Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina
CLIFFORD Geertz, dalam After Facts: Two Countries, Four Decades, One Antropologist (1995), mengungkapkan kecenderungan semakin menguatnya Islam puritan di Jawa; paling tidak lebih terasa jika dibandingkan dengan masa 1960-an. Setelah empat dekade meneliti Indonesia, Geertz melihat puritanisme Islam kian menguat di Jawa dekade 1990-an dan berkelanjutan sampai saat ini.
Puritanisme ini tampak nyata dalam arus Islam politik di Indonesia. Puritanisme itu dalam perkembangannya bertali-temali dan berkelit-kelit dan dengan Wahabisme dan atau Salafisme dalam bentuk radikalisasi salafi radikal, seperti yang tampak dalam kasus para teroris dan pelaku bom Bali.
Puritanisme Islam di sini sebagian memang merambah wilayah sufisme dan Islam moderat. Namun, kecenderungan yang dimaksud Geertz dengan puritanisme lebih ditujukan kepada suburnya Wahabisme dan atau Salafisme yang secara populer dikenal sebagai radikalisasi dan Arabisasi Islam di Indonesia.
Menurut akademisi Robert W Hefner, untuk sebagian, menguatnya Islam politik yang puritan dan radikal itu disebabkan meluasnya ideologisasi dan transnasionalisasi Islam serta hilangnya pengaruh para negarawan Islam yang pluralis, liberal, dan tercerahkan, seperti Syafrudin Prawiranegara, Sukiman Wirjosandjojo, Prawoto Mangkusasmito, Moch Roem, Wahid Hasyim, dan Kasman Singodimedjo di kalangan Islam politik di Indonesia karena koersi dan represi Orde Baru.
Paralel dengan studi Geertz, dalam suatu kesempatan, Dr Bahtiar Effendy, Ketua Lembaga Hikmah PP Muhammadiyah, menyingkapkan kelompok-kelompok radikal Islam makin menguat karena situasi politik Indonesia yang masih belum stabil dan umat Islam banyak yang miskin dan belum sejahtera. Bahtiar yakin, jika situasi politik nasional stabil dan umat Islam sejahtera, dengan sendirinya radikalisme Islam dan tuntutan-tuntutan 'islami', termasuk perda syariah yang artifisial dan artikulatif, akan hilang (Tempo, edisi 30 Okt-5 November 2006).
Berkaitan dengan semua itu, survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) Oktober 2006 menyebutkan dari 1.092 informan yang diwawancarai, yang menyatakan dukungan terhadap organisasi-organisasi islami, seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang prosyariat Islam, mencapai 16,1% dan 17,4% mendukung Jamaah Islamyiah, organisasi yang kerap diidentikkan dengan kaum teroris dan Islam radikal.
Saiful Mujani -peneliti senior LSI- mengakui sebagai sebuah gerakan, 10% dari 177 juta umat Islam Indonesia yang mendukung gerakan radikal, artinya di Indonesia sekurang-kurangnya terdapat 10 juta orang, merupakan suatu jumlah yang signifikan. Terlebih dalam situasi transisi politik dengan pelbagai kelompok Islam yang mencari solusi atas krisis multidimensi yang terjadi di negeri ini.
Ideologisasi agama dan khilafah Islam
Dalam proses pencarian Islam sebagai solusi atas kompleksitas masalah, tidak sedikit kaum muslim yang gelisah dan kecewa terhadap kemiskinan, ketidakadilan, tirani, dan dehumanisasi berusaha mencari inspirasi, pengalaman, ajaran, dan aliran dari Islam transnasional di Timur Tengah. Seperti Partai Keadilan Sejahtera yang diinspirasikan ajaran Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jamaah Islamiyah yang diilhami dan dimotivasi Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden dari Dunia Arab dan Hizbut Tahrir Indonesia yang mengacu kepada Hizbut Tahrir di Timur Tengah. Demikian halnya MMI yang diilhami gerakan agamisme Islam di Timur Tengah. Terjadilah ideologisasi dan transnasionalisasi agama secara masif.
Bahkan Hizbut Tahrir Indonesia sudah menyelenggarakan Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta Agustus lalu. Hal itu membuktikan ajaran agama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih amat potensial sebagai sumber tindakan praktis dan praksis dalam hubungan antara individu dan kelompok (grup), yang oleh Donald E Smith, disebut sebagai terbentuknya sistem politik agama (religio-political system).
Pandangan itu paralel dengan apa yang disebut Geertz religions mindedness, yakni suatu proses terjadinya ideologisasi agama. Pada konteks itu, agama memiliki potensi untuk menyalakan fanatisme dan radikalisme yang bisa mengobarkan pergolakan dan kekerasan yang meletus setiap ada kesempatan. Agama dengan posisi itu mempunyai fungsi ganda, yakni sebagai pembentuk integritas sekaligus pembentuk konflik dan kekerasan.
Dalam kasus peledakan bom Bali, bom Kuningan dan aksi kekerasan lainnya, seperti aksi massa yang memblokade kegiatan umat Katolik di Cianjur baru-baru ini, tampak betapa dengan mengatasnamakan agama, tindak kekerasan seakan dihalalkan. Tak jarang aksi kekerasan itu untuk kepentingan politik kelompok, seperti aksi main hakim sendiri oleh sejumlah ormas Islam yang menutup tempat-tempat yang dianggap 'maksiat', seperti di Jakarta.
Aksi kekerasan semacam itu menimbulkan sejumlah tafsir dan kesan. Yaitu, tindakan tersebut didorong motivasi murni keagamaan atau justru oleh kepentingan pribadi atau kelompok yang memiliki agenda tersembunyi.
Dalam menghadapi dinamika dan perkembangan yang mencemaskan dan mengkhawatirkan banyak orang itu, hemat kami, semua kelompok Islam hendaknya tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan perselisihan dan perbedaan pendapat, tidak memonopoli kebenaran, dan tidak memaksakan kehendak, termasuk kepada kaum minoritas. Suatu dialog dan kerja sama yang terbuka dan akuntabel antarkelompok beragama maupun antarkelompok internal Islam, baik di tingkat atas, menengah ataupun akar rumput, justru lebih menjamin harmoni kebhinekaan, kebersamaan, dan kemajuan.
OKI dan Islam Transnasional
Masyarakat madani (civil society) akhir-akhir ini diwarnai wacana diskursus kelompok yang ingin membentuk Khilafah Islam, suatu arus Islam baru yang lebih mengutamakan internasionalisme Islam ketimbang keindonesiaan dan nasionalisme religius. Kelompok transnasional itu hendaknya menyadari Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang para anggotanya negara-negara berpenduduk muslim atau negara Islam dengan pluralisme Islam dipraksiskan dan diamalkan dengan damai. Sesungguhnya, hal itu sudah menggantikan model kekhalifahan, dengan siasat, cara, dan bentuk institusi yang modern.
Meminjam pandangan cendekiawan muslim M Dawam Rahardjo, OKI merupakan contoh yang baik dan pragmatis bagi kalangan prokhilafah internasional bahwa suatu organisasi Islam transnasional dan global (OKI) sudah dibentuk secara demokratis oleh bangsa-bangsa muslim, dengan akal sehat dan sikap realistis, yang sejatinya telah menggantikan peran dan eksistensi khilafah internasional itu sendiri.
Membentuk khilafah Islam sedunia untuk menghadapi 'kemungkaran global' dan 'kapitalisme mondial' dalam persepsi para pemimpin OKI merupakan aksi anonim dan anomali yang amat mungkin menimbulkan disilusi di kalangan umat sendiri. Semoga hal itu menjadi renungan umat Islam dalam bingkai akal budi dan hati nurani sebagai bangsa yang bercorak multibudaya.
No comments:
Post a Comment