Jakarta, Kompas - Pemahaman masyarakat terhadap pluralisme masih mengalami kesenjangan. Pluralisme masih banyak ditentang karena dianggap menghilangkan batas agama dan mengaburkan identitas.
"Bangsa Indonesia menghadapi masalah serius dalam pluralisme. Dalam tataran wacana, masyarakat memahami keniscayaan kehidupan yang plural, tetapi di tataran empirik masih rendah," ujar Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jajat Burhanudin, Jumat (14/9).
Resistensi terhadap pluralisme makin meningkat sejak dikeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005 tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama. Penolakan terhadap pluralisme juga makin mengental dengan masuknya pengaruh politik yang memformalisasi ajaran agama.
Kesenjangan antara pemahaman dan praktik pluralisme terjadi akibat masih adanya persoalan dalam identitas berbangsa. Segala sesuatu yang berasal dari Barat selalu dinilai merongrong eksistensi diri. Pluralisme juga masih difahami sebagai pencampuradukan ajaran agama, bukan sebagai kesadaran atas realitas keberagaman kondisi masyarakat.
"Tradisi masyarakat Islam Indonesia sebenarnya bersentuhan lama dengan pluralisme dengan segala kearifannya," kata Jajat.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif The Wahid Institute Ahmad Suaedy mengatakan, terusiknya tradisi keagamaan masyarakat yang toleran dengan budaya lokal oleh cara beragama yang eksklusif terjadi sejak gencarnya penyebaran faham agama yang provokatif. Faham ini berkembang marak sejak reformasi.
Kelompok penyebar faham keagamaan yang eksklusif itu mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan baik. Kondisi ini kurang dapat diantisipasi kelompok dengan faham keagamaan yang inklusif. Padahal, kelompok yang memiliki tingkat adaptasi tinggi terhadap budaya lokal ini jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan penganut faham keagamaan eksklusif.
Suaedy menambahkan, toleransi atas pluralitas masyarakat memang tidak dapat dipaksakan. Batasan terhadap perbedaan yang ada tetap harus dihormati sebagai bagian dari penghargaan atas pluralitas itu sendiri.
Menurut Jajat, ulama, kelompok masyarakat madani, dan pemerintah perlu terus mengampanyekan pluralisme secara lebih masif sebagai kenyataan kehidupan berbangsa. Kampanye ini harus dilakukan dengan cara-cara yang dapat diterima publik, bukan dengan pemaksaan seperti pada zaman Orde Baru. (MZW)
Jakarta, Kompas - Pemahaman masyarakat terhadap pluralisme masih mengalami kesenjangan. Pluralisme masih banyak ditentang karena dianggap menghilangkan batas agama dan mengaburkan identitas.
"Bangsa Indonesia menghadapi masalah serius dalam pluralisme. Dalam tataran wacana, masyarakat memahami keniscayaan kehidupan yang plural, tetapi di tataran empirik masih rendah," ujar Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jajat Burhanudin, Jumat (14/9).
Resistensi terhadap pluralisme makin meningkat sejak dikeluarkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005 tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekularisme Agama. Penolakan terhadap pluralisme juga makin mengental dengan masuknya pengaruh politik yang memformalisasi ajaran agama.
Kesenjangan antara pemahaman dan praktik pluralisme terjadi akibat masih adanya persoalan dalam identitas berbangsa. Segala sesuatu yang berasal dari Barat selalu dinilai merongrong eksistensi diri. Pluralisme juga masih difahami sebagai pencampuradukan ajaran agama, bukan sebagai kesadaran atas realitas keberagaman kondisi masyarakat.
"Tradisi masyarakat Islam Indonesia sebenarnya bersentuhan lama dengan pluralisme dengan segala kearifannya," kata Jajat.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif The Wahid Institute Ahmad Suaedy mengatakan, terusiknya tradisi keagamaan masyarakat yang toleran dengan budaya lokal oleh cara beragama yang eksklusif terjadi sejak gencarnya penyebaran faham agama yang provokatif. Faham ini berkembang marak sejak reformasi.
Kelompok penyebar faham keagamaan yang eksklusif itu mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan baik. Kondisi ini kurang dapat diantisipasi kelompok dengan faham keagamaan yang inklusif. Padahal, kelompok yang memiliki tingkat adaptasi tinggi terhadap budaya lokal ini jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan penganut faham keagamaan eksklusif.
Suaedy menambahkan, toleransi atas pluralitas masyarakat memang tidak dapat dipaksakan. Batasan terhadap perbedaan yang ada tetap harus dihormati sebagai bagian dari penghargaan atas pluralitas itu sendiri.
Menurut Jajat, ulama, kelompok masyarakat madani, dan pemerintah perlu terus mengampanyekan pluralisme secara lebih masif sebagai kenyataan kehidupan berbangsa. Kampanye ini harus dilakukan dengan cara-cara yang dapat diterima publik, bukan dengan pemaksaan seperti pada zaman Orde Baru. (MZW)
No comments:
Post a Comment