Tuesday, September 4, 2007

Tantangan Umat yang Semakin Kompleks

M Zaid Wahyudi dan Imam Prihadiyoko

Sebagai bagian terbesar dari bangsa Indonesia, umat Islam masih menghadapi berbagai masalah pelik dalam bidang ekonomi dan sosial. Namun, tarikan politik terhadap umat justru lebih kuat daripada usaha untuk segera menyejahterakan mereka.

Diakui atau tidak, sebagian besar penghuni kolong jembatan tol, permukiman kumuh, dan desa-desa tertinggal adalah umat Islam.

Kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan berimbas pada kemunduran moral dan kualitas hidup mereka. Globalisasi yang menawarkan modernisasi sulit diikuti umat dan sering menempatkan mereka hanya sebagai penonton.

Gaya hidup konsumtif yang dibawa ideologi kapitalis dengan menumpang globalisasi juga menyergap umat. Kurangnya kemampuan untuk menyaring ide negatif dan buruknya teladan dari para elite membuat mereka makin terjebak dalam ketidakberdayaan.

Kesenjangan antara kaum mapan yang berlimpah sumber daya dan kaum papa yang turun temurun terjerat kemiskinan semakin lebar.

Dalam pemikiran keagamaan pun, berbagai aliran masuk bebas ke Indonesia tanpa adaptasi dengan nilai lokal, mulai dari aliran paling kanan hingga paling kiri. Semua berebut pengaruh untuk tampil sebagai pemikiran terbenar, semua mengklaim paling sesuai dengan ajaran Tuhan dan paling mungkin diterapkan.

Hal itu menambah kebingungan umat yang hampir tak pernah dipersiapkan untuk menghadapi keragaman pemikiran.

Di sisi lain, para elite politik dan kelompok agamawan terus mendesakkan pentingnya keluhuran susila. Moral dianggap menjadi kunci menuju kesejahteraan. Karena itu, moral umat harus diatur sedemikian rupa tanpa peduli moral diri sendiri.

Organisasi massa Islam yang semula didirikan untuk menyejahterakan umatnya juga mulai bergeser orientasinya. Mereka lebih suka membawa umat ke dalam masalah politik dan terjebak dalam rutinitas organisasi.

Sistem ekonomi ribawi

Dalam pandangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengampanyekan konsep Khilafah Islamiyah, seluruh keterpurukan umat terjadi akibat tak dilaksanakannya syariat Islam secara penuh. Sistem dalam Islam hanya diambil sebagian sesuai keinginan mereka yang mengamalkannya.

Juru Bicara HTI Muhammad Ismail Yusanto seusai diskusi Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan "Konferensi Khilafah Internasional 2007 dan Upaya Penegakan Khalifah" di Jakarta, pekan lalu, mengatakan, kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan yang dialami umat Islam saat ini akibat sekulerisasi yang terjadi dalam hampir seluruh kehidupan umat.

"Jika Indonesia ingin baik pada masa mendatang, tidak ada cara lain selain dengan khilafah. Selamatkan Indonesia dengan syariah," ujarnya.

Khilafah Islamiyah adalah sistem politik tunggal yang menyatukan umat Islam di seluruh dunia—jumlahnya mencapai 1,4 miliar—yang perlu diatur dalam sebuah pemerintahan tunggal tanpa ada sekat negara.

Kemiskinan yang mendera umat, lanjut Ismail, terjadi akibat sistem ekonomi ribawi. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi bukanlah pertumbuhan riil. Uang yang ada lebih banyak menumpuk di bank sentral daripada digunakan untuk menggerakkan dunia usaha.

Kapitalisme global, lanjutnya, harus dilawan dengan persatuan umat. Terpecahnya umat Islam dalam batas negara membuat mereka tak berdaya menghadapi segala konflik internal dan eksternal. Karena itu, umat harus disatukan di bawah penerapan hukum agama secara mutlak.

Lemahnya internalisasi

Mantan Ketua Umum Muhammadiyah Syafii Ma’arif menilai, kemiskinan yang dialami umat terjadi akibat lemahnya internalisasi nilai Islam yang sebenarnya oleh penganutnya sendiri. Umat lebih peka terhadap persoalan susila daripada masalah sosial. Rendahnya kepedulian terhadap sesama membuat kemiskinan yang dialami umat Islam Indonesia sulit diatasi.

Secara terpisah, Ketua Pusat Kajian Islam dan Negara Universitas Paramadina Yudi Latif menilai, kemiskinan yang terjadi dapat memunculkan individu yang radikal. Bagi kelompok menengah atas dan terdidik, terhambatnya proses mobilisasi vertikal akibat mandeknya ekonomi dapat menyuburkan fundamentalisme dan perlawanan ideologis terhadap sistem yang berlaku.

Sedangkan bagi kelompok masyarakat berpendidikan rendah, radikalisme akan muncul dalam bentuk fantasi hadirnya "Sang Ratu Adil". Figur ini dapat muncul dari elite bangsa yang dianggap mampu memberi solusi.

Tetapi, saat elite yang dapat menjadi panutan masyarakat tak muncul, masyarakat mengidealisasikannya dengan syariat. Penerapan syariat dianggap sebagai solusi pembebasan diri dari ketersisihan. Kondisi ini sering dimanfaatkan elite tertentu dengan menggeneralisasi pandangan masyarakat terhadap syariat demi kepentingan pribadi.

Kondisi ini, lanjut Yudi, kurang mampu disikapi oleh organisasi massa Islam. Selama 1,5 abad terakhir, ormas Islam di Indonesia lebih intensif untuk memperluas gerakan sosial politik dan dakwah mereka. Infrastruktur ilmu pengetahuan tak berkembang. Akibatnya, umat Islam kurang memahami substansi pemikiran Islam yang ada. "Setiap muncul tantangan baru dalam interpretasi agama, muncul reaksi yang berlebihan," kata Yudi.

Terlambat

Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra dalam Konferensi Nasional "Islam, Good Governance, dan Pengentasan Kemiskinan" di Jakarta, 27 Agustus lalu, menilai, organisasi massa Islam besar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, terlambat dalam menyikapi kemiskinan umatnya.

NU dan Muhammadiyah justru terperangkap dalam struktur pengelolaan organisasi besar. Akibatnya, mereka lambat untuk merespons permasalahan aktual yang dihadapi anggotanya.

"Ormas Islam cenderung mengalami stagnasi, khususnya dalam program advokasi untuk pemberdayaan sosial," kata Azyumardi.

Karena itu, ormas Islam perlu memiliki visi sosial baru agar mampu menjawab kebutuhan umat. Dakwah yang disampaikan harus lebih komprehensif dan inklusif, alias dakwah yang mencerahkan.

Menurut Yudi, kemiskinan dan ketertindasan merupakan produk murni dari kapitalisme. Kemiskinan bukanlah produk kebencian dari agama lain. Kemiskinan tidak mengenal agama, ras, maupun bangsa.

Karena itu, kemiskinan tidak bisa diselesaikan dengan kebencian terhadap kelompok agama lain. Justru kerja sama antarkelompok agama harus dilakukan untuk menggalang semangat menghadapi globalisasi budaya massa.

"Saat negara dan pasar tak bisa diandalkan untuk menjadi penyangga masyarakat, maka komunitas agama yang seharusnya mengambil peran," ujar Yudi.

Terobosan harus segera dilakukan untuk segera menyelamatkan umat dari bayang-bayang formalisasi dan politisasi agama yang dianggap mampu menyelesaikan seluruh masalah umat.

Agama hanya memberikan panduan dan arah dalam membangun masyarakat. Namun, masyarakat sendirilah yang harus mengambil inisiatif strategis untuk memuliakan dirinya sendiri berdasarkan panduan tersebut.

Azyumardi menilai, politisasi agama hanya akan membuat umat lupa akan masalah riil yang harus dihadapi. Masalah aktual umat tidak dapat diselesaikan dengan gagasan ilusif.

"Seolah-olah dengan syariat semua masalah sosial akan selesai, padahal tak sesederhana itu," katanya.

Politisasi agama juga hanya akan mereduksi nilai-nilai agama itu sendiri. Sebab, agama dan politik sering kali menjadi hal yang bertentangan. Agama yang mengutamakan moral dan toleransi harus berhadapan dengan politik yang memandang segala sesuatu sebagai teman dan lawan.

"Agama seharusnya kembali berperan seperti saat diwahyukan, sebagai titik temu moral bersama," kata Yudi.

Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Hasyim Muzadi berpendapat, agama harus mampu menjawab persoalan bangsa. Jika kehadiran agama hanya menimbulkan perselisihan dan konflik, agama hanya akan menjadi masalah yang mengganggu negara.

Formalisasi atau politisasi agama hanya akan menimbulkan perpecahan bangsa. Dalam ruang publik bersama, nilai-nilai universal agamalah yang harus tampil, yaitu cinta keadilan, penebar kasih sayang, antikekerasan, membawa kedamaian, dan peduli kesejahteraan umatnya.

No comments: