Jakarta, Kompas - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengemukakan, upaya yang dilakukan Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menyatukan kalender Islam internasional harus dimulai dengan menyatukan perbedaan di dalam negeri. Perbedaan di dalam negeri soal kalender Islam nyata terlihat saat harus bersatu menentukan jatuhnya 1 Syawal untuk hari raya Idul Fitri.
Wapres menyebutkan, di antara umat Islam di Indonesia, terdapat tiga pandangan yang memunculkan perbedaan perhitungan kalender, yaitu pandangan yang berdasarkan hisab (Muhammadiyah), rukyat (Nahdlatul Ulama), dan kepantasan.
"Kalau orang Amerika Serikat dan Rusia sudah mendarat di Bulan, kita di Indonesia belum yakin betul posisi Bulan ada di mana. Namun, memang, ini masalah keyakinan yang sudah melekat," ujar Wapres saat membuka simposium internasional soal penyatuan kalender Islam di Jakarta, Selasa (4/9) malam.
Soal penentuan 1 Syawal yang dirayakan sebagai hari raya Idul Fitri, Wapres mengatakan, Indonesia kerap berada dalam kebingungan. Contohnya adalah penetapan hari raya Idul Fitri tahun 2006 yang membingungkan secara ilmiah.
"Secara ilmiah, Indonesia lebih dahulu dari Arab Saudi dan lebih lambat dari Australia. Di Australia dan di Arab Saudi sudah Idul Fitri, Indonesia yang ada di tengah-tengah belum Idul Fitri," ujarnya.
Meskipun perbedaan masih ada, terutama di antara Muhammadiyah dan NU, Wapres bersyukur hal itu tidak memunculkan konflik.
Soal upaya menyatukan perbedaan di dalam negeri, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, tidak bisa selesai dalam satu kali simposium. Muhammadiyah mendukung penggunaan teknologi canggih untuk bisa membantu penetapan kalender Islam. (INU)
No comments:
Post a Comment