Oleh : Zaim Uchrowi
Banyak titik temu antara kita, Indonesia dan Singapura. Titik temu geografis tentu saja. Begitu pula akar budaya aslinya yang sama-sama Melayu. Akar budaya yang melahirkan tokoh besar seperti Hang Tuah. Di kedua wilayah ini pula Sir Thomas Raffles, gubernur jenderal Inggris yang juga seorang ilmuwan, menorehkan jejaknya.
Kebun Raya Bogor dan Kebun Raya Singapura adalah karyanya. Kemajuan ekonomi kedua bangsa ini juga dimotori oleh etnis yang sama, yakni warga keturunan Tionghoa. Konon, negara Singapura dibangun atas inspirasi, antara lain, dari 'Republik' mini di Kalimantan yang didirikan oleh seorang keturunan Tionghoa dan menggunakan bunga anggrek sebagai simbol negara.
Melihat pertautan itu, sewajarnya jika hubungan kedua bangsa berlangsung erat. Hubungan demikian tampak pada format relasi Soeharto dan Lee Kuan Yew. Soeharto seperti seorang abang bagi Lee senior. Kedua pemimpin bangsa ini juga mengembangkan format kepemimpinan yang serupa. Yakni, sebuah format kepemimpinan yang kuat, yang menjadikan diri sebagai pusatnya. Pemimpin Singapura pun tidak ragu untuk mengenakan batik, ragam tekstil yang berakar kuat di tanah kita namun juga menjadi bagian dari seluruh kawasan ini.
Dengan latar demikian, kerja sama antara kita dan Singapura pun berjalan hangat. Singapura mampu menjadikan diri sebagai pengolah dan pengekspor berbagai komoditas kita. Itu tentu sangat membantu kita yang menghasilkan banyak komoditas namun malas dan tak mampu mengolah dan memasarkannya. Kita juga memilih untuk mengilangkan minyak di Singapura sehingga tetangga salah satu pusat kilang minyak di Asia.
Memang sebagian dari motif kebijakan itu adalah agar tercipta bisnis pengangkutan minyak ulang alik Indonesia-Singapura. Dengan begitu dapat diperoleh komisinya. Namun, pengilangan minyak di sana tentu tidak akan dilakukan jika memang Singapura tidak kompeten.
Sudah lama pula Singapura menjadi tujuan warga kita buat berkunjung. Sejak tahun 1970-an, Singapura mampu memfasilitasi harapan para ibu pejabat kita yang gemar shopping. Bukan karena murah, namun karena atribut asing yang disandangnya, dan kesiapannya menjual barang-barang bermerek 'luar'. Simbiose antara pedagang pandai dan pembeli yang 'royal' menjadi format hubungan saat itu. Kita juga membantu pembangunan Singapura dengan memasok pasir secara murah. Kalangan berada kita juga menghidupkan bisnis properti di sana dengan menjadi pembeli utama apartemennya.
Setelah Reformasi, Singapura menjadi rumah yang aman dan nyaman bagi para pemilik bank dan pebisnis lain yang meraup dana "BLBI'. Kenyamanan yang baru terusik setelah kita membahas perjanjian ekstradisi baru-baru ini. Dengan sejarah yang begitu kental, semestinya hubungan antartetangga ini dapat lebih dipererat lagi. Sekat-sekat psikologis seharusnya ditipiskan sampai hilang sama sekali. Saat ini, sekat psikologis itu masih terasa tebal.
Perlakuan Bandara Changi terhadap penumpang pesawat dari Indonesia menjadi salah satu potret tebalnya sekat psikologis tersebut. Setiap penumpang dari Indonesia digiring untuk diperiksa secara ekstraketat, bila perlu harus melepas sepatu. Travelator pun tak boleh digunakan. Penumpang dari negara lain tidak diperlakukan seperti itu.
Arti tindakan itu adalah bahwa mereka tidak percaya pada sistem pengamanan bandara-bandara kita. Padahal Srilanka, bahkan India, saat ini lebih tidak aman dibanding kita.
Semula saya menyangka para pemimpin kita akan tersinggung atas diskriminasi itu. Tapi, tampaknya tidak. Para pejabat kita tampak biasa-biasa saja dengan perlakuan khusus itu. Barangkali para pejabat percaya bahwa kita memang bangsa yang layak direndahkan. Bukan karena kita banyak yang miskin, namun karena kita begitu terbiasa korupsi, tak bersungguh-sungguh mengurus kepentingan publik, masih saja memuja budaya feodal dan fatalis, defensif terhadap kritik dan masukan, serta suka ternganga melihat kesuksesan orang lain tanpa mau mempelajarinya. Bangsa dengan karakter seperti itu memang layak untuk direndahkan. Tidak keliru bila Singapura memandang kita seperti selama ini.
Namun, Singapura juga tak bersikap seperti itu. Kita bukan sekadar tetangga, namun juga saudara. Kemajuan negeri ini akan selalu berpengaruh pada kemajuan Singapura. Jadi, masihkah akan merendahkan dan mendiskriminasi seperti selama ini?
No comments:
Post a Comment