Oleh M. Guntur Romli
Aksi-aksi teror di Indonesia, bukanlah sekadar produk lokal, namun berkaitan dengan jaringan terorisme global. Hal ini terbukti pada kemampuan mereka menggunakan peralatan militer, merakit bom, menentukan target, meloloskan diri, dan melakukan perlawanan. Namun yang sering dilupakan adalah peran organisasi teror lokal. Bak lahan pembibitan, organisasi lokal itu ranah yang menumbuhkan mereka, yang nantinya bisa berkembang menjadi jaringan global. Contohnya: jaringan terorisme global yang menyerang kawasan-kawasan wisata di Mesir sejak tahun 2000, tidak bisa dilepaskan dari organisasi teror lokal sebelumnya, seperti Jamaah Takfir wal Hijrah, Tandzim Jihad, dan Jamaah Islamiyah, yang beroperasi di tingkat lokal Mesir dari tahun 70-an hingga 80-an.
Tentu saja yang melakukan aksi-aksi teror sejak tahun 2000, bukanlah generasi tahun 70 dan 80, mereka sudah banyak yang mati, yang hidup pun ramai-ramai bertobat. Namun generasi sebelumnya telah mewariskan impian, dendam-kesumat, dan doktrin-doktrin kekerasan pada generasi selanjutnya. Celakanya hubungan lintas generasi itu tak bisa dipangkas secara mudah. Nama organisasi bisa berganti-ganti setiap saat, seperti nama-nama yang dipakai oleh para teroris saat ini, tetapi iktikad dan semangat tak bisa dengan mudah lenyap.
Di Indonesia, organisasi seperti Darul Islam dan Negara Islam Indonesia (DI/NII) telah mewariskan keturunan baik ideologis ataupun biologis terhadap pelaku-pelaku teror saat ini. Secara resmi, organisasi DI/NII sudah lama tamat. Namun para pelaku teror di Indonesia dari tahun 2000 tidak bisa dilepaskan dari lingkaran organisasi ini, misalnya Fathurrahman Ghozi dan saudaranya Jabir alias Gempur adalah putra dari M. Zainuri, tokoh Komando Jihad asal Jawa Timur yang ditangkap pada zaman Ali Moertopo. Abu Durjana alias Aenul Bahri adalah murid tokoh DI, Ustadz Dadang Hafidz. Pun Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir yang berasal dari lingkaran DI/NII. Lingkaran yang dimaksud adalah organisasi: keluarga besar DI/NII, dan ideologi: mendirikan sebuah negara Islam atau menegakkan syariat Islam di Indonesia.
Hirarki struktural tidak bisa dijadikan patokan, karena DI/NII telah mengalami proses �pergantian kulit�, atau tercerai-berai akibat �konflik saudara� yang melahirkan kelompok-kelompok sempalan yang masing-masing berdikari. Misalnya: Komando Jihad, Majelis Khilafatul Muslimin, Lembaga Kerasulan, dan nama-nama lain, hingga Jamaah Islamiyah (JI) yang dibangun oleh Abdullah Sungkar setelah menyatakan keluar dari NII dan mengubah Metode Perjuangan NII dengan Metode Perjuangan Jamaah Islamiyah Mesir pimpinan Syekh Umar Abdurrahman. JI secara organisasi sudah talak tiga dari DI, namun pengaruh ideologi tak bisa dipungkiri.
Saya tak ingin menggunakan DI/NII ini sebagai stigmatisasi, ataupun menafikan banyaknya mantan tokoh dan keturunan organisasi ini yang tidak ada kaitannya lagi dengan aksi-aksi teror saat ini. Saya hanya ingin menekankan satu hal: generasi terorisme lokal sangat berpotensi menjelma terorisme global. Organisasi lokal adalah cikal-bakal dari organisasi global. Oleh karena itu, warisan ideologi dan dendam kesumat dari generasi itu harus dipotong secara tuntas, sembari melakukan antisipasi terhadap munculnya organisasi-organisasi teror lokal baru di Indonesia. Karena terbawa arus melawan terorisme global, sebagian masyarakat dan aparat pemerintah justru lengah terhadap kemunculan organisasi-organisasi teror lokal baru yang dengan leluasa melakukan kekerasan, pengrusakan, dan penyerangan terhadap kelompok-kelompok dalam masyarakat yang dianggap berbeda pandangan.
Agar cerita DI/NII dan segala turunannya itu tak terulang lagi, dan agar organisasi-organisasi lokal tidak bisa dimanfaatkan oleh jaringan global yang memungkinkan terjadinya aksi-aksi kekerasan seperti yang kita saksikan saat ini, maka diperlukan ketegasan aparat pemerintah untuk menindak kelompok-kelompok teror lokal baru itu. [Mohamad Guntur Romli].
No comments:
Post a Comment