Thursday, September 27, 2007

PERSPEKTIF TAUHID SOSIAL UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


* Dan Uswah Hasanah dalam Hidup Bermuhammadiyah

Dr. Haedar Nashir , MSi

Istilah "Tauhid Sosial" pertama kali mencuat dalam Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh bulanJuli 1995, yang digagas oleh Dr. H.M. Amien Rais, Ketua PP Muhammadiyah. Apa sebenamya ide dasar dari konsep atau pemikiran tauhid sosial itu, bagaimana pemikiran ini ditinjau dari beberapa perspektif, dan seberapa jauh kaitannya dengan realitas kehidupan umat dalam berbagai dimensinya terutama yang menyangkut aspek aktualisasinya.

Muncul keragaman pendapat, termasuk soal istilah tauhid sosial. Tapi, masalah ini semestinya tidak dibahas dari sekadar istilah, namun ke perspektif yang lebih luas. Saya setuju dengan pendapat, apapun istilahnya, bahwa tauhid sosial merupakan reformulasi dari apa yang selama ini menjadi komitmen Muhammadiyah sejak didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, yakni komitmen dan aktualisasi Islam dalam totalitas kehidupan masyarakat, dalam berituk amal salih sosial. Hal lainnya, saya juga melihat bahwa tauhid sosial dapat dijadikan sebagai energi baru, pemaknaan baru, dan kesadaran baru untuk mengembangkan ijtihad dan langkah-Iangkah monumental Muhammadiyah sebagai gerakan Islam pembaru dalam merespon tantangan-tantangan baru kehidupan umat dan bangsa kini dan mendatang dalam mata-rantai yang bersambung dengan kepribadian dan keyakinan serta khittah Muhammadiyah.

Berkaitan dengan masalah di atas, maka tulisan ini ingin memberi catatan dengan mencoba menyoroti secara khusus tentang perspektif dan aktualisasi konsep tauhid sosial untuk pemberdayaan masyrakat, dengan asumsi dasar bahwa tauhid sebagai doktrin sentral dalam Islam dipandang sebagai paradigma teologis yang bersifat memerdekakan atau membebaskan manusia.

Perspektif Tauhid Sosial

Tauhid merupakan doktrin sentral dan asasi dalam Ajaran Islam. Esensi konsep dasar tauhid adalah Memahaesakan Tuhan yang bertumpu pada doktrin "La ilaha illallah", bahwa tiada Tuhan kecuali Allah. Doktrin kalimah syahadah ini bersifat fundamental danmenyeluruh berupa kesaksian imani tentang keyakinan akan kemahatunggalan Allah yang bersifat mutlak yang didalamnya terkandung keyakinan imani tentang Allah sebagai Maha Pencipta, Pemelihara, Raja dan Pemilik, Pemberi rizki, Pengatur dan Pengelola, dan Maha-segalanya dalam totalitas Kedaulatan Tuhan atas kehidupan· jagad raya dfln isinya. Tauhid sebagai sentral dan dasar keyakinan dalam Islam ini menjadi sU!nber totalitas sikap dan pandangan hidup umat dalam keseluruhan dimensi kehidupan. Amien Rais secara populer sering menggutip, bahwa pandangan Tauhid yang bersifat menyeluruh ini selain melahirkan keyakinan akan ke-Maha-Esaan Allah (unity of Good head) juga melahirkan konsepsi ketauhidan yang lainnya dalam wujud keyakinan akan kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan pedoman hidup (unity of guidance), dan kesatuan tujuan hidup (unity of tbe purpose of life) umat manusia.

Karena itu, menurut Amien Rais, konsepsi Tauhid tidaklah sekadar berdimensi aqidah yang disebutnya sebagai tauhid aqidah, tetapi juga melahirkan konsepsi tauhid berikutnya yang disebut tauhid sosial dalam arti yang luas. Ditunjukkan, bahwa tauhid dalam Islam juga melahirkan pandangan tentang perlunya ditegakkan keadilan sosial. Dilihat dari kacamata tau hid bahwa setiap gejala eksploitasi manusia atas manusia merupakan pengingkaran terhadap persamaan derajat manusia di depan Allah. Hal yang demikian itulah yang menjadi komitmen tauhid sosial. Dicontohkan pula, proyek besar dan monumental dari penerapan tau hid sosial sebagai pengejewantahan tauhid aqidah dalam pergerakan umat Islam di Indonesia, adalah rintisan KH. Ahmad Dahlan dengan gerakan surat Al-Ma'un yang melahirkan gerakan PKU (penolong Kesejahteraan Umat) sebagai salah satu amal shalih sosial dari gerakan Muhammadiyah. Gerakan tauhid ini dalam perjalanan Muhammadiyah kemudian menyatu dan didukung oleh empat doktrin gerakan lainnya yakni gerakan pencerahan umat, menggembirakan amal shalih, bekerjasama dalam kebajikan, dan gerakan politik kulutral yang tidak menyeret Muhammadiyah pada permainan politik praktis yang kotor. Sehingga dapat dikatakan Muhammadiyah adalah pelopor dari gerakan tauhid sosial dalam sejarah Islam modern di Tanah Air, sebelum gerakan reformasi ini menjadi alam pikiran banyak orang di lingkungan umat Islam sebagaimana kita saksikan saat ini.

Dalam perspektif itulah, Dr. Amien Rais menyimpulkan bahwa yang disebut tauhid sosial ialah dimensi sosial dalam arti seluas-Iuasnya- dari "tauhidullah". Tauhid yang memancar dan mengaktual dalam sistem dan proses sosial secara keseluruhan kehidupan umat.

Aktualisasi Untuk pemberdayaan

Jika ditarik ke dalam wilayah kepentingan hidup umat'manusia, konsepsi tauhid sesungguhnya mempunyai banyak dimensi aktual, salah satunya adalah dimensi pemerdekaan atau pembebesan. Secara teologis, dalam keyakinan transendental bahwa doktrin tauhid yang bertumpu pada kalimah uta ilaha illallah" merupakan persaksian iman yang benar atas Tuhan Allah yang Maha Benar dalam totalitas kemahatunggalan-Nya sehingga manusia tidak salah alamat dalam menyembah-Nya. Perhambaan imani yang lurus ini membawa proses dan makna pembebasan manusia dari kepercayaan atas tuhan-tuhan selain Dia sebagai kepercayaan yang palsu dan menyesatkan baik yang bersumber pada mitologis maupun konsepsi-konsespsi ketuhanan lain hasil rekaan pikiran dan nafsu manusia yang dilambangkan dalam thaghut (AI-Quran S. An-NahV16 : 36).

Dengan kata lain, diharuskannya manusia bertauhid dan dilarangnya menyekutukan Allah yang disebut syirk (orangnya disebut musyrik), bukanlah untuk kepentingan status-quo Tuhan yang memang maha merdeka dari interes-interes semcaman itu, tetapi untuk kepentingan manusia itu sendiri. Dengan demikian terjadi proses emansipasi teologis yang sejalan dengan fitrah kekhalifahan manusia di muka bumi. Manusia bukanlah sekadar abdi Allah, tetapi juga khalifah Allah di muka bumi ini. Karenanya, manusia harus dibebaskan dari penjara-penjara thaghut dalam segala macam konsepsi dan perwujudannya, yang membuat manusia menjadi tidak berdaya sebagai khalifah-Nya. Sehingga dengan keyakinan tauhid itu, manusia menjadi tidak akan terjebak pada kecongkakan karena di atas kelebihan dirinya dibandingkan dengan makhluk Tuhan lainnya masih ada kekuasaan Allah Yang Mahasegala-galanya. Selain itu, manusia diberi kesadaran yang tinggi akan kekhalifahan dirinya untuk memakmurkan bumi ini yang tidak dapat ditunaikan oleh makhluk Tuhan lainnya sehingga dirinya haruslah bebas atau merdeka dari berbagai penjara kehidupan yang dilambangkan thaghut. Dengan ketundukan kepada Allah sebagai wujud sikap bertauhid dan bebasnya manusia dari penjara thaghut maka hal itu beratti bahwa manusia sungguh menjadi makhluk merdeka di muka bumi, sebuah kemerdekaan yang bertanggungjawab selaku khalifah­Nya.

Karenanya, secara raional dapat dijelaskan bahwa keyakinan kepada Allah yang Mahaesa sebagaimana doktrin tau hid mematoknya demikian, selain memperbesar ketundukan manusia dalam beribadah selaku hamba-Nya, sekaligus memperbesar dan mengarahkan potensi kemampuan manusia selaku khalifah-Nya di atas jagad raya ini. Dari proses pembebasan atau pemerdekaan ini akan melahirkan sikap manusia yang merdeka secara bertanggungjawab. Dalam perspektif ini bahkan muncul pendapat yang menyatakan, bahwa terdapat korelasi positif antara sikap bertauhid dengan nilai-nilai pribadi yang positif seperti iman yang benar, sikap kritis, penggunaan akal sehat atau sikap rasional, kemandirian, keterbukaan, kejujuran, sikap percaya pada diri sendiri, berani karena benar, serta kebebasan dan rasa tanggungjawab (Nurcholish Madjid, 1992, p. 85).

Dengan demikian, selain pada aras individual, tau hid memiliki dimensi aktualisasi bermakna pembebasan atau pemerdekaan pada aras kehidupan kolektif dan sistem sosia!. Pembebasan Bilal sang hamba sahaya di zaman Rasulullah, adalah simbolisasi dari makna pembebasan struktural sistem sosial jahiliyah oleh sistem 'sosial yang berlandaskan tauhid. Bilal yang hitam dan hamba sahaya adalah perlambang dari kaum dhu'afa dan mustadh'afin, kaum lemah dan tertindas dalam sistem berjuasi Arab Quraisy. Dengan landasan doktrin tauhid, kelompok dhu'afa dan mustadh'afin ini kemudian dimerdekakan dan diberdayakan, sehingga menjadi duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan kelompok elit atas seperti Abu Bakr as-Shidieq, Usman bin Affan, dan lainnya. Dengan doktrin tauhid inilah kemudian Islam memperkenalkan sistem sosial baru yang berasas kesamaan (musawah), keadilan ('adalah), dan kemerdekaan (khuriyyah). Doktrin tauhid sosial ini pulalah yang kemudian dijadikan deklarasi Haji Wada' pada tahun 10 Hijriyah di padang Arafah. "Wahai manusia ! Tuhanmu hanyalah satu, dan asalmu juga hanyalah satu. Kamu semua dari Adam dan Adam berasal dari tanah. Orang yang paling mulia di sisi Tuhan ialah orang yang paling bertaqwa. Orang Arab tidak ada kelebihannya dari orang-orang bukan Arab, dan orang-orang bukan Arab pun tidak ada kelebihannya dari orang-orang Arab, kecuali karena ketaqwaannya ", demikian sebagian isi deklarasi Wada' yang diucapkan Rasulullah sebagai pidato perpisahan, yang selalu dikenang dan terlambangkan dalam prosesi ibadah haji,' suatu ibadah yang secara representatif melambangkan pembebesan atau pemerdekaan manusia yang berporos pada faham tauhid.

Karenanya, dengan gagasan tauhid sosial yang merupakan aktualisasi tauhid ke dalam sistem sosial berbagai aspek kehidupan umat, seyogyanya muncul proses pemberdayaan dan pembebasan umat terutama pada kaum dhu'afa dan mustadh'afin dari berbagai bentuk ekslpoitasi baik pada level individual maupun struktural. Setiap bentuk eksploitasi manusia oleh manusia lainnya dalam berbagai bentuk, bukan hanya bertentangan dengan fitrah dan rasa kemanusiaan, tetapi juga bertentangan dengan kehendak Tuhan dalam menciptakan umat manusia di muka bumi ini. Dengan kata lain, mereka yang benar-benar bertauhid, seyogyanyalah selalu peka dan terpanggil kesadarannya untuk memerdekakan, membebaskan, dan memberdayakan umat manusia dari segala macam eksploitasi yang membuat kehidupan ini menjadi nista, sekaligus jangan sampai terjangkiti penyakit yang menghancurkan hakikat kemanusiaan ini.

Kini,secara kebetulan bahwa umat Islam di Indonesia adalah penduduk terbesar, karenanya implementasi sikap hidup tauhid sangatlah dituntut dari setiap muslim dalam menyehatkan sistem dan memberdayakan rakyat di berbagai aspek kehidupan baik di bidang politik, ekonomi, budaya, dan aspek-aspek kehidupan penting lainnya. Lebih-Iebih ketika sang muslim itu memiliki posisi dan otoritas formal yang penting serta menentukan kepentingan atau hajat hidup orang banyak. Umat Islam secara kolektif dan orang-orang Islam secara individual dituntut untuk menjadi teladan yang terbaik dalam mempraktikkan kehidupan dan membentuk bangunan sosial yang salih, sebagai pancaran sikap hidup tauhid. Inilah yang dikehendaki dalam wacana dan perspektif tauhid sosial. Dalam aktualisasi konkretnya, tuntutan untuk mengaktualisasikan tau hid dalam kehidupan sosial sebagaimana komitmen dari tauhid sosial, tentu saja tidaklah bersifat sederhana dan bahkan terbilang merupakan tantangan berat karena akan bersinggurtgan dengan beragam kepentingan yang melekat dalam diri manusia Caktor sosial) dan pada struktur atau sistem sosial.

Tidak jarang terjadi kecenderungan, secara formal seseorang itu bertauhid dalam artian tidak menjadi musyrik, tetapi dalam kehidupan sosialnya mempraktikkan hal-hal yang bertentangan dengan esensi dan makna tauhid. Kecenderungan ini terjadi, sebab besar kemungkinan bahwa apa yang dinamakan thaghut sebagai perlambang tuhan selain Allah, ketika bersarang dalam diri manusia mungkin lebih bersifat satu wajah yang bemama hawa nafsu atau pikiran-pikiran sesat yang bersifat individual, tetapi ketika masuk ke dalam struktur sosial akan banyak sekali wajah dan perwujudannya dalam bentuk jahiliyah sistem sebagai akumulasi dari pertemuan seribusatu hawa nafsu dan pikiran-pikiran sesat yang bersifat kolektif. Karenanya sebagai perwujudan atau aktualisasi bertauhid, boleh jadi ada orang salih secara individual, tetapi tidak salih secara sosial. Sebab pengalaman empirik menunjukkan, menciptakan sistem sosial yang salih bukan pekerjaan gampang. Hal yang paling buruk ialah, banyak orang yang secara indi­vidual tidak salih hidup di tengah sistem sosial yang munkar.

Proses pemerdekaan atau pembebasan manusia untuk membangun kehidupan yang shalih baik secara individual maupun struktural yang berarti juga menolak setiap sistem yang munkar, bagaimanapun akan berhadapan dengan kekuatan­kekuatan thaghut. Dalam wilayah profan, thaghut adalah perlambang kekuatan tiranik yang sewenang-wenang, yang melampaui batas. Sikap suka melampaui batas ini secara alamiah terdapat dalam diri manusia (Al-Quran S. Al-'Alaq/96: 6-7), dan akan terakumulasi menjadi kekuatan destruktif yang menghancurkan martabat kehidupan manusia yang luhur ketika melekat dalam struktur atau sistem sosial sebagai perwuju­dan dari "thaghut kolektif' yang massive. Dalam perspektif kehidupan sosial dapat dilihat contoh konkret, bahwa setiap upaya pemberdayaan yang berorientasi pada peningkatan martabat hidup kemanusiaan yang adiluhung dan menyangkut kepentingan terbesar masyarakat akan berhadapan dengan kendala budaya dalam status-quo elit sosial dan kendala struktur dalam status-quo sistem yang cenderung ingin melanggengkan dirinya di tengah kekuatan perubahan ..

Perlu Uswah Hasanah

Banyak orang berharap dan optimis, Muhammadiyah dapat melangkah lebih reflektif dan aktual dengan semangat tau hid sosial ini. Dr. Jalaluddin Rahmat menilai, bahwa langkah ini merupakan ijtihad baru Muhammadiyah. Dengan semangat tauhid sosial, Muhammadiyah dapat mengayunkan langkah baru ke dalam maupun ke luar, sesuai dengan komitmen gerakannya sebagai gerakan Islam modemis. Tentu saja, sebelum ke luar, tauhid sosial itu perlu dimantapkan dan dijadik'an tauladal). dalam praktik gerakan di lingkungan Muhammadiyah sendiri.

Kini, bagaimana konsepsi tau hid sosial itu dijadikan bangunan yang membentuk kebudayaan warga Muhammadiyah, yang mencerminkan struktur habluminallah dan habluminannas secara harmoni dalam kehidupan konkret, baik di level indi­vidual maupun kolektif dan sistem. Termasuk dalam prilaku para pucuk pimpinan Muhammadiyah sendiri. Tokoh-tokoh puncak pimpinan Muhammadiyah perlu menjadi uswah hasanah dalain ucapan dan tindakan konkret, bagaimana hidup berdasarkan tauhid. Termasuk dalam berkiprah dan berjuang di Muhammadiyah, yang bersifat total dan tidak setengah-setengah, dengan selalu mengharapkan ridha Allah, bukan karena interes~interes sesaat. Sudahkah para pucuk pimpinan Muhammadiyah memberikan tauladan dalam hidup bertauhid melalui Persyarikatan yang kita cintai ini ? Tauhid jangan hanya dalam ucapan dan konsep, tapi tak kalah pentingnya dalam tindakan.

No comments: