Monday, July 30, 2007

An-Naim: Sekularisme Bukan berarti Peminggiran Islam dari Kehidupan Publik

(Tulisan Kedua)

Oleh : AGUS SETIA BUDI & FATHURI SR/SYIRAH

Baik, kita kembali pada soal sekularisme, mayoritas orang Indonesia antipati, ketika mendengar istilah Sekualrisme. Kira-kira hal apa yang menyebabkan itu semua?

Resistensi terhadap sekularisme, paling tidak, disebabkan oleh istilah itu sendiri, terutama karena keterkaitan istilah ini dengan pemerintahan kolonial dan konotasinya yang antipati terhadap agama. Sejak jatuhnya rezim Soeharto, debat mengenai hal ini telah berkembang menuju arah yang baru. Tidak lagi dalam kerangka perdebatan mengenai Pancasila, tetapi beranjak pada isu-isu baru, seperti otonomi daerah dan munculnya kelompok-kelompok politik, sosial dan kultural baru yang suaranya diabaikan pada masa orde baru.

Di satu sisi, seperti JIL dan majalah Syirah berusaha untuk menawarkan dan mengembangkan diskursus keislaman yang lebih inklusif dan kritis, termasuk prinsip sekularisme. Namun di sisi lain, ada pula suara-suara lain, seperti Hartono Ahmad Jaiz dan majalah Sabili, yang menyerukan interpretasi yang lebih sempit dan eksklusif terhadap Islam dan syariah yang tidak konsisten dengan negara sekular yang menyediakan kerangka bagi pluralisme dan konstitusionalisme.

Sikap-sikap yang muncul dalam debat ini tidak bisa disederhanakan menjadi dua kelompok yang setuju dan tidak setuju dengan istilah sekularisme. Malah, banyaknya variasi pendapat mengenai hubungan antara Islam dan negara yang membentang dari peleburan total hingga pemisahan total memperlihatkan bahwa pemahaman tentang sekularisme di Indonesia sangat majemuk.

Sebagai analisa final, saya hanya ingin menekankan bahwa terpenting dari semua proses ini adalah menjaga agar proses debat tetap hidup dan konstruktif. Menerapkan negara Islam atau negar sekuler dalam konteks Indonesia, akan sangat problematik bila kemungkinan untuk debat dan adaptasi dihilangkan.

Contoh-contoh tendensi negatif bisa dilihat dari sejarah paska-kemerdekanan Indonesia, termasuk fatwa terbaru MUI yang menyatakan bahwa pluralisme dan sekularisme sebagi anti Islam. Debat yang konstruktif harus bisa menghindari tuduhan yang provokatif seperti itu dan bisa berdasar pada argumen-argumen yang substantif dan saling menghormati.

Bagaimana korelasi Sekularisme dengan Islam, negara dan Politik dalam Prespektif Historis?

Sekularisme yang didefinisikan sebagai pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara dengan tetap menjaga keterkaitannya dengan poliitk lebih konsisten dengan sejarah masyarakat Islam daripada dengan ide paska kolonial mengenai negara Islam yang bisa menerapkan syariah melalui kekuasaan negara yang koersif (memaksa). Pemisahan antara otoritas keagamaan dan otoritas negara merupakan perisai pengaman yang penting bagi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan peran politik Islam.

Dengan membuktikan bahwa sekularisme semacam itu merupakan hal yang islami, saya berharap bisa membantu menghilangkan anggapan umat Islama bahwa konsep ini merupakan pemaksaan ala Barat yang akan menyisihkan agama di ruang privat.

Sebetulnya tidak ada satu model sekularisme Barat yang tunggal karena setiap masyarakat Barat menegosiasikan hubungan antar agama dan negara dan antar agama dan politik sesuai dengan kontek sejarah mereka. Keliru juga memahami bahwa di negara Eropa dan Amerika yang dianggap sekular, agama telah dipinggirkan ke ruang privat.

Jelas bahwa hubungan anatara negara dan agama dalam masyarakat Islam tidak jauh berbeda dengan (keadaan) di masyarakat Barat. Ada pembedaan yang jelas antara institusi negara dan agama dalam maysarakat Islam.

Bukti sejarah memperlihatkan bahwa tidak ada satu model institusi agama dan negara yang baku dalam masyarakat Islam, yang ada adalah sejumlah model yang saling bersaing. Bahkan, dalam setiap model terdapat ketidakjelasan mengenai bagaimana distribusi otoritas, fungsi, dan hubungan antara institusi-institusi tersebut.

Maksudnya ?

Penekanan saya perbedaan institusi agama dan negara dalam sejarah masyarakat Islam bukan berarti bahwa pengalaman masa lalu masyarakat Islam tersebut harus menjadi model bagi masyarakat Islam saat ini dan pada masa depan. Ide seperti ini tidak mungkin dilaksanakan dan juga tidak dinginkan karena masyarakat muslim saat ini memiliki konteks yang berbeda dengan masyarakat muslim sebelumnya.

Usaha untuk menerapkan pengalaman historis tersebut akan menjadi tidak konsisiten dengan asumsi mengenai pentingnya menegosiasikan secara kontekstual hubungan agama dan negara serta hubungan agama dan politik.

Sebagai pertanyan terakhir, kira-kira Apa kesimpulan dari buku anda?

Kesimpulan dasar yang saya ajukan untuk buku ini adalah bahwa dabat seputar hubungan antara Islam, negara, dan masyarakat di Indonesia cenderung memunculkan dikotomi yang keliru dan dilema yang tak perlu. Adalah sebuah kekeliruan bila kita membayangkan adanya dikotomi yang tajam antara negara Islam dan negara sekular hanya dengan melihat adanya institusi politik sekular, terutama dalam kondisi masyarakat muslim dewasa ini.

Namun, seperti saya tekankan sejak awal, sekularisme tidak berarti peminggiran Islam dari kehidupan publik atau membatasi perannya terbatas pada domain personal dan privat. Keseimbangan yang tepat bisa dicapai dengan melakukan pemisahan kelembagaan Islam dari negara dengan tetap mengatur peran politik Islam sehingga umat Islam bisa mengajukan kepada negara agar mengadopsi prinsip-prinsip syariah sebagai kebijakan publik dan menetapkannya menjadi undang-undang atau peraturan melalui Public reason, dengan tetap tunduk pada prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan konstitusi, yang memang penting baik muslim dan non-muslim.

Jika pendekatan ini diambil, umat Islam tidak harus memilih antara negara Islam yang menerapkan syariah atau negara sekular yang yang betul-betul menolak syariah.[]


No comments: