Oleh: Buya Abd Aziz Aru Bone
Setiap usai shubuh berbagai stasiun televisi dan radio menyiarkan beragam acara keagamaan. Berbagai gaya dan tipe ustad, kiai, pendeta dan biksu tampil sebagai narasumber menyerukan berbagai nilai moral agama masing-masing. Tapi di seberang sana, realitas sosial masyarakat seakan tak tersentuh apa-apa.
Angka kriminalitas terus melonjak dari tahun ke tahun, kekerasan mengatasnamakan agama antarpemeluk agama atau antarpemeluk seagama sering terjadi, meski bertahun-tahun pelaksanaan dialog lintas iman teramat sering kita dengar. Anda pun bisa menambah daftar kesenjangan dalam benak masing-masing.
Ada sejumlah variable yang berpengaruh dan sejumlah sudut pandang untuk menjelaskan fakta ini. Tapi terlepas dari variable dan sudut pandang sosial, politik, pendidikan, kultural dan ekonomi yang ada dalam benak anda, saya berpendapat bahwa para elit agama -secara sadar atau pun tidak- sebenarnya turut bersumbangsih besar atas hilangnya fungsi praksis etika agama.
Dalam sudut pandang ini, kondisi tersebut saya rasa menjelaskan delegitimasi para elit agama oleh umatnya. Delegitimasi tersebut mengakibatkan mulai memudarnya pengaruh elit agama terhadap gerak dan etika sosial kaumnya. Delegitimasi disebabkan akumulasi kekecewaan umat beragama terhadap elit agama yang secara terus-menerus mempertontonkan inkonsistensi antara ucapan, normativitas agama dengan sikap praksisnya.
Berbagai politisasi agama kalangan elit agama di panggung Pemilu dan Pilkada menegaskan asumsi bahwa, elit agama bisa dibeli oleh politisi dan pengusaha, praktek korupsi oleh elit agama ketika duduk dalam birokrasi, keberpihakan elit agama terhadap kebijakan pemerintah yang jelas-jelas merugikan rakyat, kegagalan elit agama dalam memainkan peran sosialnya sebagai oposan pengelola negara dan penyambung lidah rakyat yang terhimpit dalam tingkat kesejahteraan hidup yang menyesakan dada, serta berbagai contoh lain yang memperlihatkan pengkhianatan elit agama, adalah tindakan yang mempertontonkan inkonsistensi dan pengkhianatan elit agama, bukan saja terhadap aspirasi dan kepercayaan umatnya, tapi juga ajaran agamanya. Puncaknya, akumulasi dagelan para elit agama itu secara perlahan seakan ingin mengkonfirmasi dugaan publik, bahwa banyak para elit agama tidak memiliki integritas moral untuk dijadikan teladan dan panutan.
Disinilah delegitimasi terjadi, tapi tidak dalam bentuk peniadaan elit agama secara personal dan institusional, melainkan dalam bentuk penegasian atau penafian terhadap tuntunan (baca: ajaran moral) yang keluar dari lidah para elit agama.
Dalam bahasa yang sederhana, kondisi ini bisa diwakilkan oleh adegium, “Agamawan kita adalah tontonan, bukan penuntun.”
Delegitimasi elit agama menyebabkan normativitas nilai-nilai agama yang kerap didengungkan di mimbar khutbah di tempat-tempat ibadah, ceramah radio dan televisi, kehilangan gaungnya dalam realitas.
Dalam kondisi demikian, pesan-pesan agama itu hanya merupakan seruan kosong tanpa makna kerena kehilangan praksisnya. Akan tetapi, karena basis kultural masyarakat Indonesia yang demikian kokoh, delegitimasi terhadap elit agama tidak berlanjut pada delegitimasi institusi agama.
Agen Kebaikan
Dalam perannya sebagai “agen kebaikan,” para elit agama dituntut untuk menjadi model yang mempraksiskan etika agama dalam realitas individual dan sosialnya. Harapan ini meniscayakan tuntutan, para elit agama harus memberikan orientasi kemanusiaan dalam pembicaraan tentang Tuhan dan ketaatan manusia kepadan-Nya. Itu artinya, harus mengembalikan normativitas agama menjadi aksi praksis.
Dalam konteks berbagai problematika kehidupan kita bermasyarakat, tuntutan ini dapat diturunkan dalam berbagai agenda praksis. Misalkan, penghentian politisasi agama oleh para elit agama di panggung pemilu dan pilkada, kesederhanaan hidup yang menggambarkan hadirnya rasa keprihatinan terhadap rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat kecil, hadirnya konsistensi antara normativitas ajaran agama yang diucapkan oleh para elit agama di berbagai mimbar khutbah, siaran televisi, radio dan tumpukan buku dengan sikap sosial mereka, keberpihakan aktif para elit agama terhadap rakyat kecil menyangkut isu-isu sosial-kemanusiaan, kehadiran sikap oposan-kritis para elit agama dalam peran sosial-kulturalnya sebagai “agen kebaikan” untuk sepenuh hati berpihak pada kepentingan rakyat ketika berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.
Pendek kata, para elit agama digugat untuk mengembalikan fungsi revolusioner agama dalam ranah sosial-kultural seperti yang pernah dicontohkan para nabi, namun selama ini dikhianati.
Seperti dicontonkan para Nabi, di tangan mereka agama tidak hanya urusan tentang Tuhan. Di tangan para Nabi agama hadir sebagai perangkat revolusioner bagi pembebasan umat dari berbagai persoalan hidup kemanusiaan. Peran praksis agama ini pernah dicontohkan oleh Nabi Musa saat membebaskan pengikutnya dari otoritarianisme Fir’aun, penguasa Mesir Kuno. Juga pernah dicontohkan Nabi Isa (Yesus) saat membebaskan bangsa Yahudi dari kekaisaran otoriter Romawi yang kala itu dipimpin Herodes. Pun pernah dicontohkan Nabi Muhammad saat membebaskan masyarakat Arab dan dunia.
Maka di tangan para nabi, agama hadir sebagai perangkat pembebasan masyarakat yang tertindas. Dalam sejarahnya, para Nabi selalu menempatkan diri sebagai oposan penguasa yang sangat kritis, tanpa takut tetapi sangat cerdas. Dalam sejarahnya, para Nabi senantiasa berpihak pada rakyat tertindas dan menjadi oposan yang cerdas terhadap penguasa dalam berbagai isu sosial-politik pada zaman mereka.
Karena memang, pembebasan seseorang atau komunitas sosial dari derita kemiskinan, kebodohan, ancaman ketertindasan, perilaku tidak adil, adalah tujuan pokok pewahyuan agama. Disini pula lah sebenarnya terletak inti utama ajaran berbagai ritus keagamaan.
Karena itu adalah pengkhianatan terhadap Tuhan dan para Nabi jika para elit agama melakukan politisasi agama, bersikap acuh pada berbagai penderitaan rakyat, tidak konsisten antara sikap hidup dalam ranah sosial dengan kata-kata yang keluar dari lidahnya di berbagai mimbar khutbah, siaran TV dan radio. Pun adalah pengkhianatan pada agama jika para elit agama tidak memiliki keberanian membela rakyat yang jelas-jelas dirugikan oleh kebijakan penguasa, bersikap loyal dan tidak kritis terhadap pemerintah. Seperti halnya juga merupakan sebuah dosa, jika para elit agama menggunakan agama untuk menghadirkan militansi umatnya untuk berbuat kerusakan dan menyebarkan ketakutan di tengah masyarakat dengan mengatasnamakan agama.
Tentu saja, tanggungjawab melakukan perbaikan yang dimulai dengan sikap konsisten antara normativitas etika agama dengan sikap hidup bukan hanya berada di pundak para elit agama. Dalam beragam profesi dan bidang pengabdian yang kita geluti, kita dituntut untuk bersikap seperti itu.
Adapun konteks kehidupan bernegara dan bermasyarakat, maka juga meniscayakan perbaikan sistemik-kultural dalam ranah politik, sosial, hukum untuk menghadirkan kultur-sistem yang transparan, accountable, bersih, yang mampu memaksa setiap individu untuk mempraksiskan nilai moral saat berada dalam sistem dan kultur tersebut. Wallahu a’lam***
Ciputat, Rabu dinihari, 29 Agustus 2007.
Setiap usai shubuh berbagai stasiun televisi dan radio menyiarkan beragam acara keagamaan. Berbagai gaya dan tipe ustad, kiai, pendeta dan biksu tampil sebagai narasumber menyerukan berbagai nilai moral agama masing-masing. Tapi di seberang sana, realitas sosial masyarakat seakan tak tersentuh apa-apa.
Angka kriminalitas terus melonjak dari tahun ke tahun, kekerasan mengatasnamakan agama antarpemeluk agama atau antarpemeluk seagama sering terjadi, meski bertahun-tahun pelaksanaan dialog lintas iman teramat sering kita dengar. Anda pun bisa menambah daftar kesenjangan dalam benak masing-masing.
Ada sejumlah variable yang berpengaruh dan sejumlah sudut pandang untuk menjelaskan fakta ini. Tapi terlepas dari variable dan sudut pandang sosial, politik, pendidikan, kultural dan ekonomi yang ada dalam benak anda, saya berpendapat bahwa para elit agama -secara sadar atau pun tidak- sebenarnya turut bersumbangsih besar atas hilangnya fungsi praksis etika agama.
Dalam sudut pandang ini, kondisi tersebut saya rasa menjelaskan delegitimasi para elit agama oleh umatnya. Delegitimasi tersebut mengakibatkan mulai memudarnya pengaruh elit agama terhadap gerak dan etika sosial kaumnya. Delegitimasi disebabkan akumulasi kekecewaan umat beragama terhadap elit agama yang secara terus-menerus mempertontonkan inkonsistensi antara ucapan, normativitas agama dengan sikap praksisnya.
Berbagai politisasi agama kalangan elit agama di panggung Pemilu dan Pilkada menegaskan asumsi bahwa, elit agama bisa dibeli oleh politisi dan pengusaha, praktek korupsi oleh elit agama ketika duduk dalam birokrasi, keberpihakan elit agama terhadap kebijakan pemerintah yang jelas-jelas merugikan rakyat, kegagalan elit agama dalam memainkan peran sosialnya sebagai oposan pengelola negara dan penyambung lidah rakyat yang terhimpit dalam tingkat kesejahteraan hidup yang menyesakan dada, serta berbagai contoh lain yang memperlihatkan pengkhianatan elit agama, adalah tindakan yang mempertontonkan inkonsistensi dan pengkhianatan elit agama, bukan saja terhadap aspirasi dan kepercayaan umatnya, tapi juga ajaran agamanya. Puncaknya, akumulasi dagelan para elit agama itu secara perlahan seakan ingin mengkonfirmasi dugaan publik, bahwa banyak para elit agama tidak memiliki integritas moral untuk dijadikan teladan dan panutan.
Disinilah delegitimasi terjadi, tapi tidak dalam bentuk peniadaan elit agama secara personal dan institusional, melainkan dalam bentuk penegasian atau penafian terhadap tuntunan (baca: ajaran moral) yang keluar dari lidah para elit agama.
Dalam bahasa yang sederhana, kondisi ini bisa diwakilkan oleh adegium, “Agamawan kita adalah tontonan, bukan penuntun.”
Delegitimasi elit agama menyebabkan normativitas nilai-nilai agama yang kerap didengungkan di mimbar khutbah di tempat-tempat ibadah, ceramah radio dan televisi, kehilangan gaungnya dalam realitas.
Dalam kondisi demikian, pesan-pesan agama itu hanya merupakan seruan kosong tanpa makna kerena kehilangan praksisnya. Akan tetapi, karena basis kultural masyarakat Indonesia yang demikian kokoh, delegitimasi terhadap elit agama tidak berlanjut pada delegitimasi institusi agama.
Agen Kebaikan
Dalam perannya sebagai “agen kebaikan,” para elit agama dituntut untuk menjadi model yang mempraksiskan etika agama dalam realitas individual dan sosialnya. Harapan ini meniscayakan tuntutan, para elit agama harus memberikan orientasi kemanusiaan dalam pembicaraan tentang Tuhan dan ketaatan manusia kepadan-Nya. Itu artinya, harus mengembalikan normativitas agama menjadi aksi praksis.
Dalam konteks berbagai problematika kehidupan kita bermasyarakat, tuntutan ini dapat diturunkan dalam berbagai agenda praksis. Misalkan, penghentian politisasi agama oleh para elit agama di panggung pemilu dan pilkada, kesederhanaan hidup yang menggambarkan hadirnya rasa keprihatinan terhadap rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat kecil, hadirnya konsistensi antara normativitas ajaran agama yang diucapkan oleh para elit agama di berbagai mimbar khutbah, siaran televisi, radio dan tumpukan buku dengan sikap sosial mereka, keberpihakan aktif para elit agama terhadap rakyat kecil menyangkut isu-isu sosial-kemanusiaan, kehadiran sikap oposan-kritis para elit agama dalam peran sosial-kulturalnya sebagai “agen kebaikan” untuk sepenuh hati berpihak pada kepentingan rakyat ketika berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.
Pendek kata, para elit agama digugat untuk mengembalikan fungsi revolusioner agama dalam ranah sosial-kultural seperti yang pernah dicontohkan para nabi, namun selama ini dikhianati.
Seperti dicontonkan para Nabi, di tangan mereka agama tidak hanya urusan tentang Tuhan. Di tangan para Nabi agama hadir sebagai perangkat revolusioner bagi pembebasan umat dari berbagai persoalan hidup kemanusiaan. Peran praksis agama ini pernah dicontohkan oleh Nabi Musa saat membebaskan pengikutnya dari otoritarianisme Fir’aun, penguasa Mesir Kuno. Juga pernah dicontohkan Nabi Isa (Yesus) saat membebaskan bangsa Yahudi dari kekaisaran otoriter Romawi yang kala itu dipimpin Herodes. Pun pernah dicontohkan Nabi Muhammad saat membebaskan masyarakat Arab dan dunia.
Maka di tangan para nabi, agama hadir sebagai perangkat pembebasan masyarakat yang tertindas. Dalam sejarahnya, para Nabi selalu menempatkan diri sebagai oposan penguasa yang sangat kritis, tanpa takut tetapi sangat cerdas. Dalam sejarahnya, para Nabi senantiasa berpihak pada rakyat tertindas dan menjadi oposan yang cerdas terhadap penguasa dalam berbagai isu sosial-politik pada zaman mereka.
Karena memang, pembebasan seseorang atau komunitas sosial dari derita kemiskinan, kebodohan, ancaman ketertindasan, perilaku tidak adil, adalah tujuan pokok pewahyuan agama. Disini pula lah sebenarnya terletak inti utama ajaran berbagai ritus keagamaan.
Karena itu adalah pengkhianatan terhadap Tuhan dan para Nabi jika para elit agama melakukan politisasi agama, bersikap acuh pada berbagai penderitaan rakyat, tidak konsisten antara sikap hidup dalam ranah sosial dengan kata-kata yang keluar dari lidahnya di berbagai mimbar khutbah, siaran TV dan radio. Pun adalah pengkhianatan pada agama jika para elit agama tidak memiliki keberanian membela rakyat yang jelas-jelas dirugikan oleh kebijakan penguasa, bersikap loyal dan tidak kritis terhadap pemerintah. Seperti halnya juga merupakan sebuah dosa, jika para elit agama menggunakan agama untuk menghadirkan militansi umatnya untuk berbuat kerusakan dan menyebarkan ketakutan di tengah masyarakat dengan mengatasnamakan agama.
Tentu saja, tanggungjawab melakukan perbaikan yang dimulai dengan sikap konsisten antara normativitas etika agama dengan sikap hidup bukan hanya berada di pundak para elit agama. Dalam beragam profesi dan bidang pengabdian yang kita geluti, kita dituntut untuk bersikap seperti itu.
Adapun konteks kehidupan bernegara dan bermasyarakat, maka juga meniscayakan perbaikan sistemik-kultural dalam ranah politik, sosial, hukum untuk menghadirkan kultur-sistem yang transparan, accountable, bersih, yang mampu memaksa setiap individu untuk mempraksiskan nilai moral saat berada dalam sistem dan kultur tersebut. Wallahu a’lam***
Ciputat, Rabu dinihari, 29 Agustus 2007.
No comments:
Post a Comment