Rubrik Hikmah di harian ini Senin lalu menampilkan tulisan Iffatul Muzarkasyah yang berjudul Cinta dan Persatuan, dan dibuka dengan teks hadis Bukhari Muslim: Tiada beriman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Hadis ini sahih dan rasanya setiap orang Islam mampu merasakan serta meyakini kemuliaan nilai dan ajaran yang dikandungnya. Apalagi Kanjeng Nabi bukan hanya bersabda, melainkan juga mengamalkannya. Dan, pada awal turunnya Islam, cinta di antara sesama Muslim adalah kekuatan utama penyebaran agama ini. Pada masa itu orang luar sangat tertarik kepada Islam karena melihat hubungan persaudaraan yang mesra, penuh kasih sayang, di antara sesama pengikut Kanjeng Nabi.
Namun, sepeninggal Kanjeng Nabi, cinta dan persatuan di tengah masyarakat Islam mulai luntur, bahkan parah keadaannya. Hubungan antar-Muslim kurang membuktikan adanya jiwa kasih sayang. Cukup banyak bukti. Misal, rendahnya angka pembayar zakat, sedekah, infak, dsb; sangat tingginya korupsi, tingginya angka kekerasan. Bahkan perilaku sederhana seperti sikap ramah, suka menolong, berprasangka baik, dan menjaga perasaan sesama Muslim sudah menjadi barang mahal.
Barangkali situasi demikian membuktikan kebenaran kata orang bahwa kita hanya beragama tapi tidak beriman. Agama telah diperkerdil menjadi lembaga-lembaga, ormas-ormas, jamaah-jamaah. Menjadi kumpulan ritus. Serbaformal tapi kering jiwa yakni iman itu.
Ah, mungkin ini ulah setan yang telah sukses mencuri iman kita. Orang dibuat lupa akan teks, ajaran, dan jiwa hadis yang hebat tadi. Untuk membuat orang Islam melupakannya maka setan menumbuhkan semangat ananiyah, egoisme, nafsi-nafsi atau apalah namanya. Setan juga berhasil menumbuhkan sikap curiga, buruk sangka, bahkan dengki di antara sesama Muslim. Wah!
Apakah hal itu akan dibiarkan berkembang sehingga umat Islam tetap miskin rasa kasih sayang, sementara tugas membuktikan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin tetap menjadi kewajiban bersama? Dan bila umat mau belajar mengamalkan perintah berkasih-sayang, dari mana mulainya?
Seorang teman memberi jawaban atas pertanyaan ini. Mau mengembangkan amal kasih sayang terhadap sesama, istiqamahlah dengan syahadat.
''Syahadat adalah kesaksian yang menyadarkan dengan tuntas bahwa tidak ada ilah selain Allah. Sasaran yang dituju oleh kesaksian ini pertama-tama adalah diri kita, sedangkan objek di luar kita adalah nomor dua.''
''Maksudmu?'' tanya saya.
''Ya, kita harus bertekad, pertama, tidak akan meng-ilah-kan diri kita. Kita sering lupa, lebih banyak potensi berhala berada dalam diri kita daripada di luarnya.''
''Maksud kamu?'' kejar saya.
''Ya, Peng-ilah-an atau pemberhalaan diri, sadar atau tidak sering kita lakukan. Bentuknya bisa macam-macam, tapi dasarnya adalah egosentrisme; bahwa diri dan kepentingan diri dijadikan pusat sekaligus orientasi kehidupan. Maka diri dianggap subjek paling penting. Alangkah mudah kita merasa lebih penting daripada orang lain terutama terhadap mereka yang miskin. Kamu akan merasa dirimu lebih penting, lebih berharga daripada, misalnya, seorang gelandangan yang melintas di hadapanmu. Iya?''
Saya merenung sejenak, lalu nyengir untuk mengiyakan.
''Dan kamu pasti tidak merasa bahwa itu adalah bentuk peng-ilah-an diri yang paling umum dilakukan. Padahal itu merupakan pelanggaran terhadap makna syahadat. Ingatlah, Kanjeng Nabi mau minum dari cawan yang baru dipakai oleh Bilal. Beliau juga hanya tertawa-tawa ketika dikencingi oleh anak gelandangan Badui yang dibopongnya dengan penuh kasih sayang. Mengapa? Karena Kanjeng Nabi tidak merasa lebih penting dari siapapun.''
Saya masih terbengong-bengong.
''Nah, sekarang kamu ingin bisa mencintai orang lain dengan tulus? Pertama, singkirkan rasa bahwa dirimu lebih penting dari orang lain. Atau, yakinkan dirimu bahwa orang lain, seorang gelandangan sekalipun, sama penting dengan dirimu. Dan apabila mereka kamu beri kasih sayang, Allah akan membalas kamu dengan lebih melalui mereka atau melalui pihak lain. Dan sebaliknya!
''Sayangnya setan memang telah sukses membangun egosentrisme di hati manusia, tak terkecuali kita yang sudah mengucap syahadat. Padahal egosentrisme merupakan bentuk halus peng-ilah-an diri yang menghambat pengembangan sikap dan rasa kasih sayang terhadap sesama. Dan, kata Kanjeng Nabi sendiri, tanpa kemampuan mengembangkan kasih sayang, sama dengan ketiadaan iman dalam diri kita. Dan Islam sebagai rahmatan lil alamin tidak bakal terwujud.''
Jujur, karena terkesima, saya tak sanggup menanggapi kata-kata teman ini. Namun setidaknya saya merasa mendapat ilmu baru bahwa kesaksian tauhid atau syahadat tidak cukup diucapkan tetapi harus pula diamalkan. Dan pengamalannya yang sederhana tapi sangat penting adalah membuang jauh egosentrisme yang menghambat amal kasih sayang dan persatuan. Terima kasih, teman.
No comments:
Post a Comment