Thursday, July 5, 2007

Agama Itu Kemaslahatan Umat

Ngatawi Al-Zastrow:

Perspektif sosiologis sangat perlu untuk memahami masyarakat Indonesia yang masih menganggap penting kedudukan agama. Ironisnya, pendekatan ini masih belum banyak berkembang di kalangan agamawan. Berikut perbincangan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Ngatawi al-Azstrow, peneliti di Institute for Indonesian Sociology, Universitas Indonesia, di Kantor Berita Radio 68 H Jakarta, 15 Juni lalu.

Bagaimana Anda melihat perkembangan sosiologi agama di Indonesia?
Belum ada perkembangan berarti. Itu disebabkan dua hal utama. Pertama, orang masih menyamakan antara fakta atau fenomena sosial dan ajaran normatif agama. Karena itu, ketika mengkritik suatu fenomena sosial-keagamaan, kita dianggap melecehkan dan mendekonstruksi suatu agama. Padahal, dalam sosiologi agama, kita hanya melihat kelompok agama sebagai fenomena sosial.

Kedua, ketika mengkritik suatu pemikiran sosial yang berlabelkan agama, kita juga dianggap merusak agama. Contohnya, ketika mengkritik ketidakadilan gender dalam komunitas suatu agama. Padahal, isu gender merupakan fenomena sosial yang terkait atau tidak terkait dengan persoalan agama.

Apa pentingnya sosiologi agama bagi masyarakat Indonesia?
Saya belum tahu persis. Menurut saya, ini sesuatu yang sangat penting. Sebab, ada banyak perkembangan sosial-keagamaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Semua itu butuh kajian yang lebih sosiologis.

Misalnya, ketika saya melakukan penelitian di daerah Gamping, Jogjakarta. Konon, di sana sedang gencar-gencarnya kampanye ijo royo-royo oleh ICMI. Semua orang berasumsi gejala itu adalah tanda kebangkitan Islam. Lalu, saya bertanya kepada salah seorang responden saya: apa kesan Anda terhadap gejala ini?

Dia bilang, saya tambah bingung, Mas! "Kenapa?" tanya saya. "Dulu, sebelum ada kebangkitan-kebangkitan ini, kita bebas-bebas saja. Kalau ada kematian, ya kita melayat. Ada lahiran atau ngantenan, ya kita datang. Tapi, setelah ada istilah kebangkitan agama ini, kita malah dipisah-pisahkan," jawabnya.

Kadang terjadi gap antara pergaulan sosial antarkomunitas agama dan doktrin agama. Misalnya, ucapan selamat hari besar untuk umat beragama lain. Bagaimana sosiologi agama menanggulangi ketegangan semacam itu?
Lembaga agama resmi seperti MUI mestinya juga memahami agama dari konteks sosiologisnya. Jangan semua hal didogmakan. Secara sosiologis, mana ada sih orang Islam yang gara-gara mengucap Natal, misalnya, lalu jadi Kristen atau murtad.

Di lingkungan NU, soal seperti itu pun kadang jadi repot. Sebab, mereka kurang memperhatikan perspektif sosiologis dalam memahami masyarakat. Perspektifnya selalu normatif, dogmatis, dan tekstualis. Yang mengaku tekstualis pun terkadang tidak komplet menelaah teks-teks agama.

Ada fatwa lain yang Anda anggap tidak peka terhadap sosiologi masyarakat?
Ada. Fatwa pluralisme itu haram. Dalam soal ini, saya pernah mengeceknya langsung ke KH Ma’ruf Amin. "Pak Kiai, mengapa Anda memfatwakan pluralisme itu haram?" Dia jawab, "Lho, pluralisme itu kan mengatakan semua agama sama. Lalu bagaimana dengan Islam?!" "Kalau pemahaman Anda tentang pluralisme seperti itu, ya benar saja kalau itu haram. Tapi, pemahaman pluralisme itu bukan seperti itu, Pak Kiai," kata saya.

Jadi, pluralisme itu ibarat warna-warni bunga?
Ya, begitulah. Pluralisme itu ibarat membiarkan mawar, melati, dan kenanga bisa hidup dan berkembang sebanyak-banyaknya dalam suatu taman agar keharumannya bisa dinikmati orang banyak.

Jadi, bukan mengubah mawar menjadi melati atau melati menjadi kenanga. Kalau itu yang dimaksud, namanya sudah menyalahi kodrat. Begitulah kata saya.

Jadi, kesan Anda terhadap fatwa MUI itu?
Menurut saya, MUI memberi fatwa berdasar asumsi dan imajinasi sendiri yang salah. Jadi, tashawur-nya sudah tidak benar.

Apa jawaban KH Ma’ruf Amin? "Ya, sudahlah. Nanti kan ada orang seperti sampeyan yang menjelaskan!" Rupanya, dia tidak berpikir bahwa fatwa itu berdampak sosiologis yang luar biasa.

Sosiologi agama juga membuat kita peka terhadap dampak doktrin agama dalam pola hubungan sosial di masyarakat?
Tidak hanya itu, tapi juga membuat kita bisa mendudukkan agama pas pada konteksnya. Kita kadang lupa agama ini diturunkan kepada umat manusia. Kadang kita terbalik memahaminya: manusia yang disuruh mengabdi untuk agama. Di sinilah pentingnya memahami sosiologi agama supaya kita bisa memilah-milah mana yang merupakan dogma dan doktrin agama serta mana yang merupakan konteks dari konstruksi sosial umat beragama.

Mungkin dari kalangan agamawan ada keberatan untuk menggunakan pendekatan sosiologis dalam memahami kehidupan masyarakat, komentar Anda?
Anggapan seperti itu harus diluruskan. Yang dimaksud pendekatan sosiologis itu bukan berarti mempelajari agama dari perspektif sosiologi semata.

Sosiologi agama mengajak kita mempelajari sosiologi komunitas masyarakat beragama; bagaimana mereka mengonstruksi agama atau sebaliknya dan bagaimana agama mengonstruksi masyarakat. Pendekatan sosiologi pun hanya alat.

Jadi, kalau fungsinya sebagai alat, apa saja bisa dipakai. Kalau ada anggapan bahwa dengan sosiologi agama akan rusak, itu menurut saya anggapan orang-orang yang cengeng saja.

Ada beberapa buku studi agama dengan pendekatan sosiologis. Yang membuat agamawan dogmatis keberatan ialah tidak ada penghakiman teologis terhadap aliran-aliran tersebut. Tanggapan Anda?
Ini seperti yang saya bilang tadi: karena kecengengan kaum agamawan sendiri. Mereka khawatir dogma agama akan rusak. Lho, memangnya kenapa sih? Agama kan rahmatan lil `alamin.

Jadi, soal apakah itu benar atau salah, ya, serahkan saja pada Tuhan. Yang berhak menghakimi benar-salah itu kan hanya Allah. Kalau urusan muasyarah dalam soal-soal duniawi, kan sudah ada sabda Nabi: "Antum a’lamu bi umuri dunyakum" (kalian lebih tahu urusan dunia kalian).

Apa fungsi agama secara sosiologis menurut Anda?
Ya, mestinya agama itu ngemong rakyatnya. Pengertian ngemong di situ harus disesuaikan dengan al-mashlahah al-`âmmah (kemaslahatan umum). Kadang-kadang masyarakat antaragama rukun dan baik-baik saja.

Tapi kemudian, atas nama rakyat tertentu, agama justru menjadi palu godam ideologi. Dulu jagong bayen di rumah tetangga Kristen itu dianggap hal lumrah saja oleh orang Islam. Tapi, sekarang tiba-tiba dianggap tabu. Kebangkitan macam apa yang diinginkan dari agama ini?

Adakah pengamatan Anda?
Ada perbedaan perkembangan sosial-keagamaan di dalam masyarakat Islam. Dulu, para ulama kita pergi ke Timur Tengah. Lalu setelah pulang, mereka tidak mengislamkan Indonesia, tapi ingin mengindonesiakan Islam.

Karena itu, seluruh perangkat kultural yang sudah kita punya tidak mereka rusak. Instrumen itu malah mereka jadikan alat untuk memperkenalkan ajaran-ajaran Islam yang damai.

Ketika ada tuntutan agar dasar negara ini dilandaskan pada Islam dan menggunakan syariat Islam, mereka justru menolak.

Apakah soal spiritualitas suatu masyarakat juga masuk ruang lingkup kajian sosiologi agama?
Saya pikir, iya. Sebab, spiritualitas seseorang itu ikut berpengaruh dalam membangun pola hubungan sosial di dalam masyarakat. Spiritualitas orang yang fundamentalis dan formalis dalam beragama mungkin berbeda hasilnya di masyarakat dengan spiritualitas orang-orang kayak kita ini.

Jadi, yang dikaji dalam sosiologi agama adalah bagaimana orang membentuk suatu konstruksi sosial di dalam masyarakatnya dan bagaimana interaksi antara pemahaman keagamaannya dan realitas yang ada. (novriantoni)

No comments: