Oleh : Azyumardi Azra
Mengikuti Third Asia-Pacific Interfaith Dialogue di Waitangi, Selandia Baru, pada 29-31 Mei lalu, saya mendapatkan beragam kesan. Pertama, Dialog Antaragama diselenggarakan di Waitangi, desa di mana perwakilan pendatang kulit putih pada 1840 menandatangani 'Perjanjian Waitangi' dengan suku Maori yang bermukim jauh lebih awal daripada para pendatang dari Eropa, khususnya dari Inggris. Karena itu, 'Semangat Waitangi' dapat memberi dorongan tambahan bagi umat beragama yang berbeda untuk hidup lebih damai, harmonis, saling menghargai; dan sebaliknya menjauhkan diri dari konflik atau bahkan kekerasan.
Kedua, dialog antaragama Asia Pasifik ketiga ini kian mempertegas peran dan keterlibatan berbagai negara dalam penciptaan dan pengelolaan kehidupan keagamaan lebih baik. Dialog Antaragama Waitangi disponsori Pemerintah Selandia Baru beserta Indonesia, Filipina, dan Australia. Bagi negara dan Pemerintah Indonesia keterlibatan dalam dialog antaragama jelas bukan hal baru, karena sejak paruh kedua 1960-an Pemerintah Indonesia menjadi pemrakarsa berbagai dialog antaragama dalam berbagai tingkatan. Karena keterlibatan negara Indonesia yang begitu intens, sering muncul kritik, bahwa dialog antaragama terjadi lebih karena kekuasaan menghendaki, bukan secara murni muncul dari berbagai kelompok umat beragama yang berbeda.
Tetapi, dalam kasus Selandia Baru dan Australia, keterlibatan negara dalam dialog antaragama jelas merupakan gejala baru. Kedua negara yang pada dasarnya sekuler; dan karena itu, berusaha tidak terlibat dalam urusan-urusan umat beragama. Bagi negara Selandia Baru dan Australia, urusan dan hubungan antara umat beragama yang berbeda adalah urusan masyarakat sendiri, di mana negara tidak perlu campur tangan.
Dialog antaragama kelihatan juga merupakan gejala baru bagi sebagian umat beragama di kedua negara. Karena itu, terdapat kalangan umat beragama di Selandia Baru, misalnya, yang tidak siap menerima dialog antaragama di negara mereka. Ini terlihat dari adanya demonstrasi sekitar dua ribu orang di Jalan Raya Waitangi, yang mengatasnamakan sebagai wakil umat Kristen Selandia Baru. Mereka memprotes Dialog Antaragama Waitangi, yang menurut mereka tidak sepatutnya diselenggarakan di Selandia Baru, yang merupakan sebuah "Christian country", yang tidak menginginkan masuknya 'agama impor' ke negara mereka.
Adanya demonstrasi dengan pandangan seperti itu menunjukkan, kelompok eksklusif terdapat dalam agama manapun. Eksistensi kelompok ini jelas menunjukkan, masih banyak yang harus dilakukan umat beragama manapun untuk lebih bersikap toleran dan inklusif terhadap para pemeluk agama lainnya; apalagi umat-umat beragama yang berbeda itu justru ingin menciptakan hubungan lebih baik dan harmonis di antara mereka. Lagi pula, dialog antaragama bukan bertujuan menghilangkan perbedaan pokok dan mendasar --khususnya dalam bidang teologi dan ibadah-- di antara berbagai agama yang berbeda; tujuannya pada dasarnya agar para umat beragama yang berbeda dapat hidup berdampingan secara damai, saling menghargai.
Lebih jauh, dialog antaragama menjadi lebih urgen bagi negara-negara yang penduduknya semakin plural, baik dari segi etnis maupun keagamaan. Pluralitas seperti ini, jelas terus meningkat di negara seperti Selandia Baru, Australia, dan negara di Amerika Utara dan Eropa. Hal ini, tidak bisa lain karena meningkatnya migrasi dari negara-negara Asia dan Afrika ke wilayah-wilayah negara Barat. Karena itu, masyararat lokal di negara-negara tersebut memang harus melakukan penyesuaian sosial dan psikologis agar dapat menciptakan hubungan lebih baik dengan para pendatang dan pemukim yang secara etnis, kultural, dan keagamaan sering berbeda dengan mereka. Di sinilah peran negara kembali menjadi instrumental.
Negara-negara seperti Selandia Baru, atau Australia dan negara-negara Amerika Utara dan Eropa (Barat) sepatutnya mengambil kebijakan yang kondusif bagi penciptaan hubungan yang lebih harmonis dan damai --bukan yang didasari prasangka, apalagi kebencian-- di antara masyarakat lokal dengan kaum migran. Kebijakan-kebijakan dalam bentuk undang-undang atau ketentuan-ketentuan lain, yang semata-mata berdasarkan pendekatan keamanan dalam negeri, yang cenderung menjadikan kelompok migran tertentu sebagai sasaran kecurigaan jelas tidak menolong untuk penciptaan dan penguatan hubungan lebih baik dan damai di antara masyarakat yang secara etnis, sosial, kultural dan keagamaan berbeda.
Dengan begitu, dialog-dialog antaragama yang melibatkan negara memerlukan tindak lanjut daripada negara itu sendiri. Dialog antaragama yang terus berlangsung di antara berbagai umat beragama yang berbeda tidak dapat mencapai hasil yang diinginkan, selama negara tidak memfasilitasi terciptanya perangkat sosial yang menunjang kehidupan dan hubungan antaragama yang lebih harmonis dan sehat. Jika ini bisa diwujudkan negara, barulah hasil lebih maksimal dapat dicapai dari dialog-dialog antaragama yang kian sering diselenggarakan berbagai negara.
No comments:
Post a Comment