Manajemen
Intinya Pengorbanan
Memimpin lebih dari 8.500 santri pasti bukan pekerjaan mudah. Toh begitu KH Abdul Ghofur, pemimpin Pondok Pesantren Sunan Drajat di Lamongan, Jawa Timur, menjalaninya tanpa melalui pendidikan khusus manajemen.
Kiai Ghofur hanya dipandu semangat ingin melahirkan manusia Indonesia yang memiliki welas asih kepada rakyat, jujur, dan satu antara kata dan perbuatan ketika santri-santrinya nanti memimpin di pemerintahan atau masyarakat.
Semangat menumbuhkan masyarakat yang lebih baik pula yang menggerakkan Emha Ainun Nadjib, atau Cak Nun, menyelenggarakan forum "Kenduri Cinta" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sebulan sekali, pentas Kiai Kanjeng, mendaur ulang plastik limbah, usaha penerbitan buku, hingga membangun klinik dan sekolah taman kanak-kanak. "Intinya adalah pengorbanan, cinta kepada rakyat kecil," kata Emha yang tinggal di kawasan Kadipiro, Yogyakarta, tentang komunitas yang dia kembangkan itu.
Saling percaya, pendelegasian wewenang, dan menghargai potensi dalam diri tiap individu menjadi dasar KH Ghofur dan Cak Nun mengelola komunitas mereka. "Di sini tidak ada bos, meskipun direktur ada, dan semua berada dalam suatu sistem dengan dasar moralitas, saling percaya," kata Emha.
Yang dimaksud dengan bos oleh Cak Nun antara lain perilaku ketika dapat uang lalu menentukan sepihak pembagiannya. Atau sikap asal memerintah dan tidak mau mendengar atau mendekat kepada anggota komunitas.
"Pada komunitas anak jalanan di Malioboro, misalnya, kami identifikasi persoalan mereka. Misalnya, kalau mereka tidak punya KTP, kami temani mengurus administrasi ke kelurahan, atau saya pasang badan, saya bertanggung jawab terhadap tingkah laku mereka. Saya harus bersikap seperti teman, duduk klekaran bersama mereka, supaya mereka tidak takut dan berani mengekspresikan diri," papar Emha.
Pendelegasian tugas
Di Ponpes Sunan Drajat, untuk mengelola pesantren berikut madrasah dan sekolah negeri dari SD hingga SMU dan sekolah menengah atas kejuruan, dan berbagai unit usaha untuk membiayai pesantren, Kiai Ghofur mendelegasikan tugas dan wewenang.
"Saya punya wakil, punya bendahara, punya ketua-ketua unit untuk membantu. Saya tidak mungkin melakukan semua sendiri. Saya hanya ngecek ketua-ketuanya," kata Ketua Yayasan Pesantren Sunan Drajat itu.
Ketua-ketua itu semua dipilih Kiai Ghofur, seraya melibatkan suara dari bawah. Caranya, dia menetapkan para calon ketua. Kemudian, wakil dari tiap unit di pondok akan memilih ketua dari calon yang sudah dipilih Kiai Ghofur.
"Saya mengikuti cara Pak Harto. Orang yang terpilih jadi ketua itu sebenarnya pilihan saya. Saya cari orang yang mau mengikuti ide saya dan mampu menjalankan ide itu. Saya tidak pakai demokrasi cara sekarang, semua dirembuk dari bawah. Tidak akan jalan kalau semua-semua rembukan dulu. Rembukan tiga hari juga ndak akan selesai," ungkap Kiai Ghofur. "Tetapi, kan akhirnya yang jadi ketua adalah pilihan dari bawah."
Pada komunitas yang dibangun Cak Nun, aturan dibangun berdasarkan kesepakatan setelah melalui apa yang disebut Emha sebagai benturan moral. "Karena kami bukan perusahaan besar, mekanisme moral sangat penting. Perbenturan moral antarindividu akan melahirkan aturan yang disepakati bersama. Itu intinya demokrasi. Kalau ada yang melakukan kesalahan, akan merasa tidak enak sendiri, salah tingkah, dan akan keluar sendiri dari komunitas tanpa perlu dipecat," kata Cak Nun. (Ninuk M Pambudy)
No comments:
Post a Comment