Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Dalam Pembukaan UUD '45 ditegaskan bahwa di antara tugas pemerintah adalah ''mencerdaskan kehidupan bangsa''. Rumusan semacam ini bukan tanpa latar belakang historis yang sarat dengan kegetiran; ia tidak muncul secara tiba-tiba. Akarnya menjalar jauh dan dalam. Sebagai bangsa bekas jajahan, para perumus UUD kita menyadari betul betapa gelapnya otak bangsa ini jika tingkat buta huruf masih sangat tinggi, yaitu pada tahun 1945 sekitar 90 persen.
Tahun 2007, persentasenya, berkat kemerdekaan, memang sudah terbalik, yaitu sekitar 90 persen sudah melek huruf, sekalipun sebagian (besar?) belum tentu tamat SD. Dari sisi ini, betapapun masih rendahnya tingkat kecerdasan rakyat, kita wajib mensyukuri kemerdekaan bangsa ini. Tanpa kemerdekaan, kita tetap saja dalam posisi bangsa budak.
Tetapi, fokus perhatian kita kali ini bukan di situ. Yang hendak disoroti adalah kenyataan bahwa tingkat keilmuan bangsa ini secara keseluruhan masih di bawah standar. Dengan kata lain, dibandingkan dengan negara tetangga yang lebih belakangan mendapatkan kemerdekaan, kita jauh kedororan. Ambillah contoh Malaysia yang pada 1950-an dan 1960-an jauh tertinggal oleh Indonesia dan kita mengirim pasukan guru ke sana, sekarang memandang kita dengan sebelah mata. Apalagi dengan berjibunnya TKI/TKW kita mengadu nasib ke sana, negeri jiran ini telah menganggap kita sebagai bangsa dan negara yang tidak serius mengurus dan mengisi kemerdekaan. Kita kehilangan wibawa di depan rakyat negara itu yang sekarang sedang menikmati kemakmurannya, seperti yang sudah disinggung dalam Resonansi sebelum ini.
Apa sebenarnya yang terjadi pada tubuh dan jiwa bangsa ini? Mengapa kita masih dalam keadaan stagnasi dalam upaya memajukan bangsa ini agar lebih bermartabat di depan forum dunia? Dalam perspektif perkembangan keilmuan dan teknologi dasar, kita adalah bangsa yang masih tunailmu dan tunateknologi. Penyebab pokoknya tidak lain karena perhatian negara yang diwakili pemerintah selama lebih 60 tahun terhadap dunia pendidikan minim sekali.
Kabinet telah jatuh-bangun berulang kali sejak proklamasi, tetapi dunia pendidikan kita tetap saja sebagai kelinci percobaan. Seorang menteri pendidikan biasanya diangkat bukan karena visi dan kemampuannya dalam memajukan pendidikan, tetapi pertimbangan politik kekuasaan jauh lebih dominan.
Cara semacam ini merupakan salah satu penyebab utama mengapa politik pendidikan nasional kita seperti kehilangan benang merah, tidak ada kesinambungan antara seorang menteri dengan menteri yang lain dalam berbagai periode. Dengan kenyataan ini dunia pendidikan kita menjadi terombang-ambing oleh kebijakan yang zigzag tanpa visi yang jelas dan itu semua melelahkan kita. Korbannya adalah peserta didik yang tidak mengerti apa-apa mengapa mereka dijadikan ''barang mainan'' puluhan tahun.
Akibat jangka panjangnya sangat jelas dan tunggal: Pendidikan kehilangan perpektif masa depan. Ini persoalan yang sangat serius. Sebuah bangsa yang tidak cerdas pasti akan menjadi sasaran obokan pihak lain, tidak peduli apakah jumlah penduduknya besar atau kecil.
Beberapa hari yang lalu, dalam penerbangan ke Jakarta, saya kebetulan duduk bersebelahan dengan dekan Fakultas Kedokteran UGM yang sangat prihatin pada kondisi pendidikan di Indonesia. Ujarnya, bagaimana mungkin bangsa ini akan menjadi cerdas manakala tingkat kesejahteraan guru sangat minim, termasuk guru besarnya.
Pak dekan ini suami istri adalah profesor, tetapi penghasilan gabungan keduanya berada di bawah pendapatan seorang anggota DPRD tingkat II yang PAD-nya tidak tinggi. Untung saja dekan ini seorang dokter yang masih berpraktik, sehingga ada tambahan penghasilan. Sebuah ironi terlihat di sini: Seorang profesor dengan kualifiasi PhD atau doktor lulusan perguruan tinggi dalam negeri dilecehkan oleh penghasilan seorang politikus kelas kabupaten atau kota yang menjadi anggota DPRD.
Anda mau contoh yang lebih konkret tentang ironi ini? Adalah Profesor T Jacob yang punya reputasi dunia dan seorang penulis prolifik, mantan rektor UGM, sekalipun sudah pensiun, masih tinggal di rumah dinas karena tidak mampu membuat rumah untuk keluarga kecilnya. Yang bernasib begini banyak sekali. Manusia tipe Profesor Jacob yang tidak mau bergeser sedikit saja dari posisi seorang ilmuwan harus rela hidup tanpa rumah pribadi sampai usia tuanya.
Begitu juga nasib sejarawan almarhum Profesor T Ibrahim Alfian yang telah mewariskan beberapa karya tulis penting untuk bangsa ini, di saat wafatnya kita melayat ke rumah dinasnya di lingkungan kampus UGM. Pendapatannya selama berkarier sebagai ilmuwan yang PNS tidak mampu menolong hari tuanya untuk sekadar punya tempat berteduh.
Inilah di antara panorama yang tak sedap dipandang di sebuah bangsa kaya, tetapi tidak menghargai ilmu, bangsa tunailmu. Pertanyaan pungkasannya adalah: Sampai berapa lagi mendung tebal yang melingkupi alam pendidikan kita berangsur sirna?
No comments:
Post a Comment