08 September 2007 |
|
Montreal, Quebec - Sejak berlangsungnya Konferensi Khilafah Internasional yang diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada bulan Agustus 2007 lalu, media masa di Indonesia telah dipenuhi dengan pro kontra mengenai gagasan khilafah yang menekankan syari’ah (hukum Islam) sebagai undang-undang bagi umat atau masyarakat, di bawah seorang pemimpin negara atau khalifah, yang secara traditional memiliki otoritas politik dan spiritual.
Mereka yang pro, terutama dari kalangan HTI sendiri, menyebutkan bahwa kewajiban menegakkan khilafah didasarkan pada perintah agama. Penegakkan khilafah adalah jalan untuk menerapkan syariah dan mewujudkan ukhuwah. Transendensi politik tampaknya memiliki daya tarik tersendiri, sehingga mengundang ribuan umat Islam untuk tumpah ruah dalam perhelatan akbar di Gelora Bung Karno, Jakarta. Melihat jumlah mereka yang datang, maka sangat wajar jika kemudian gagasan pembentukan khilafah itu dianggap oleh sebagian pihak sebagai ancaman terhadap demokrasi.
Pihak yang kontra melihat gagasan penegakkan khilafah lebih merupakan romantisisme atau idealisasi sejarah daripada tawaran politik yang matang. Cita-cita pembentukan kesatuan politik umat Islam yang tunggal di bawah seorang khalifah tidak lebih dari sebuah utopia. Lebih dari itu, pihak yang kontra menandaskan bahwa realitas politik negara bangsa, tempat sistem politik demokrasi modern merupakan pondasinya, menunjukkan bahwa gerakan Hizbut Tahrir tidak kompatibel dengan sistem yang ada.
Persoalan yang paling signifikan dalam perdebatan itu adalah implikasi gerakan tersebut bagi masa depan demokrasi. Dilihat dari tujuan akhirnya, gerakan ini dapat digolongkan sebagai resistensi global yang sangat radikal terhadap sistem yang ada. Sebagaimana kebanyakan gerakan Islam, ia harus dipahami secara proporsional sebagai usaha sekelompok Muslim untuk segera keluar dari trauma modernitas.
Dalam hal ini, gagasan khilafah hanyalah sebuah konsep alternatif yang menawarkan bahwa persamaan hak, keadilan, akuntabilitas, kontrol kekuasaan, dan pemerintahan yang baik tak hanya ada dalam definisi demokrasi yang dibangun Barat.
Islam, dengan pembacaan tertentu terhadap Qur’an dan hadis, memiliki mekanisme yang memungkinkan penegakan kerangka-kerangka sosial yang kini diadopsi masyarakat modern, seperti praktek demokrasi dalam politik, masyarakat madani, multikulturalisme, dan struktur birokrasi rasional. Dalam Qur’an, orang-orang yang menerima seruan Tuhannya, digambarkan sebagai orang yang memutuskan urusan mereka dengan musyawarah. Selain itu, Piagam Madina pada jaman Nabi Muhammad mengembangkan pentingnya kemufakatan dan kerjasama bagi pemerintah. Menurut piagam itu juga, Muslim dan non-Muslim adalah warganegara yang setara, dengan hak dan kewajiban yang sama, dalam negara Islam tersebut.
Di sisi lain, luasnya interpretasi makna kaidah normatif Islam dengan sendirinya akan menunjukkan bahwa sistem khilafah yang diajukan HTI bukan merupakan sistem politik Islam yang mutlak. Sebagai sebuah konsep yang mengacu ke masa lalu, sistem khilafah tidak lebih dari sebuah kemungkinan dalam merumuskan pilihan politik masa kini. Artinya, sistem ini mengandung potensi untuk diterima sebagian atau ditolak sama sekali.
Secara konseptual, sistem khilafah yang ditawarkan HTI, harus dihargai sebagai sebuah tawaran alternatif dan bukan sebuah ancaman bagi demokrasi. Orang harus ingat bahwa pada permulaan abad 20, dunia telah menyaksikan kemunculan fasisme dan komunisme sebagai alternatif netral bagi demokrasi. Fasisme dan komunisme menjadi ancaman bagi demokrasi hanya setelah Hitler dan Lenin memerintahkan pasukannya menyerbu Eropa.
Begitulah jika sistem-sistem politik yang berbeda dipicing sebagai sesuatu yang bertentangan, terpisah satu sama lain, sehingga sebuah sistem dianggap sebagai sebuah ancaman bagi sistem lainnya. Sepanjang ia dikampanyekan secara damai dan kompatibel atau paling tidak menyokong demokrasi, analogi yang sama bisa diterapkan pada sistem khilafah yang diajukan oleh HTI. Pada akhirnya toh sejarahlah yang menentukan, sistem mana yang terbukti mampu bertahan hingga saat ini.
Masa depan umat manusia adalah masa depan umat beragama untuk hidup saling berdampingan. Perbedaan aspirasi politik umat beragama tidak seharusnya dimaknai sebagai benturan. Sebaliknya, hal itu harus dipahami sebagai kesempatan yang diberikan Tuhan untuk menghargai keyakinan dan mengasihi sesama. Hal ini pada akhirnya juga akan memberi kesempatan kepada semua pihak untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai persamaan dan keadilan bukan semata-mata lahir di atas kertas, melainkan sebuah komitmen bersama. Dengan cara ini kita bisa berharap bahwa Indonesia menjadi rumah alami tempat demokrasi dapat tumbuh subur.
###
* Fachrizal Halim adalah kandidat doktor Sejarah Hukum Islam McGill University, Montreal, Kanada. Artikel ini disebarluaskan oleh Layanan Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.
Mereka yang pro, terutama dari kalangan HTI sendiri, menyebutkan bahwa kewajiban menegakkan khilafah didasarkan pada perintah agama. Penegakkan khilafah adalah jalan untuk menerapkan syariah dan mewujudkan ukhuwah. Transendensi politik tampaknya memiliki daya tarik tersendiri, sehingga mengundang ribuan umat Islam untuk tumpah ruah dalam perhelatan akbar di Gelora Bung Karno, Jakarta. Melihat jumlah mereka yang datang, maka sangat wajar jika kemudian gagasan pembentukan khilafah itu dianggap oleh sebagian pihak sebagai ancaman terhadap demokrasi.
Pihak yang kontra melihat gagasan penegakkan khilafah lebih merupakan romantisisme atau idealisasi sejarah daripada tawaran politik yang matang. Cita-cita pembentukan kesatuan politik umat Islam yang tunggal di bawah seorang khalifah tidak lebih dari sebuah utopia. Lebih dari itu, pihak yang kontra menandaskan bahwa realitas politik negara bangsa, tempat sistem politik demokrasi modern merupakan pondasinya, menunjukkan bahwa gerakan Hizbut Tahrir tidak kompatibel dengan sistem yang ada.
Persoalan yang paling signifikan dalam perdebatan itu adalah implikasi gerakan tersebut bagi masa depan demokrasi. Dilihat dari tujuan akhirnya, gerakan ini dapat digolongkan sebagai resistensi global yang sangat radikal terhadap sistem yang ada. Sebagaimana kebanyakan gerakan Islam, ia harus dipahami secara proporsional sebagai usaha sekelompok Muslim untuk segera keluar dari trauma modernitas.
Dalam hal ini, gagasan khilafah hanyalah sebuah konsep alternatif yang menawarkan bahwa persamaan hak, keadilan, akuntabilitas, kontrol kekuasaan, dan pemerintahan yang baik tak hanya ada dalam definisi demokrasi yang dibangun Barat.
Islam, dengan pembacaan tertentu terhadap Qur’an dan hadis, memiliki mekanisme yang memungkinkan penegakan kerangka-kerangka sosial yang kini diadopsi masyarakat modern, seperti praktek demokrasi dalam politik, masyarakat madani, multikulturalisme, dan struktur birokrasi rasional. Dalam Qur’an, orang-orang yang menerima seruan Tuhannya, digambarkan sebagai orang yang memutuskan urusan mereka dengan musyawarah. Selain itu, Piagam Madina pada jaman Nabi Muhammad mengembangkan pentingnya kemufakatan dan kerjasama bagi pemerintah. Menurut piagam itu juga, Muslim dan non-Muslim adalah warganegara yang setara, dengan hak dan kewajiban yang sama, dalam negara Islam tersebut.
Di sisi lain, luasnya interpretasi makna kaidah normatif Islam dengan sendirinya akan menunjukkan bahwa sistem khilafah yang diajukan HTI bukan merupakan sistem politik Islam yang mutlak. Sebagai sebuah konsep yang mengacu ke masa lalu, sistem khilafah tidak lebih dari sebuah kemungkinan dalam merumuskan pilihan politik masa kini. Artinya, sistem ini mengandung potensi untuk diterima sebagian atau ditolak sama sekali.
Secara konseptual, sistem khilafah yang ditawarkan HTI, harus dihargai sebagai sebuah tawaran alternatif dan bukan sebuah ancaman bagi demokrasi. Orang harus ingat bahwa pada permulaan abad 20, dunia telah menyaksikan kemunculan fasisme dan komunisme sebagai alternatif netral bagi demokrasi. Fasisme dan komunisme menjadi ancaman bagi demokrasi hanya setelah Hitler dan Lenin memerintahkan pasukannya menyerbu Eropa.
Begitulah jika sistem-sistem politik yang berbeda dipicing sebagai sesuatu yang bertentangan, terpisah satu sama lain, sehingga sebuah sistem dianggap sebagai sebuah ancaman bagi sistem lainnya. Sepanjang ia dikampanyekan secara damai dan kompatibel atau paling tidak menyokong demokrasi, analogi yang sama bisa diterapkan pada sistem khilafah yang diajukan oleh HTI. Pada akhirnya toh sejarahlah yang menentukan, sistem mana yang terbukti mampu bertahan hingga saat ini.
Masa depan umat manusia adalah masa depan umat beragama untuk hidup saling berdampingan. Perbedaan aspirasi politik umat beragama tidak seharusnya dimaknai sebagai benturan. Sebaliknya, hal itu harus dipahami sebagai kesempatan yang diberikan Tuhan untuk menghargai keyakinan dan mengasihi sesama. Hal ini pada akhirnya juga akan memberi kesempatan kepada semua pihak untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai persamaan dan keadilan bukan semata-mata lahir di atas kertas, melainkan sebuah komitmen bersama. Dengan cara ini kita bisa berharap bahwa Indonesia menjadi rumah alami tempat demokrasi dapat tumbuh subur.
###
* Fachrizal Halim adalah kandidat doktor Sejarah Hukum Islam McGill University, Montreal, Kanada. Artikel ini disebarluaskan oleh Layanan Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.
No comments:
Post a Comment