Sunday, July 8, 2007

Ngatawi Al-Zastrow:

Nabi Muhammad Paham Sosiologi Umat

02/07/2007

Kita kadang lupa bahwa agama ini diturunkan kepada umat manusia. Kadang kita terbalik memahaminya: manusia yang disuruh mengabdi untuk agama. Di sinilah pentingnya memahami sosiologi agama; supaya kita bisa memilah-milah mana yang merupakan dogma dan doktrin agama dan mana yang merupakan konteks dari konstruksi sosial umat beragama.

Perspektif sosiologis sangat perlu untuk memahami masyarakat Indonesia yang masih menganggap pentingnya peran dan kedudukan agama. Namun ironisnya, pendekatan ini masih belum banyak berkembang di kalangan agamawan. Apa sebab dan akibatnya? Berikut perbincangan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Ngatawi al-Azstrow, peneliti di Institute for Indonesian Sociology Universitas Indonesia, di Kantar Berita Radio 68 H Jakarta, 15 Juni lalu.

Bung Zastrow, bagaimana Anda melihat perkembangan sosiologi agama di Indonesia?

Saya melihat belum adanya perkembangan yang berarti. Itu karena dua hal utama. Pertama, orang masih menyamakan antara fakta atau fenomena sosial dengan ajaran normatif agama. Karena itu, ketika melakukan kritik atas suatu fenomena sosial-keagamaan, kita dianggap melecehkan dan mendekonstruksi suatu agama. Padahal, dalam sosiologi agama, kita hanya melihat kelompok agama sebagai fenomena sosial. Nah, ketika kelompok agama itu melakukan suatu tindakan, lalu tindakan itu kita kritisi, kita sudah dianggap melecehkan agama. Ini adalah salah satu hambatan.

Kedua, ketika melakukan kritik atas suatu pemikiran sosial yang berlabelkan agama, kita juga dianggap merusak agama. Contohnya, ketika mengkritik ketidakadilan gender dalam komunitas suatu agama. Padahal, isu gender merupakan fenomena sosial yang terkait atau tidak terkait dengan persoalan agama. Intinya, masyarakat kita belum bisa memilah mana dogma agama dan mana fakta sosial. Semuanya diagamakan. Inilah yang menjadi kendala dalam mengembangkan kajian sosiologi agama.

Apa pentingnya sosiologi agama bagi masyarakat Indonesia?

Saya belum tahu persis. Menurut saya, ini sesuatu yang sangat penting. Karena ada banyak perkembangan sosial-keagamaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Semua itu butuh kajian yang lebih sosiologis. Misalnya ketika saya melakukan penelitian di daerah Gamping, Jogjakarta. Konon, di sana sedang gencar-gencarnya kampanye ijo royo-royo oleh ICMI. Semua orang berasumsi bahwa gejala ini adalah tanda kebangkitan Islam. Lalu saya bertanya kepada salah seorang responden saya: apa kesan Anda terhadap gejala ini?

Dia bilang, saya tambah bingung, mas! ”Kenapa,” tanya saya. “Dulu, sebelum ada kebangkitan-kebangkitan ini, kita bebas-bebas saja. Kalau ada kematian, ya, kita melayat. Ada lahiran atau ngantenan, ya kita datang. Tapi setelah ada istilah kebangkitan agama ini, kita malah dipisah-pisahkan.” Jadi, mulai ada pemilah-milahan dan pengotak-ngotakan sosial dengan label-label agama. Nah, ungkapan itu saya lihat sebagai hal yang menarik.

Dari sini saya menganggap pentingnya menyadarkan orang-orang bahwa ada hal-hal yang sifatnya sosiologis dari ritual agama sekalipun. Soal datang ke kematian, kawinan atau lahiran, itu kan soal interaksi sosial biasa. Kenapa harus diagama-agamakan? Padahal, agama juga mempersilahkan orang untuk ber-muasyarah (bergaul) dengan baik, tanpa mempedulikan dengan siapa. Dengan adanya perbedaan kelompok dan suku ini, Islam misalnya justru menganjurkan agar kita bergaul dengan baik dan berupaya untuk saling mengenal. Dari sinilah tampak pentingnya upaya membedakan antara dogma agama dan persoalan sosial.

Kadang terjadi gap antara pergaulan sosial yang wajar antarkomunitas agama dengan doktrin-doktrin resmi sebuah agama. Misalnya soal ucapan selamat hari besar untuk umat beragama lain. Bagaimana sosiologi agama menanggulangi ketegangan semacam itu?

Lembaga agama resmi seperti MUI mestinya juga memahami agama dari konteks sosiologisnya. Jangan semua hal didogmakan. Secara sosiologis, mana ada sih orang Islam yang gara-gara mengucap Natal, misalnya, lalu jadi Kristen atau murtad. Di lingkungan NU, soal seperti ini pun kadang jadi repot. Itu karena kurang memperhatikan perspektif sosiologis dalam memahami masyarakat. Perspektifnya selalu normatif, dogmatis, dan tekstualis. Yang mengaku tekstualis ini pun terkadang tidak komplit menelaah teks-teks agama.

Misalnya, soal mengucapkan selamat natal itu. Dalam Islam, nabi Isa termasuk salah satu rasul yang harus kita hormati. Dan di dalam Alquran pun ada teks yang mengunkapkan selamat atas kelahiran, kematian, dan kebangkitan kembali nabi Isa. Kalau Anda konsisten mengikuti Alquran, itu kan boleh-boleh saja. Toh kita mengucapkan itu sekadar untuk mengikuti tuntutan sosial agar kita tetap baik dan srawung dengan sesama. Kan tidak ada salahnya. Faktanya, kita tidak menjadi Kristen atau kafir hanya dengan mengucap selamat natal.

Ada fatwa lain yang Anda anggap tidak peka terhadap sosiologi masyarakat?

Contoh lain adalah fatwa pluralisme itu haram. Dalam soal ini, saya pernah mengeceknya langsung ke KH Ma’ruf Amin. “Pak kiai, mengapa Anda memfatwakan pluralisme itu haram?” Dia jawab: “Lho, pluralisme itu kan mengatakan bahwa semua agama sama. Lalu bagaimana dengan Islam?!” ”Kalau pemahaman Anda tentang pluralisme seperti itu, ya benar saja kalau itu haram. Tapi, pemahaman pluralisme itu bukan seperti itu, Pak Kiai,” kata saya.

Secara sosiologis, pluralisme itu berarti membiarkan mawar, melati, kenanga, agar bisa hidup dan berkembang sebanyak-banyaknya dalam suatu taman. Agar keharumannya bisa dinikmati orang banyak. Bukan mengubah mawar menjadi melati atau melati jadi kenanga. Kalau itu yang dimaksud, namanya sudah menyalahi kodrat. Begitulah kata saya.

Nah, menurut saya, MUI memberi fatwa berdasarkan asumsi dan imajinasi sendiri yang salah. Jadi tashawur -nya sudah tidak benar. Tapi apa jawaban KH Ma’ruf Amin? “Ya, sudahlah. Nanti kan ada orang seperti sampeyan yang menjelaskan!” Rupanya, dia tidak berpikir bahwa fatwa itu punya dampak sosiologis yang luar biasa. Kadang saya berpikir, tampaknya ada kesenjangan antara fakta sosial di masyarakat yang ingin menjadikan agama sebagai faktor harmoni dengan pandangan elit agama yang justru ingin menjadikan agama sebagai faktor pengkotakan. Sepertinya itu dua paradigma yang berbeda.

Jadi, sosiologi agama juga membuat kita peka terhadap dampak doktrin agama terhadap pola hubungan sosial di masyarakat, ya?

Ya. Bukan hanya itu, tapi juga membuat kita bisa mendudukkan agama pas pada konteksnya. Kita kadang lupa bahwa agama ini diturunkan kepada umat manusia. Kadang kita terbalik memahaminya: manusia yang disuruh mengabdi untuk agama. Di sinilah pentingnya memahami sosiologi agama; supaya kita bisa memilah-milah mana yang merupakan dogma dan doktrin agama dan mana yang merupakan konteks dari konstruksi sosial umat beragama.

Mungkin dari kalangan agamawan ada keberatan untuk menggunakan pendekatan sosiologis dalam memahami kehidupan masyarakat. Sosiologi kan diharapkan bebas-nilai dan empu-empunya pun terdiri dari orang Barat seperti Weber, Marx, dan Durkheim. Komentar Anda?

Anggapan seperti ini harus kita luruskan. Yang dimaksud pendekatan sosiologis itu bukan berarti mempelajari agama dari perspektif sosiologi semata. Sosiologi agama sebetulnya mengajak kita mempelajari sosiologi komunitas masyarakat beragama; bagaimana mereka mengonstruksi agama, atau sebaliknya, dan bagaimana agama mengonstruksi masyarakat. Dan pendekatan sosiologi pun hanya sekedar alat. Kalau fungsinya sebagai alat, apa saja bisa dipakai. Kalau ada anggapan bahwa dengan sosiologi agama akan rusak, itu menurut saya anggapan orang-orang yang cengeng saja.

Kini ada beberapa buku yang melakukan studi agama dengan pendekatan sosiologis. Misalnya buku Islam Sasak, Islam Pesisir, Islam Wetu Telu, dan lain sebagainya. Yang membuat agamawan dogmatis keberatan adalah tidak adanya penghakiman teologis terhadap aliran-aliran tersebut. Tanggapan Anda?

Ini seperti yang saya bilang tadi: karena kecengengan kaum agamawan sendiri. Mereka khawatir dogma agama akan rusak. Lho, memangnya kenapa sih? Agama ini kan rahmatan lil `alamin. Soal apakah itu benar atau salah, ya, serahkan saja pada Tuhan nantinya. Yang berhak menghakimi benar-salah itu kan hanya Allah. Kalau urusan muasyarah dalam soal-soal duniawi, kan sudah ada sabda Nabi: “antum a`lamu bi umuri dunyakum” (kalian lebih tahu urusan dunia kalian).

Sederhananya, permisalan agama itu seperti kelapa. Kelapa hanya bisa dimanfaatkan secara optimal tergantung pada kreativitas orang. Agama pun juga begitu. Kalau agama dipahami secara global, ya tidak ada manfaatnya. Seperti buah kelapa, kalau dipahami gelondongan, ya tidak ada manfaatnya. Fungsi buah kelapa itu tergantung kreativitas kita. Kalau butuhnya mau bikin sapu, ya cukup lidinya saja. Kalau pengen menghilangkan haus, ya ambil air degan-nya.

Apa fungsi agama secara sosiologis menurut Anda?

Ya, mestinya agama itu ngemong rakyatnya. Pengertian ngemong di situ harus disesuaikan dengan al-mashlahah al-`âmmah (kemaslahatan umum). Kadang-kadang masyarakat antaragama rukun dan baik-baik saja. Tapi kemudian, atas nama rakyat tertentu, agama justru menjadi palu godam ideologi. Dulu jagong bayen di rumah tetangga Kristen itu dianggap hal lumrah saja oleh orang Islam. Tapi sekarang tiba-tiba dianggap tabu.

Kebangkitan macam apa yang diinginkan dari agama ini?

Saya mengamati adanya perbedaan perkembangan sosial-keagamaan di dalam masyarakat Islam. Dulu, para ulama kita pergi ke Timur Tengah. Lalu setelah pulang, mereka bukan mengislamkan Indonesia, tapi ingin mengindonesiakan Islam. Karena itu, seluruh perangkat kultural yang sudah kita punya tidak mereka rusak. Instrumen itu malah mereka jadikan alat untuk memperkenalkan ajaran-ajaran Islam yang damai. Ketika ada tuntutan agar dasar negara ini dilandaskan pada Islam dan menggunakan syariat Islam, mereka justru menolak. Pernyataan Mbah Hasyim Asyari waktu itu sudah sangat jelas: Anda mau minyak babi cap unta atau minyak unta cap babi?

Apakah soal spiritualitas suatu masyarakat juga masuk ruang lingkup kajian sosiologi agama?

Saya pikir, ya. Sebab, spiritualitas seseorang itu ikut berpengaruh dalam membangun pola hubungan sosial di dalam masyarakat. Spiritualitas orang yang fundamentalis dan formalis dalam beragama, mungkin berbeda hasilnya di masyarakat dengan spiritualitas orang-orang kayak kita ini. Jadi, yang dikaji dalam sosiologi agama adalah: bagaimana orang membentuk suatu konstruksi sosial di dalam masyarakatnya, dan bagaimana interaksi antara pemahaman keagamaannya dengan realitas yang ada.

Bagi saya, Nabi Muhammad itu adalah tokoh yang paling sosiologis dalam memahami masyarakatnya. Ketika beliau berdakwah untuk kebajiakan tapi justru dilempari, malaikat Jibril malah menawarkan diri untuk membalas orang-orang yang melemparinya. Tapi apa kata nabi? “Biarkan saja, karena mereka belum mengerti.” Artinya apa? Itu berarti Nabi memahami bahwa konteks sosial masyarakat ketika itu, ya seperti itu. Jangan dipaksakan. Padahal kalau Nabi mau membalas, masyarakat saat itu bisa habis. Tapi Nabi memahami perkembangan masyarakat baru sebatas itu. Pelan-pelan mereka harus diajari pelan-pelan.

Mengapa sesuatu yang tertulis dalam kitab suci tidak dianggap hal yang paling menentukan perkembangan masyarakat dalam kajian sosiologi agama?

Karena tidak semua orang punya kesempatan untuk mempelajari kitab-kitab itu. Dan lebih dari itu, ketika teks-teks suci itu dibaca dan dipelajari, ia juga masih tergantung pada pemahaman dan imajinasi seseorang terhadap teks. Bisa saja orang menganjurkan suatu masyarakat untuk kembali ke kitab suci. Oke, kita setuju, dan memang itulah pegangan kita. Tapi dalam suatu teks suci, terutama dalam Alquran, juga diterangkan ayat-ayat yang bersifat kauniyyah.

Misalnya anjuran untuk merenungkan pergantian siang dan malam, serta penciptaan langit dan bumi yang merupakan tanda kekuasaan Allah. Jadi, selain ada ayat-ayat yang sifatnya qauliyyah (terucap dalam kata, Red) dalam hidup masyarakat, ada juga ayat-ayat yang sifatnya kauniyyah (terhampar di alam, Red). Dan Alquran menganjurkan agar kita senantiasa mendialogkan antara yang qauliyyah dengan kauniyyah itu.

Kalau kita hanya membaca yang tekstual saja dari kitab suci, bagaimana kita bisa menerjemahkan ayat-ayat kauniyyah supaya tepat dan sesuai dengan kenyataan sosiologis dalam suatu masyarakat?! Wong Alquran sendiri mengajarkan kita untuk memperhatikan ayat-ayat kauniyyah! Jadi, lingkup sosiologi itu masuk juga dalam ayat-ayat kauniyyah ini.

Menurut Anda, kapan agama menjadi faktor harmoni dan kapan ia menjadi faktor disharmoni?

Kalau dipahami secara substansial, agama bisa menjadi faktor harmoni antar sesama masyarakat yang berlainan agama sekalipun. Usulan untuk membaca Alquran secara komplit bagi orang Islam itu benar. Misalnya, ayat “Innaddîna `indalLâhil Islâm”. Itu harus ditanamkan betul bagi umat Islam. Tapi ingat, Allah juga menciptakan agama lain seperti kekristenan. Itu kan juga ciptaan Allah. Apakah kalau kita bergaul akrab dengan orang Kristen itu dianggap ikut melecehkan Islam? Ya tidak, dong!

Jadi, setiap ayat itu pasti punya konteks yang disebut asbâbun nuzûl (sebab-sebab turunnya). Dan inilah yang perlu dijadikan referensi untuk menafsirkan ayat-ayat tersebut. Sebetulnya, perlunya kita belajar sosiologi agama, ya, di sini ini: supaya kita tahu konteksnya ayat. Ketika ayat mengatakan bahwa kita ini umat yang satu atau ummatan wâhidah, maka kita perlu bertanya: yang dimaksud satu itu apa? Ketika ayat ”bagiku agamaku dan bagimu agamamu” diterapkan di dalam masyarakat, kita akan tahu hasilnya; apaklah agama dijadikan faktor harmoni atau justru disharmoni.

Bagaimana sosiologi agama memahami agama yang dianggap sempalan?

Pertama, ahli sosiologi agama itu memperlakukan semua agama sebagai obyek kajian yang setara. Dia tidak memvonis mana yang benar dan mana yang salah. Tapi dia melihat fakta sosial tentang bagaimana interaksi antara agama, baik sebagai dogma maupun keyakinan suatu masyarakat yang mempercayainya. Nah, dalam soal ini, tanyalah ahlinya! Di Islam juga sudah banyak ahlinya, seperti Ibnu Batutah, Ibn Khaldun, dan lain-lain. Agama mereka pahami sebagai sesuatu yang tidak bisa hidup tanpa adanya interaksi dengan manusia. Sebab, agama itu kan suatu keyakinan yang abstrak. Dia hidup kalau ada dalam realitas sosialnya. Inilah wilayah yang dipelajari oleh sosiologi agama. [Novriantoni]

No comments: