Sunday, July 15, 2007


Sekularisme bukan Solusi

Oleh :

M. Hilaly Basya


Direktur Eksekutif Center for Moderate Muslim (CMM)

Modernisasi membuat umat Islam hidup dalam dilema, yaitu menjadi warga negara yang cenderung berpijak pada modernitas sekuler di satu sisi, dan tuntutan keimanan di lain sisi. Tidak dapat dipungkiri bahwa ada kesenjangan antara ajaran Islam dan modernitas.

Hal ini disebabkan ajaran Islam merupakan kombinasi produk dari wahyu dan konstruksi pengetahuan beberapa abad lalu. Sedangkan modernitas adalah produk akal budi di masa kontemporer. Menurut Robert Audy, konflik terjadi ketika masyarakat berusaha menyeimbangkan komitmen keagamaan mereka dengan penalaran modern-sekuler (2003).

Pada dasarnya kesenjangan antara Islam dan modernitas terletak pada perbedaan parameter dalam mengukur dan menilai manusia dan Tuhannya. Bagi Islam, orientasi aktivitas manusia adalah untuk Tuhan. Sehingga kebaikan senantiasa dinilai dari seberapa besar kualitas ibadahnya kepada Tuhan. Hal ini mengandung pengertian bahwa amal kebaikan itu harus bernuansa penyembahan dan pengagungan kepada Tuhan. Pandangan seperti ini dapat ditemukan dalam hampir seluruh aliran teologi Islam, terutama Asy'ariyah.

Bahkan dalam pandangan politik pun para ulama menyatakan bahwa negara merupakan alat untuk menegakkan hukum Tuhan. Sebuah kitab yang sangat masyhur di kalangan Islam tradisionalis (penganut ahlus sunnah wal jama'ah dan mazhab Syafi'i), yaitu Al Ahkam As Sulthoniyyah, yang ditulis Imam A Mawardi, hingga ratusan tahun telah menjadi pedoman bagi umat Islam dalam membangun sistem politik. Mawardi menyatakan bahwa negara diciptakan untuk menopang agama. Karena itu bisa disimpulkan bahwa kedaulatan Tuhan berada di atas kedaulatan manusia.

Sangat berbeda


Dapat dibayangkan kesenjangan tersebut ketika dibandingkan dengan sistem politik modern, yang lebih menjunjung tinggi kedaulatan manusia ketimbang kedaulatan Tuhan. Tidak heran jika di masa awal perjalanan bangsa Indonesia terjadi perdebatan yang cukup panjang berkenaan dengan sistem politik Indonesia. Hal itu menggambarkan, dalam batas-batas tertentu, Islam di Indonesia mengalami kegagapan dalam berhadapan dengan modernitas.

Richard T Antoun, seorang pakar antropologi, dalam penelitiannya di Yordania dan beberapa negara Muslim Timur Tengah lainnya menemukan bahwa benturan antara agama dan modernitas itu disebabkan oleh kecenderungan modernitas menggeser dan menggantikan norma-norma yang sudah mengakar di masyarakat (2003). Salah satunya adalah 'efisiensi komersial' yang merepresentasikan nilai-nilai modern berhadapan dengan simpati manusiawi, yang merupakan ajaran hablum min an-nas dalam agama Islam.

Dalam pengalaman penelitiannya di tahun 1959, Antoun belajar mengaji secara intensif dengan seorang ustadz di sebuah desa, namanya Ustadz Lukman. Suatu ketika Antoun membuat janji untuk belajar dengan Ustadz Lukman di siang hari. Namun pada hari yang sama, tiba-tiba Antoun diajak oleh kepala desa untuk berkenalan dengan teman-temannya yang merupakan pejabat kepala desa lainnya.

Antoun menerima ajakan tersebut dengan syarat siang hari mereka sudah kembali karena ia punya janji dengan ustadz Lukman. Namun yang terjadi ternyata di luar dugaan. Tuan rumah menyembelihkan kambing untuk mereka. Kepala desa itu meminta Antoun untuk menghormati tuan rumah dengan menunggu proses penyiapan dan menikmati hidangan masakan tersebut. Ternyata Antoun malah bersikeras untuk tetap pulang dan membuat kepala desa dan tuan rumah itu kecewa padanya.

Apa yang dilakukan Antoun merupakan representasi dari nilai-nilai modern, yaitu kedisiplinan terhadap waktu. Modernitas mengkondisikan setiap orang untuk menaati waktu yang telah tersusun sedemikian rupa, dan itu adalah prinsip efisiensi. Di sisi lain, tradisi yang sebagian besar juga berakar pada agama, meskipun juga sangat menghargai waktu sebagaimana sering ditafsirkan dari Surat Al 'Ashr, lebih menekankan pada hubungan kehangatan pada sesama.

Fenomena serupa ternyata tidak hanya Antoun temukan pada penduduk desa, melainkan juga pada masyarakat terpelajar. Seorang dosen yang merupakan sahabatnya di American University of Beirut, misalnya, merasa dikecewakan ketika ingin bertukar pikiran dengan Antoun. Antoun menolak lantaran hari itu agenda kegiatannya sangat padat. Lagi-lagi Antoun merepresentasikan nilai-nilai modern yang ia pegang teguh dalam kehidupannya. Bagi Antoun, modernitas semacam itu tidak menjadi masalah untuk diterapkan, karena salah satunya disebabkan ia lahir dari lingkungan yang berakar pada modernitas. Tetapi bagaimana dengan masyarakat lain yang justru hidup dengan nilai-nilai kehangatan relasi sosial di atas efisiensi?

Jadi bumerang


Sejatinya kegagapan dalam menghadapi modernitas itu tidak serta merta melazimkan untuk meminggirkan agama dalam kehidupan bangsa. Turki adalah salah satu contoh negara yang melakukan kekeliruan dalam menghadapi problem tersebut. Sekularisme yang diberlakukan Turki, tanpa disadari justru menciptakan kondisi yang tidak mendukung bagi modernisasi Turki. Peminggiran agama dari ruang politik dan publik bukanlah solusi yang tepat. Menurut Robert D Putnam, Ilmuwan politik dari Amerika, prestasi dalam memodernisasi sebuah bangsa sangat tergantung pada sumber daya lokal (1993). Dengan kata lain, nilai-nilai tradisi yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat harus dilibatkan dalam proses modernisasi tersebut. Karena itu, sekularisme justru menjadi bumerang bagi modernisasi.

Kita patut bangga, karena sejarah pergulatan umat Islam dengan modernitas di Indonesia cukup mengesankan. Bahkan, Indonesia dapat disebut sebagai teladan bagi bangsa Muslim lain dalam mendialogkan Islam dan modernitas. Menurut Bassam Tibi, Indonesia adalah sebuah tempat yang paling cocok untuk dialog antara peradaban Islam dan modern-Barat (2003: 124). Karakteristik Islam yang toleran ini, menurut Tibi, dapat menciptakan kondisi yang mendukung untuk kebangkitan Islam.

No comments: