Monday, September 24, 2007

MENGENAL ALIRAN-ALIRAN DALAM ISLAM


Sebuah Pendekatan Sejarah


Tulisan ini hendak melakukan kilas balik sejarah dalam memperkenalkan aliran-aliran
dalam Islam. Bahasan ini saya sajikan tanpa berpretensi bahwa apa yang saya sampaikan
ini merupakan satu-satunya informasi yang akurat dan juga tanpa bermaksud mengadili
salah satu aliran. Dengan melihat sejarah Islam, saya berharap kita bisa menilai dengan
jernih fenomena aliran dalam Islam, dan lebih dari itu, kita bisa melakukan toleransi
terhadap perbedaan pendapat yang muncul di antara aliran-aliran itu.

Siapa Pengganti Nabi?

Nabi Muhammad SAW adalam pemimpin keagamaan dan pemimpin politik sekaligus. Ia adalah
nabi yang terakhir. Tidak mungkin ada nabi sepeninggal beliau. Artinya, posisi
sebagai pemimpin keagamaan (setingkat nabi) tidak mungkin ada yang meneruskan tetapi
sebagai pemimpin politik (setingkat kepala negara) dapat saja digantikan dan diteruskan
oleh sahabat beliau.

Pertanyaannya : siapa yang menggantikan beliau sebagai pemimpin politik, apa syaratnya
dan bagaimana caranya ? Justru di sini persoalannya. Ijinkan saya menceritakan proses
terpilihnya Abu Bakar. Wafatnya Rasul membuat Madinah bising dengan tangisan. Umat pun
bertanya-tanya siapa yang akan memimpin mereka. Sebagian sahabat terkemuka rupanya
sudah memikirkan hal itu dan berkumpul di "balairung" safiqah di perkampungan Bani
Sa'idah. Yang mula-mula berkumpul disana adalah golongan Anshar, yang terbagi pada
suku Kharaj dan 'Aus.

Umar rupanya mendengar pertemuan tersebut. Ia mencari Abu Bakar dan menerangkan gawatnya
persoalan. Umar berkata,"Saya telah mengetahui kaum Anshar sedang berkumpul di Safiqah,
mereka merencanakan untuk mengangkat Sa'ad bin Ubadah untuk menjadi pemimpin (ia dari
suku Khazraj). Bahkan diantara mereka ada yang mengatakan dari kita seorang pemimpin dan
dari Quraisy seorang pemimpin ( minna amir wa minkum amir). Ini dapat membawa pada
dualisme kepemimpinan yang tak pelak lagi akan menggoyang "bayi" umat Islam.

Setelah mengerti betapa gawatnya pesoalan, Abu Bakar mengikuti Umar ke Safaqah. Di
tengah perjalanan keduanya bertemu Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan ia diajak ikut serta.
Ketika mereka tiba telah hadir terlebih dulu beberapa kaum muhajirin yang tengah
terlibat perdebatan sengit dengan kaum Anshar. Umar yang menyaksikan di depan matanya
bahwa Muhajirin dan Anshar akan mencabik-cabik ukhuwah Islamiyah...hampir-hampir tak
kuasa menahan amarah dirinya. Sat ia hendak berbicara, Abu Bakar menahannya.

Setelah mendengar perdebatan yang terjadi, Abu Bakar mulai berbicara dengan tenang dan
ia mengingatkan bahwa bukankah Nabi pernah bersabda : al-aimmah min Quraisy
(kepemimpinan itu berada di tangan suku Quraisy ). "Kami pemimpin (umara) dan kalian

"menteri/pembantu (Wizara). Telah bersabda Rasul bahwa ³dahulukan Quraisy dan jangan
kalian mendahuluinya."

Abu Bakar tak lupa mengingatkan pada kaum Anshar akan sejarah pertentangan kaum Khazraj
dan Aus yang bila meletup kembali (dengan masing-masing mengangkat pemimpin) akan
membawa mereka semua ke alam jahiliyah lagi. Kemudian Abu Bakar menawarkan dua tokoh
Quraisy, Umar dan Abu Ubaidah. Kearifan Abu Bakar dalam berbicara ditengan suasana penuh
emosional rupanya mengesankan mereka yang hadir. Umar menyadari hal ini dan ia
mengatakan pada mereka yang hadir bahwa bukankah

Abu Bakar yang diminta oleh Nabi untuk menggantikan beliau sebagai imam shalat bilamana
Nabi sakit ?

Umar dan Abu Ubaidah segera membai'at Abu Bakar tapi mereka didahului oleh Basyir bin
Sa'ad, seorang tokoh Khazraj, yang membaiat Abu Bakar. Kemudian yang hadir di safiqah,
semuanya memberi baiat Abu Bakar.

Keesokan harinya Abu Bakar naik ke mimbar dan semua penduduk Madinah membai'atnya. Abu
Bakar resmi menjadi khalifah ar-Rasul. Kemudian ia berpidato, sebuah pidato yang menurut
ahli sejarah dianggap sebagai suatu statement politik yang amat maju, dan yang pertama
sejenisnya dengan semangat "modern" (patisipatif-egaliter).

Semuanya ? Ternyata tidak, dari yang hadir di safiqah, Sa'ad bin Ubaidah tidak membai'at
Abu Bakar dan tidak pula ikut shalat jama'ah bersamanya. Diantara penduduk Madinah yang
tidak hasir di safiqah dan tidak membai'at Abu Bakar adalah Fatimah Az-Zahra. Ali bin
Abi Tahlib dan bani Hasyim serta pengikutnya tidak berbai'at selama enam bulan kemudian
setelah wafatnya Fatimah Az Zahra.

Umar berpidato,"... Berdirilah kalian dan berbai'atlah kalian (pada Abu bakar) sungguh
saya telah berbai'at kepadanya dan Anshar pun demikian" kemudian Ustman berdiri dan
bersamanya berdiri Bani Umayah, maka berbai'atlah mereka, Sa'ad bin Abi Waqash dan
Abdurrahman bin 'Auf berserta sukunya berdiri dan berbai'at pula. Adapun Bani Hasyim
berbai'atnya mereka kepada Abu Bakar, menurut sejumlah sejarawan, dengan tekanan
(paksaan).

Pada saat berlangsungnya persitiwa Saqifah, Ali bin Abi Thalib sedang mengurus jenazah
Nabi. Dia tidak mengetahui adanya pertemuan itu. Yang dia ketahui adalah bahwa Abu Bakar
terlah terpilih. Ketika diberitahukan kepada Imam Ali r.a. tentang peristiwa yang telah
terjadi di safiqah bani Sa'idah, ia bertanya :

"Apa yang dikatakan kaum Anshar ?"

"Kami angkat seorang dari kami sebagai pemimpin, dan kalian (kaum muhajirin) mengangkat
seorang dari kalian sebagai pemimpin !"

"Mengapa kamu tidak berhujjah atas mereka bahwa Rasulullah SAW telah berpesan agar
berbuat baik kepada orang-orang Anshar yang berbuat baik dan memaafkan siapa diantara
mereka yang berbuat salah " tanya Imam Ali lagi.

"Hujjah apa yang terkandung dalam ucapan seperti itu ?"

"Sekiranya mereka berhak atas kepemimpinan umat ini, niscaya Rasulullah SAW tidak perlu
berpesan seperti itu tentang mereka."

Kemudian Imam Ali bertanya :
"Lalu apa yang dikatakan orang Quraisy ?"

"Mereka berhujjah bahwa Quraisy adalah 'pohon' Rasulullah SAW."

"Kalau begitu mereka telah berhujjah dengan 'pohonnya' dan menelantarkan buahnya!"
Maksud imam Ali, jika Quraisy pohon Rasulullah maka Ali adalah buahnya. Ini bisa
dimengerti mengingat dalam suku Quraisy, Bani Hsyim dan Bani Umayyah adalah dua klan
terhormat. Dan Ali merupakan pemuda Bani Hasyim yang terhormat, mengingat Hamzah
telah wafat dan Abbas baru masuk Islam, disamping itu Abu Sufyan dari bani Umayyah juga
beru masuk Islam. Jadi dari silsilah itu seharusnya, jika al-aimmah min Quraisy difahami
secara lahiriah maka hanya Imam Ali lah yang berhak menduduki jabatan khalifah.

Sampai di sini mulai muncul benih-benih perpecahan. Sebagian pengikut Ali, yang percaya
bahwa Nabi telah mewasiatkan kepada Ali sebagai penggantinya, bersabar dan menahan diri
sehingga tidak ada pertumpahan darah saat itu. Bahkan ketika Abu Sufyan mengajak Ali
memerangi Abu Bakar, Ali menolak dan lebih mementingkan ukhuwah.

Kematian Utsman
Sepeninggal Abu Bakar (yang hanya menjabat selama dua tahun), Umar bin Khattab terpilih
sebagai khalifah. Singa Padang Pasir ini telah berhasil meluaskan kekuasaan Islam sampai
Palestina dan Mesir. Ketika maut menjemputnya, Utsman terpilih menggantikannya. Tidak
dapat dipungkiri bahwa pada masa awal kekhalifahannya, Utsman memimpin dengan sangat
bijaksana. Bahkan pada periode Utsman-lah lahirnya apa yang kita kenal sebagai mushaf
utsmani. Sayang, di masa berikutnya, Utsman dituduh melakukan nepotisme. Dia banyak
mengangkat keluarganya sebagai pejabat, bahkan Marwan yang pernah dilaknat dan diusir
Rasul, dipanggil pulang ke Madinah dan diberi jabatan Gubernur oleh Utsman.

Ketidaksenangan mulai menjalar ke mana-mana. Sampai akhirnya, sejumlah ³demonstran² yang
mengepung rumah Utsman, khalifah yang sudah sepuh itu, berhasil mengayunkan pedang untuk
membunuh Utsman yang tengah membaca Al-Qur¹an. Jari isterinya yang berusaha melindungi
Utsman ikut terkena sabetan pedang. Inilah darah pertama yang tumpah akibat pertikaian
politik di tubuh umat Islam.

Sesaat setelah Utsman terbunuh, Ali segera dipilih sebagai Khalifah keempat. Mu¹awiyah,
salah seorang Gubernur masa Utsman dan masih terhitung keluarga Utsman, menuntut Ali
untuk segera menghukum pembunuh Utsman. Ali menolak untuk sementara, karena darah Utsman
sudah tumpah, dan Ali tak mau ada darah lain yang tumpah. Ali meminta semua pihak
menahan diri dahulu dan mendinginkan hati baru kemudian mengadili pembunuh Utsman.

Penolakan ini membuat Mu¹awiyah mengerahkan pasukannya ke ibu kota negara. Terjadilah
peperangan antara kubu Ali dengan kubu Mu¹awiyah. Di saat Mu¹awiyah terdesak, kubunya
mengangkat Qur¹an dengan pedang tanda minta gencatan senjata. terjadilah perundingan.
Sayang, Amr bin Ash (kubu Mu¹awiyah) berlaku licik dan mengelabui utusan Ali dalam
perundingan itu, Asy¹ari. Hasil perundingan itu mengecewakan kubu Ali.

Sebagian pengikut Ali yang setia tetap mendukung Ali (mereka inilah yang kemudian
mengklaim sebagai golongan Syi¹ah). Kelompok Syi¹ah ini tetap konsisten mendukung Ali
sejak pemilihan Abu Bakar dahulu. Sebagian lagi merasa kecewa dengan Ali dan Mu¹awiyah,
lalu mereka membentuk kelompok Khawarij. Di luar itu merupakan kelompok yang tidak ke
mana-mana dan ini jumlahnya mayoritas (jama¹ah).

Kelompok Khawarij berpendapat bahwa sumber malapetaka ini adalah Ali dan Mu¹awiyah
karena itu keduanya harus dibunuh. Akhirnya mereka berhasil membunuh Ali (namun gagal
membunuh Mu¹awiyah). Dengan terbunuhnya Ali, sejarah selanjutnya berpihak kepada
Mu¹awiyah (yang kemudian melahirkan Dinasti Umayyah yang menguasai dunia Islam ratusan
tahun lamanya sebelum ditmbangkan oleh Dinasti Abbasiyah).

Selesaikah persoalan? Ternyata tidak! Para ulama berdebat apa hukumnya orang muslim yang
melakukan dosa besar, seperti membunuh? Apakah dia masuk surga atau tidak? Pertanyaan
singkat ini telah melahirkan sejumlah pendapat. Kaum Khawarij berpendapat bahwa mereka
adalah kafir (untuk itulah mereka membunuh Ali dan mencoba membunuh Mu¹awiyah karena
keduanya dianggap melakukan dosa besar). Kaum Murji¹ah menyerahkan pertanyaan itu kepada
kehendak Allah. Mayoritas mengatakan bahwa muslim tersebut tetap masuk surga meskipun
sudah melakukan dosa besar.

Ratusan tahun setelah peristiwa ini, para ulama masih saja berdebat soal pertanyaan
tersebut. Perlahan tetapi pasti, mulai terjadi polarisasi secara formal. Muncul Washil
bin Atho yang berpendapat bahwa muslim yang berdosa besar itu berada pada posisi di
antara surga dan neraka (manzilah baina manzilatain). Kelompok Washil ini kemudian
dinamakan Mu¹tazilah. Salah satu pengikut Washil bernama Asy¹ari. Di suatu hari Asy¹ari
menyatakan diri keluar dari Mu¹tazilah, lalu membuat kelompok yang dinamakan
Asy¹ariyah. Kelompok terakhir ini berpendapat sama dengan kelompok mayoritas ratusan
tahun sebelumnya, tepatnya pada peristiwa setelah perang Ali dan Mu¹awiyah. Belakangan,
kelompok ini juga didukung oleh kelompok Maturidiyah dan Salafiyah. Ketiganya, yaitu
Asy¹ariyah, Maturidiyah dan Salafiyah kemudian disebut sebagai Ahlus Sunnah Wal Jama¹ah.

Kelompok Asy¹ariyah inilah yang masuk ke Indonesia. Sedangkan kelompok Salafiyah masuk
ke daerah Saudi Arabia. Kelompok Maturidiyah masuk ke daetah Samarkand, Bukhara (dahulu
masuk wilayah Uni Sovyet) dan Transoxania. Adapun Kelompok Syi¹ah dianut oleh penduduk
Iran dan sebagian Iraq. Sedangkan Mu¹tazilah dahulu menguasai hampir seluruh daerah
Islam (sampai ke Spanyol) karena sempat dijadikan aliran resmi negara Islam, namun
Mu¹tazilah tumbang karena tumbang pula khalifah yang mendukungnya. Sejak saat itu, amat
jarang kita temui kelompok Mu¹tazilah ini. Begitu pula kelompok Khawarij juga jarang
kuta temui. Justru yang banyak sekarang adalah pertentangan antara Ahlus Sunnah wal
jama¹ah dengan Syi¹ah.

Tentu saja, perbedaan antara kelompok-kelompok di atas tidak hanya soal apakah muslim
yang berdosa besar itu masuk surga atau tidak. Banyak juga perbedaan mereka seperti soal
sifat Allah, Keadilan Allah, Kekuasaan manusia, wahyu dan akal, dan lainnya. Namun,
kelompok-kelompok itu muncul mula-mula akibat pertanyaan simple di atas.

Refleksi
Dari sejarah kita tahu bahwa benih-benih perpecahan itu diakibatkan soal politik. Kita
juga tahu bahwa politik memegang peranan penting dalam penyebaran paham aliran-aliran
itu. Mudah-mudahan ini juga bisa menjelaskan mengapa Menteri Agama kita (pak Quraish
Shihab) sempat dituduh Syi¹ah.

Dampak negatif yang kita lihat adalah seringnya tuduhan ³kafir² atau ³sesat² kepada
mereka yang berbeda aliran dengan kita. Sebagai contoh, ketika Mu¹awiyah bertindak
sebagai khalifah, mimbar Jum¹at penuh dengan caci maki terhadap Ali dan keturunannya.
Sementara itu, kelompok Syi¹ah juga gemar mencaci sahabat Nabi yang tidak mendukung
Ali sebagai khalifah.

Contoh lain, Nashr bin Ali meriwayatkan hadis mengenai keutamaan keluarga Ali.
Ia meriwayatkan bahwa Rasul mengambil dengan tangannya Hasan dan Hussein seraya
berkata, "siapa yang mencintaiku dan mencintai keduanya ini dan bapaknya serta ibunya
maka ia berada di derajatku di hari kiamat." Khalifah Mutawakkil yang mendengarnya
langsung marah dan menyuruh mencambuk Nashr seribu kali. Tidak henti-hentinya ia
dicambuk, sampai Ja'far bin Abdul Wahib mengingatkan khalifah, "hadza min Ahlis sunnah

(ini dari kelompok ahlus sunnah)!
Ahmad bin Hanbal dihukum cambuk oleh Khalifah yang bermazhab Mu¹tazilah karena tidak
mau mengakui bahwa Al-Qur¹an itu makhluk (hadis/baru). Dalam sebuah riwayat disebutkan
bahwa Imam Syafi'i sangat sering menyebut keutamaan keluarga Rasul sehingga ia dituduh
rawafidh (syi'ah). Sampai-sampai Imam Syafi'i berkata, "kalau mencintai keluarga Nabi
dianggap rawafidh, biarlah Allah mematikan aku bersama orang-orang rawafidh!

Kebenaran itu bagaikan sebuah cermin besar yang dijatuhkan Allah dari langit. Pecahan
cermin itu dipegang oleh masing-masing dari kita. Siapa yang memegang kepingan cermin
itu bisa melihat sebagian pantulan wajah Tuhan di dalamnya. Sayang, banyak yang
menyangka itulah wajah Tuhan yang sebenarnya. Kemudian, kita sangkal adanya wajah Tuhan
di kepingan cermin yang dipegang orang lain. Yang repot, kalau kepingan cermin itu
dipakai buat menusuk orang lain yang juga memegang kepingan cermin itu.

No comments: