Kekerasan atas Nama Agama
Azyumardi Azra
Insiden ancaman yang kerap berujung kekerasan tampaknya masih berlanjut di negara ini. Kasus terakhir, 20 Juli, saat sekitar 2.000 orang datang ke Lembah Karmel, Puncak, memprotes pelaksanaan Konferensi Tritunggal Mahakudus yang diikuti sejumlah umat Katolik pada 24-29 Juli.
Mereka dihadang polisi di gerbang lokasi. Massa menuntut bukti izin kegiatan dari polisi; jika tidak, mereka akan membubarkan paksa konferensi itu.
Kejadian semacam ini sama sekali tidak baru; khususnya sejak masa pasca-Soeharto. Dari waktu ke waktu, kita menyaksikan berbagai bentuk ancaman dan kekerasan atas nama agama. Pada satu segi, ini terjadi di antara kelompok massa Islam— seperti contoh di atas—terhadap penganut agama lain, khususnya Kristen dan Katolik dan agama-agama lain.
Pada sisi lain orang juga bisa menyaksikan kekerasan di antara para pengikut agama yang sama; ada beberapa kelompok Islam, yang atas nama Islam, mengancam atau bahkan melakukan kekerasan terhadap penganut Islam lainnya. Dan secara tipikal, pelaku ancaman dan kekerasan menganggap kelompok Islam lainnya sudah sesat, menyimpang; seolah kebenaran Islam menjadi monopoli mereka sendiri, atau seolah mereka mengambil alih peran Tuhan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah.
Mengapa terus terjadi?
Mengapa tindakan-tindakan seperti itu terus terjadi? Jawabannya amat rumit. Namun, jika bisa disederhanakan dalam perspektif hubungan antaragama adalah, pertama, masih kuatnya rasa saling curiga di antara umat agama berbeda. Masih kuat, misalnya, kecurigaan di kalangan umat Islam, bahwa lembaga, kepemimpinan, dan organisasi Kristiani terus melakukan "kristenisasi" dengan berbagai cara yang mungkin. Sebaliknya, umat Kristiani mencurigai umat Islam terus berusaha menciptakan negara Islam di Indonesia. Kecurigaan yang kuat di kalangan umat Kristiani tentang hal ini bukan tidak mungkin membuat mereka nervous dan defensif dengan psikologi minoritas tertentu.
Kedua, belum terejawantahnya dialog-dialog yang workable antara kepemimpinan agama level tengah dan bawah. Memang dialog-dialog intra dan antaragama kelihatan terus berlangsung, tetapi— harus diakui—umumnya baru sampai pada level kepemimpinan puncak, di tingkat nasional maupun daerah. Jarang sekali terjadi dialog-dialog intra dan antaragama pada level tengah dan bawah kepemimpinan agama, yang justru bergerak dan amat berpengaruh terhadap masyarakat tingkat akar rumput. Padahal kepemimpinan agama pada level inilah yang bisa menghitamputihkan massa, yang bisa membuat massa murka, atau, sebaliknya, menjadikan mereka lebih tenang dan beradab.
Dalam konteks ini, hemat saya perlu pengembangan dialog-dialog intra dan antar agama, tidak hanya pada level puncak, tetapi juga pada level tengah dan bawah kepemimpinan agama. Memang beberapa daerah provinsi dan kabupaten/kota telah membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), tetapi dialog-dialog yang diselenggarakan FKUB belum tersosialisasikan ke tingkat bawah untuk kemudian bisa menciptakan hubungan intra dan antarumat beragama yang lebih sehat, harmonis, dan dinamis.
Pada segi lain, tetap maraknya ancaman dan tindakan kekerasan atas nama agama juga karena tidak efektifnya kekuasaan negara, yang biasanya diwakili polisi di lapangan. Dalam banyak kasus, polisi ada di lapangan, tetapi mereka tidak mampu mencegah terjadinya kekerasan, seperti dalam kasus penyerbuan massa anti-Ahmadiyah ke markas Ahmadiyah di Parung atau lokasi Ahmadiyah lainnya. Bahkan, hanya satu-dua kasus, yang pelaku ancaman dan tindak kekerasan atas nama agama diajukan ke pengadilan dan mendapat hukuman tidak setimpal dengan tindakan mengacau kehidupan umat beragama dan kehidupan publik umumnya.
Negara gagal
Negara seolah tidak memiliki kemauan politik (political will) dan kapasitas untuk bertindakan tegas guna melindungi setiap dan seluruh warga negaranya dari ancaman dan tindakan kekerasan dari individu atau kelompok warga lainnya.
Jika keadaan ini terus berlanjut, bukan hanya kekerasan yang dapat kian merebak di antara umat beragama, bahkan negara sendiri dapat menjadi sebuah "negara gagal" (failed states). Jika Indonesia menjadi "negara gagal", bisa dibayangkan implikasi dan konsekuensi selanjutnya; integrasi negara sulit dipertahankan sehingga seolah menunggu waktu bagi terjadinya apa yang sering disebut sebagai "Balkanisasi".
Oleh karena itu, dalam konteks hubungan intra dan antarumat beragama, perlu pemulihan kembali kemauan politik dan kapasitas bertindak aparat negara.
Jika saya menyarankan perlunya sebuah strong state yang memiliki kemauan politik dan kapasitas untuk melindungi setiap dan seluruh warganya, tidak berarti saya menyetujui kembalinya negara otoriter dan diktatorial di Indonesia Sebaliknya yang saya sarankan adalah negara demokrasi yang kuat karena sesungguhnya demokrasi tidak bisa tegak jika negara memble, tidak berdaya apa-apa melindungi warganya, tidak mampu menegakkan demokrasi. Jelas, hanya dengan kepatuhan pada tata hukum, ketertiban, dan keadaban publik, demokrasi bisa tegak secara lebih otentik.
Tak kurang pentingnya, representasi negara yang diwakili para pejabat dalam berbagai level harus pula senantiasa memperlihatkan komitmennya pada penegakan hukum. Hal ini karena bukan tidak jarang pejabat yang memikul tanggung jawab dalam kehidupan keagamaan, seperti Departemen Agama, tidak memberi garis yang tegas tentang ketidakbolehan melakukan ancaman atau kekerasan terhadap penganut atau kelompok keagamaan tertentu. Sebaliknya, bukan tidak jarang pejabat-pejabat ini mengeluarkan pernyataan dan kebijakan yang justru seolah menjadi justifikasi bagi tindakan-tindakan melanggar hukum itu.
Sudah saatnya berbagai pihak melakukan berbagai upaya lebih komprehensif dan terarah untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang toleran dan damai di bumi Indonesia. Jika tidak, berarti kita menyimpan bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu, bukan hanya menghancurkan umat beragama, tetapi juga Indonesia tercinta.
No comments:
Post a Comment