15 September 2007 |
|
Jakarta—Sepuluh tahun lebih "bersembunyi" di bawah tanah setelah keluar dari gerakan Negara Islam Indonesia (NII), Mataharitimoer muncul kembali ke publik dengan sebuah novel otobiografinya yang menghentak, Jihad Terlarang, Cerita dari Bawah Tanah. Dalam novel itu, Eddy Prayitno alias Mataharitimoer menguraikan berbagai visi dan metode NII dalam mengimplementasikan hukum Islam.
AA: Judul buku Anda, "Jihad Terlarang", menggelitik banyak orang untuk membacanya, terutama di masa terorisme global ini ketika kata "jihad" diidentikkan dengan "terorisme". Apa maksud Anda dengan judul tersebut?
M: Kata "jihad" menggambarkan apa yang orang-orang NII sadari sebagai Jihad fi Sabilillah, sebuah perjuangan untuk menegakkan hukum Allah dalam bentuk negara Islam. Seburuk apa pun persepsi orang lain terhadap mereka, tetap saja mereka menyatakan diri sedang berjihad di Jalan Allah. Jihad mereka ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Tentu saja hal ini mengancam stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebab itu ia menjadi "terlarang".
AA: Apa sesungguhnya yang mendorong Anda menulis novel tersebut?
M: Dulu, ketika saya keluar dari NII, teman-teman saya bertanya-tanya, kenapa saya keluar (murtad), padahal karier pergerakan saya begitu cemerlang? Jawaban saya: "Saya berjanji, pada saatnya nanti, saya akan menulis sebuah buku yang menjelaskan secara utuh mengapa saya harus pergi dari lingkungan pergerakan Islam ini." JANJI itulah yang mendorong saya menulis Jihad Terlarang.
AA: Dalam "Jihad Terlarang", Anda menyebutkan masih dilanda trauma atas kekerasan yang dilakukan oleh anggota-anggota NII. Apa bukan trauma itu, yang membuat Anda mengangkat pena?
M: Jika saya masih dendam, mungkin yang saya lakukan akan lebih parah dari sekedar bikin novel. Bisa jadi saya akan membongkar rahasia dan keberadaan pentolan NII. Tapi itu tak saya lakukan. Masalah trauma, sejujurnya saat ini pun saya masih trauma dengan metode kekerasan pergerakan tersebut. Saya pernah diteror, difitnah, dipukuli, disekap, bahkan disogok oeh mereka agar saya tak keluar.
AA: Apa visi dan misi NII sesungguhnya?
M: Negara berdasarkan Islam dan hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan hadis. Terus terang saja, visi dan misi NII seperti dinyatakan oleh Sang Imam, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo tahun 1949, saat Indonesia vakum dari pemerintahan akibat Perjanjian Renville, sangat ideal bagi saya. Visi beliau mengenai negara Islam terinspirasi oleh piagam Madinah yang diresmikan oleh Nabi Muhammad SAW. Selama masa Nabi, Madinah merupakan negeri yang adil baik terhadap orang Islam, Yahudi, Nasrani, dan siapa pun yang hidup pada masa itu.
AA: Apa penyelewengan NII saat ini terhadap visi Kartosuwirjo?
M: Penyelewengan yang paling prinsipil adalah mereka melakukan banyak tindakan yang merusak citra Islam. Mereka menganggap hanya kelompok merekalah yang representatif terhadap kebenaran, terhadap Islam. Mereka sulit menerima kritik dan mengandalkan kekerasan ketimbang dialog. Ini menumbuhkan pandangan yang keliru terhadap Islam sebagai agama yang memberikan kasih sayang bagi seluruh dunia (rahmatan lil 'alamin).
AA: Apakah konsepsi negara Islam kompatibel dengan demokrasi?
M: Islam tak bisa dibandingkan dengan demokrasi karena demokrasi hanyalah bagian kecil dari pola interaksi rakyat-pemerintah saja. Demokrasi hanyalah salah satu solusi bagi pemerintahan otoriter atau negara-negara yang dipimpin oleh pemimpin otoriter. Demokrasi bisa jadi sesuai dengan Islam, namun bukan berarti Islam itu demokratis. Islam sangat menghargai dan menjamin keberadaan dan kepentingan rakyat yang plural, namun tidak menjadikan rakyat sebagai sumber kebenaran yang bagaimanapun bisa membawa pada totalitarianisme atas nama kehendak rakyat .
AA: Jika memang konsepsi negara Islam itu baik, benar, ideal dan bisa dilaksanakan, apakah kita harus pula mengekspornya sebagaimana Barat mengekspor "demokrasi"?
M: Islam adalah agama yang terbuka terhadap inovasi. Islam bisa menerima dan mengadaptasi konsepsi demokrasi dari Barat dengan berbagai catatan. Lantas, apakah Barat mau terbuka dan "mengimpor" Islam? Yang ideal menurut saya adalah, siapa pun kita, apa pun latar belakang ideologi kita, mestinya kita tetap bergandengan tangan, bukan saling merendahkan. Dalam Al-Quran, surah Al-Hujurat (49) ayat 13, disebutkan bahwa Allah menciptakan perbedaan gender, suku, ras, dan bangsa, untuk saling mengenal dan menghormati. Bukan untuk saling bercerai-berai dan angkat senjata.
AA: Apakah demokrasi tak bisa membawa keadilan dan kedamaian?
Mau demokrasi, teokrasi, ataupun nomokrasi, tetap saja tergantung dari kejujuran dan kebaikan hati manusianya. Terhadap konsep negara Islam sendiri, apakah keadilan, persamaan, persaudaraan, dan kesejahteraan rakyatnya terjamin? Negara mana itu? Saya belum pernah tahu faktanya.
AA: Anda tidak takut diteror, diculik, atau bahkan dibunuh karena munulis novel ini?
Entah apakah dampak itu akan terjadi atau tidak, saya tak tahu. Saya hanya berharap kelompok seperti NII mereka lebih bijaksana terhadap kritik. Tetapi jika mereka merasa terusik, saya menyadari segala resiko yang harus saya hadapi. Hidup adalah pilihan, dan setiap pilihan pasti ada resikonya.
###
* Ayu Arman adalah seorang jurnalis freelance tinggal di Jakarta, mantan editor sebuah majalah muslimah terbesar di Indonesia. Artikel ini disebarluaskan oleh Layanan Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.
AA: Judul buku Anda, "Jihad Terlarang", menggelitik banyak orang untuk membacanya, terutama di masa terorisme global ini ketika kata "jihad" diidentikkan dengan "terorisme". Apa maksud Anda dengan judul tersebut?
M: Kata "jihad" menggambarkan apa yang orang-orang NII sadari sebagai Jihad fi Sabilillah, sebuah perjuangan untuk menegakkan hukum Allah dalam bentuk negara Islam. Seburuk apa pun persepsi orang lain terhadap mereka, tetap saja mereka menyatakan diri sedang berjihad di Jalan Allah. Jihad mereka ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Tentu saja hal ini mengancam stabilitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebab itu ia menjadi "terlarang".
AA: Apa sesungguhnya yang mendorong Anda menulis novel tersebut?
M: Dulu, ketika saya keluar dari NII, teman-teman saya bertanya-tanya, kenapa saya keluar (murtad), padahal karier pergerakan saya begitu cemerlang? Jawaban saya: "Saya berjanji, pada saatnya nanti, saya akan menulis sebuah buku yang menjelaskan secara utuh mengapa saya harus pergi dari lingkungan pergerakan Islam ini." JANJI itulah yang mendorong saya menulis Jihad Terlarang.
AA: Dalam "Jihad Terlarang", Anda menyebutkan masih dilanda trauma atas kekerasan yang dilakukan oleh anggota-anggota NII. Apa bukan trauma itu, yang membuat Anda mengangkat pena?
M: Jika saya masih dendam, mungkin yang saya lakukan akan lebih parah dari sekedar bikin novel. Bisa jadi saya akan membongkar rahasia dan keberadaan pentolan NII. Tapi itu tak saya lakukan. Masalah trauma, sejujurnya saat ini pun saya masih trauma dengan metode kekerasan pergerakan tersebut. Saya pernah diteror, difitnah, dipukuli, disekap, bahkan disogok oeh mereka agar saya tak keluar.
AA: Apa visi dan misi NII sesungguhnya?
M: Negara berdasarkan Islam dan hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan hadis. Terus terang saja, visi dan misi NII seperti dinyatakan oleh Sang Imam, Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo tahun 1949, saat Indonesia vakum dari pemerintahan akibat Perjanjian Renville, sangat ideal bagi saya. Visi beliau mengenai negara Islam terinspirasi oleh piagam Madinah yang diresmikan oleh Nabi Muhammad SAW. Selama masa Nabi, Madinah merupakan negeri yang adil baik terhadap orang Islam, Yahudi, Nasrani, dan siapa pun yang hidup pada masa itu.
AA: Apa penyelewengan NII saat ini terhadap visi Kartosuwirjo?
M: Penyelewengan yang paling prinsipil adalah mereka melakukan banyak tindakan yang merusak citra Islam. Mereka menganggap hanya kelompok merekalah yang representatif terhadap kebenaran, terhadap Islam. Mereka sulit menerima kritik dan mengandalkan kekerasan ketimbang dialog. Ini menumbuhkan pandangan yang keliru terhadap Islam sebagai agama yang memberikan kasih sayang bagi seluruh dunia (rahmatan lil 'alamin).
AA: Apakah konsepsi negara Islam kompatibel dengan demokrasi?
M: Islam tak bisa dibandingkan dengan demokrasi karena demokrasi hanyalah bagian kecil dari pola interaksi rakyat-pemerintah saja. Demokrasi hanyalah salah satu solusi bagi pemerintahan otoriter atau negara-negara yang dipimpin oleh pemimpin otoriter. Demokrasi bisa jadi sesuai dengan Islam, namun bukan berarti Islam itu demokratis. Islam sangat menghargai dan menjamin keberadaan dan kepentingan rakyat yang plural, namun tidak menjadikan rakyat sebagai sumber kebenaran yang bagaimanapun bisa membawa pada totalitarianisme atas nama kehendak rakyat .
AA: Jika memang konsepsi negara Islam itu baik, benar, ideal dan bisa dilaksanakan, apakah kita harus pula mengekspornya sebagaimana Barat mengekspor "demokrasi"?
M: Islam adalah agama yang terbuka terhadap inovasi. Islam bisa menerima dan mengadaptasi konsepsi demokrasi dari Barat dengan berbagai catatan. Lantas, apakah Barat mau terbuka dan "mengimpor" Islam? Yang ideal menurut saya adalah, siapa pun kita, apa pun latar belakang ideologi kita, mestinya kita tetap bergandengan tangan, bukan saling merendahkan. Dalam Al-Quran, surah Al-Hujurat (49) ayat 13, disebutkan bahwa Allah menciptakan perbedaan gender, suku, ras, dan bangsa, untuk saling mengenal dan menghormati. Bukan untuk saling bercerai-berai dan angkat senjata.
AA: Apakah demokrasi tak bisa membawa keadilan dan kedamaian?
Mau demokrasi, teokrasi, ataupun nomokrasi, tetap saja tergantung dari kejujuran dan kebaikan hati manusianya. Terhadap konsep negara Islam sendiri, apakah keadilan, persamaan, persaudaraan, dan kesejahteraan rakyatnya terjamin? Negara mana itu? Saya belum pernah tahu faktanya.
AA: Anda tidak takut diteror, diculik, atau bahkan dibunuh karena munulis novel ini?
Entah apakah dampak itu akan terjadi atau tidak, saya tak tahu. Saya hanya berharap kelompok seperti NII mereka lebih bijaksana terhadap kritik. Tetapi jika mereka merasa terusik, saya menyadari segala resiko yang harus saya hadapi. Hidup adalah pilihan, dan setiap pilihan pasti ada resikonya.
###
* Ayu Arman adalah seorang jurnalis freelance tinggal di Jakarta, mantan editor sebuah majalah muslimah terbesar di Indonesia. Artikel ini disebarluaskan oleh Layanan Berita Common Ground (CGNews) dan dapat dibaca di www.commongroundnews.org.
No comments:
Post a Comment