktivitas ritual bernuansa budaya unsich. Atau yang paling ironis hanya dijadikan tradisi menghargai teman sejawat.

Apabila hipotesis itu benar, tidak tertutup kemungkinan berbagai krisis bangsa ini makin sulit diatasi. Padahal aktivitas puasa dapat dijadikan instrumen penyadaran diri untuk membuat semua tata kehidupan menjadi elegan dan egalitarian sesuai nilai-nilai kemanusiaan.

Berbagai krisis yang menghantam negeri ini makin sulit ditangani dengan baik. Lihat saja bagaimana kesenjangan sosial semakin tampak, penyelesaian kasus korupsi seperti menggantang asap, atau sikap individualistis yang makin menguat.

Krisis budaya bisa dilihat dari gaya hidup yang bernuansa glamor, jauh dari budaya religius, seks bebas, hingga budaya kekerasan antara pihak keamanan dan rakyat.

Penulis berasumsi dengan adanya segudang krisis tersebut berimplikasi pada musibah nasional, seperti bencana alam, penyakit busung lapar, dan flu burung. Solusi krisis ini mungkin dapat diatasi jika semua elemen bangsa memegang teguh nilai-nilai agama. Seperti puasa merupakan puncak kegiatan untuk semua orang (walaupun nonmuslim) yang dapat mengendalikan semua bentuk hawa nafsu amarah (negatif).

Pluralitas

Secara etimologis puasa berarti menahan. Yakni menahan diri dari segala bentuk makan, minum, dan bicara yang tidak baik menurut hukum agama dan adat. Adapun Ramadan bermakna pembakaran. Berpuasa Ramadan berarti seseorang yang menjalankan akan membakar semua dosa-dosanya yang telah diperbuat.

Ibadah puasa ini memang sangat unik dan menarik bagi siapa saja yang ingin mencari jati diri kemanusiaannya. Hal tersebut terbukti tidak hanya kaum muslim yang interes menjalankan. Lihat saja pemeluk agama Buddha, Hindu, Kristen, dan Katolik senantiasa melestarikannya sebagai peranti memperbaiki diri, kelompok, bangsa, dan negara.

Bahkan puasa dapat dijadikan sebagai alat politik untuk mencapai tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis, seperti yang pernah dilakukan Mohandes Karamchaud Gandhi di India. Keprihatinannya terhadap pertikaian kaum muslim dan Hindu membuat ia puasa setiap hari. Visi dan misi antikekerasan senantiasa dipegang kuat karena kekerasan tidak harus dilawan dengan kekerasan pula. Hasilnya memuaskan.

Praktik seperti itu tentu tidak lepas merujuk apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad SAW 15 abad silam. Keberhasilan beliau dalam membawa visi-misi kerasulan Allah SWT dengan memperbanyak puasa dalam kehidupan sehari-hari. Beliau bersabda, ''Bukanlah puasa itu sekadar menahan dari makan dan minum, melainkan sesungguhnya puasa itu menahan diri dari perkataan yang sia-sia dan caci maki.'' (HR Thabrani). Hadis lain menegaskan, ''Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan keji dan melakukan kejahatan maka tidak ada hajat (tidak menerima) Allah SWT akan puasanya sekalipun ia telah meninggalkan makan dan minum.'' (HR Bukhari).

Hadis-hadis tersebut dapat dijadikan modal dasar bahwa puasa mempunyai arti penting untuk membentuk kepribadian manusia itu sendiri. Landasan autentiknya, ''Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana orang-orang terdahulu, agar kamu menjadi orang yang bertakwa (QS Al-Baqarah:183).

Puasa Ramadan sebagai media pembersih diri harus dijalankan dengan sungguh-sungguh. Karena hikmahnya; pertama, kesabaran. Kisah ini pernah dicontohkan Nabi Muhammad SAW bahwa ''Manakala salah seorang di antara kamu berpuasa, janganlah berkata kotor dan berteriak-teriak. Apabila kamu dicaci atau diperangi (dipukul) seseorang, katakanlah kepadanya: 'Aku sedang berpuasa'.'' (HR Hakim).

Kedua, kesehatan. ''Berpuasalah kamu sekalian agar kamu menjadi sehat.'' (HR Ibnu Sunny dan Abu Nuwa'in). Ketiga, kecerdasan intelektual, ibarat hati seseorang dengan ladang. Ladang yang terlalu banyak air akan membuat tanaman di atasnya mati. Demikian pula jika perut manusia selalu dipenuhi makanan, akan menjadikan malas bekerja, malas belajar, yang berimplikasi kebodohan.

Keempat, dengan puasa seseorang mampu melihat penderitaan orang lain sebagaimana yang ia derita pada saat lapar dan dahaga. Kelima, dengan puasa seseorang mampu memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Karena puasa merupakan parameter orang-orang yang bertakwa (QS: Al-Baqarah:183). Itulah rahasia puasa bagi segenap manusia dalam berbagai profesi dan keyakinannya.

No comments: