Yudi Latif
Apa artinya berpuasa bagi komunitas bangsa dengan mentalitas pecundang? Bukankah sejak awal puasa merupakan tanda kemenangan/keselamatan yang menarik garis pemisah antara yang adil dan yang batil (furqan)?
Ketika Nabi Muhammad berhijrah ke Madinah, Nabi menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Belakangan ia tahu, puasa Yom Kippur itu merupakan cara orang Yahudi memperingati furqan-nya. Nabi pun lantas mengajak para pengikutnya untuk berpuasa pada hari itu.
Beberapa hari setelah kemenangan pasukan Muslim (yang kecil) atas pasukan Quraisy (yang besar) pada perang Badar (9 Ramadhan 624 M), Nabi mewajibkan kaum Muslim berpuasa pada bulan Ramadhan, yang berlaku efektif setahun kemudian. Hal ini bisa diartikan sebagai tanda kaum Muslim memperingati furqan Badar yang monumental.
Penyelamatan dan kemenangan
Jika tradisi berpuasa merupakan tanda furqan, penyelamatan dan kemenangan apakah yang telah dicapai selama ini yang membuat ibadah puasa itu punya kesan dan relevansi kuat dalam kehidupan sekarang dan di sini? Inilah pertanyaan yang selama Ramadhan patut direnungkan. Agar setiap Ramadhan tiba, kita tidak terus dipermalukan defisit amal dan pencapaian, yang membuat ibadah puasa sekadar ritual peringatan (commemorative) yang hampa makna.
"Pandanglah wajahmu setiap waktu di cermin," ujar Imam Ali. "Jika wajahmu bagus, anggaplah ia buruk karena engkau mencorengnya dengan perbuatan buruk. Jika wajahmu buruk, anggaplah memang buruk karena engkau menggabungkan kedua keburukan (buruk rupa dan amal)."
Namun, dalam konteks kehidupan kebangsaan kita hari ini, ada tanda-tanda bahwa orang-orang yang penampilan lahiriahnya tampak buruk justru lebih bisa dibanggakan karena kemampuannya menutupi keburukan dengan amalnya.
Penyelamatan paling heroik dari komponen bangsa selama ini adalah perjuangan kaum papa (mustadhafin) untuk tetap tabah, tolong-menolong, dan giat bekerja di tengah impitan krisis dan ketidakpedulian elite pemimpin. Mereka bertahan hidup dengan menjalankan salah satu prinsip ber-zuhud: Merekalah yang pantas menyambut bulan suci Ramadhan sebagai tanda kemenangan.
Atas kaum elite yang berpesta pora di atas penderitaan rakyat, yang tak mampu menarik batas antara yang adil dan yang batil, bermentalitas pecundang dengan menjual kehormatan negeri secara murah, puasa merupakan momen "bunuh diri". Puasa harus menjadi momen pembakaran egosentrisme dengan jalan ber-zuhud menurut caranya sendiri.
Bagi kedua golongan itu, Al Quran mengajarkan teologi kemenangan lewat furqan Badar yang dirayakan oleh ibadah puasa. Pertama, diizinkan bela diri bagi orang-orang yang terusir dan teraniaya (QS 22: 39). Itu karena sekiranya kejahatan sebagian manusia tidak dicegah oleh sebagian yang lain, "tentulah telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagoge, dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Tuhan" (QS 22: 40).
Kedua, Tuhan hanya memberi kemenangan sekiranya orang-orang yang diberi kedudukan di muka bumi mau "bershalat" (bertakwa kepada Allah) dan "berzakat" (memajukan kesejahteraan umum), mengembangkan perbuatan baik, dan mencegah perbuatan buruk dengan menegakkan hukum yang adil (QS 22: 41).
Hindari kekerasan
Al Quran juga mengajarkan, kekerasan tidaklah dikehendaki dan jika terpaksa digunakan untuk kepentingan bela diri, hal itu haruslah diakhiri secara segera. Tujuan bela diri tak lain untuk mengembalikan harmoni dan rekonsiliasi, bukan untuk melanggengkan permusuhan. Idealnya, tak perlu bertempur untuk mempertahankan hal-hal luhur.
Perjanjian damai Hudaibiyah (628 M)—dalam situasi ketika kaum Muslim berposisi kuat—mengajarkan, nilai-nilai luhur bisa diaktualisasikan secara lebih produktif dalam situasi damai. Seperti dikatakan Karen Armstong (dengan mengutip Ibnu Ishaq), dalam mengomentari "wujud kemenangan" dari perjanjian Hudaibiyah, "Situai damai menciptakan atmosfer lebih dingin, yang mendorong diskusi antara Muslim dan non-Muslim secara lebih terbuka dan produktif. Dalam situasi demikian, kemenangan bisa dirayakan bersama".
Dengan demikian, kemenangan bisa dicapai jika keadilan ditegakkan, kesejahteraan dikembangkan, ketakwaan dihidupkan, dan kedamaian disuburkan. Ibadah puasa, selain merupakan peringatan atas momen kemenangan, harus juga menjadi momen refleksi dan pelatihan diri untuk meraih kemenangan sejati.
Setiap Ramadhan tiba, kaum Muslim kembali berpuasa. Namun, setiap kali tiba, nyaris tak ada kemenangan dan penyelamatan monumental yang membuat kita bangga merayakannya. Kelihatannya, puasa kita memang sekadar berhenti pada menahan haus dan dahaga. Meski puasa demikian mungkin juga ada manfaatnya, ritus puasa menghendaki lebih dari itu. Ia menghendaki diakhirinya mentalitas pecundang dengan menumbuhkan kembali etos kejuangan. Bahwa agama tidak hanya menjanjikan nirwana di akhirat, tetapi juga harus mewujudkan kebahagiaan di dunia. Barangsiapa tak mampu menghargai dirinya di dunia, tak ada kehormatan baginya di surga!
No comments:
Post a Comment