Sunday, July 1, 2007


Islam dan Polugri

Oleh :

Imron Cotan
Sekretaris Jenderal Departemen Luar Negeri

Akhir-akhir ini umat Islam Indonesia semakin artikulatif dalam mengekspresikan aspirasinya terhadap isu-isu internasional, khususnya dalam hal yang punya kedekatan seperti masalah Irak, Palestina, nuklir Iran, juga isu kedatangan delegasi Israel dalam konferensi IPU di Bali. Menarik untuk disimak, perkembangan dan pengaruh Islam di Indonesia dari waktu ke waktu.

Ditilik dari asalnya, para ahli menduga kuat bahwa Islam di Indonesia bersumber dari berbagai wilayah, yakni Arab Saudi, Mesir, Bangladesh, dan ada juga yang meyakini Islam diperkenalkan oleh para pedagang Gujarat, di Barat Laut India dan Daka di Selatan India. Dengan demikian Islam di Indonesia memang telah memiliki sifat majemuk sejak awalnya dan bahkan kemudian mampu membaur dengan budaya lokal.

Awalnya, penyebaran Islam dilakukan melalui para raja dan pendukungnya di mana istana menjadi pusat untuk membangun pengetahuan tentang Islam kepada masyarakat. Oleh karena itu, raja dianggap sebagai the embodiment of people and God. Proses inilah yang menyebabkan Islam kini menjadi agama mayoritas di Indonesia.

Selanjutnya, persentuhan Islam dengan budaya yang ada di Nusantara membuat keduanya saling mempengaruhi. Di masa Sultan Agung (1613-1645) misalnya dibuat kalender Jawa yang membuktikan bahwa Islam sanggup berasimilasi dengan kebudayaan setempat dan sebaliknya. Masa ini adalah masa dimulainya proses sinkretisme antara budaya Jawa dengan Islam.

Pelaksanaan Islam yang dipengaruhi oleh budaya tradisional akhirnya mulai ditentang oleh gerakan pemurnian atau modernis Islam yang datang dari Mesir pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Kebangkitan golongan ini pada akhirnya menyebabkan Islam di Indonesia berkembang menjadi dua golongan besar, yaitu Islam tradisionalis dan Islam modernis, yang secara simplistik direpresentasikan oleh NU dan Muhammadiyah.

Sementara itu, partisipasi Islam dalam politik Indonesia mulai tampak sejak masa pendudukan Jepang. Pembentukan Masyumi pada Oktober 1943 menyatukan tokoh-tokoh NU dan Muhammadiyah dalam satu kesatuan pandangan dalam perjuangan. Sejarah Indonesia juga mencatat pemaksaan kehendak oleh kelompok-kelompok Islam yang melakukan pemberontakan bersenjata untuk memperjuangkan pendirian negara Islam. Pemerintah RI mampu meredam pemberontakan tersebut.

Meski begitu, perdebatan mengenai dasar negara terus mencuat setiap kali Indonesia berniat untuk membahas kembali undang-undang dasarnya. Hasil-hasil amandemen UUD mengakibatkan perubahan-perubahan dalam ketatanegaraan yang juga mengakibatkan perubahan pada komitmen kebangsaan. Dari perspektif ini patut diperhatikan perkembangan di beberapa daerah yang mulai memberlakukan syariat Islam.

Kurang terasa
Dalam pelaksanaan politik luar negeri (polugri) Indonesia, pengaruh Islam dapat dikatakan tidak terlalu terasa pada masa pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Pada masa 1945-1949, atau yang lazim disebut sebagai masa perjuangan kemerdekaan, memang terdapat tokoh Islam yang menjadi menteri luar negeri, yaitu Agus Salim yang berasal dari Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Tujuan polugri saat itu adalah meraih dukungan sebesar-besarnya bagi perjuangan kemerdekaan. Dalam hal ini menarik untuk dikaji bahwa negara-negara di Timur Tengah adalah pihak yang pertama kali memberikan pengakuan kepada kemerdekaan Indonesia yang sudah dapat diduga didasarkan pada solidaritas Islam dan semangat antikolonialisme.

Pada masa demokrasi parlementer (1950-1959), terdapat beberapa perdana menteri dan menteri luar negeri yang berasal dari Partai Masyumi, tetapi mereka juga tidak membawa pengaruh Islam dalam polugri Indonesia. Perdana Menteri Natsir dan Sukiman justru menjalankan polugri yang pro-Barat. Setelah PNI berkuasa dan terutama setelah dilaksanakannya Demokrasi Terpimpin (1959-1966), tema yang diangkat dalam pelaksanaan polugri saat itu adalah antikolonialisme dan tidak mengangkat solidaritas Islam.

Setelah orde baru berkuasa, polugri diarahkan sebagai alat pembangunan dan sama sekali tidak memberi ruang kepada pihak oposisi untuk berpartisipasi. Satu-satunya hal yang dapat dikatakan memberikan warna Islam pada polugri Indonesia sampai akhir tahun 1990-an adalah saat Indonesia menjadi tuan rumah KTM OKI pada tahun 1993.

Pada akhir kekuasaan orde baru, peranan Islam dalam politik dalam negeri Indonesia mulai menggeliat. Hal ini juga mempengaruhi pelaksanaan polugri. Sejak saat itu Pemerintah Indonesia mulai menjalin hubungan yang lebih erat dengan negara-negara Islam, yang tercermin dari aktifnya Indonesia dalam pembentukan KTT D-8.

Pengaruh Islam pada pelaksanaan polugri Indonesia mulai menguat setelah masa refomasi. Setelah berakhirnya pemerintahan Soeharto, pengaruh Islam yang tadinya terpinggirkan meningkat pada masa kepresidenan Habibie. Dengan asumsi bahwa politik luar negeri merupakan perpanjangan politik dalam negeri, sangatlah wajar jika pelaksanaan politik luar negeri diwarnai pula oleh aspirasi kalangan umat Islam.

Terjadinya peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat mendorong munculnya keinginan kuat dari kalangan Islam Indonesia untuk menampilkan Islam yang teduh (rahmatan lil 'alamin) yang dengan sendirinya memperkuat pengaruh Islam dalam pelaksanaan polugri Indonesia. Di bawah rubrik ‘ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial’ seperti termaktub pada pembukaan UUD 1945, memang menjadi kewajiban konstitusi bangsa Indonesia untuk turut menghindarkan perbenturan antara Islam dan Barat. Sejak saat itu Indonesia memposisikan dirinya sebagai negara berpenduduk Islam terbesar di dunia dan beraliran Islam moderat. Kebijakan ini ditujukan untuk mempengaruhi pandangan yang keliru tentang Islam.

Di saat yang bersamaan, kemajuan demokrasi di Indonesia telah pula memberikan ruang gerak yang cukup bagi berbagai kelompok Islam di Indonesia, termasuk yang memiliki kecenderungan radikal. Kondisi ini yang menjelaskan mengapa tidak terjadi lagi pemberontakan-pemberontakan bersenjata seperti di masa-masa lalu.

Kadang dimanfaatkan
Harus diakui, derasnya arus globalisasi mendorong terciptanya linkages antara kelompok Islam di berbagai belahan dunia. Kondisi ini kadangkala dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk mendorong radikalisme Islam di Indonesia yang kemudian menggunakan berbagai konflik di luar negeri, seperti konflik Palestina, Afghanistan, Irak, Iran, Thailand Selatan, dan Philipina Selatan, sebagai alasan melakukan berbagai tindak kekerasan. Perkembangan ini merupakan tantangan yang menjadi prioritas pemerintah Indonesia dalam bidang politik dan keamanan saat ini.

Untuk memberikan pengertian bahwa Islam is compatible with democracy, Departemen Luar Negeri berusaha untuk merangkul ormas-ormas Islam melalui tokoh-tokohnya yang ditujukan untuk memperkuat dialog antaragama di dunia dan memberdayakan kekuatan Islam moderat di dalam negeri. Inilah tema utama yang telah, sedang, dan akan terus diupayakan oleh Departemen Luar Negeri. Hubungan antaragama ini akan sangat berpengaruh dalam pergaulan internasional di masa yang akan datang.

Ikhtisar
- Umat Islam semakin artikulatif dalam menanggapi isu-isu dunia yang punya kedekatan dengan Islam.
- Secara gradual memang terlihat peran Islam dalam politik luar negeri (polugri) Indonesia terus menguat.
- Di dalam negeri, pemerintah perlu berupaya kuat untuk meredam berkembangnya radikalisme yang memanfaatkan nama Islam.
- Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak, Indonesia juga menempatkan diri sebagai pihak yang berusaha mencegah terjadinya benturan peradaban Islam-Barat.

No comments: