Oleh Abd Moqsith Ghazali
Relasi Islam dan Yahudi selalu digambarkan buruk. Dalam persepsi populer umat Islam, orang Yahudi dikenal sebagai sekelompok orang yang culas, keras, bahkan jahat. Pandangan itu didasarkan pada fakta sejarah, tatkala orang-orang Yahudi Madinah melanggar traktat politik yang disepakati bersama, Piagam Madinah. Tak terelakkan, konflik antara orang Islam dengan Yahudi pada akhirnya meletus.
Kelompok Yahudi Banil Mushthaliq di bawah komando al-Harits bin Abi Dlirar pun pernah berencana membunuh Nabi Muhammad SAW. Informasi tersebut terdengar oleh Nabi, lalu terjadilah peperangan. Sampai sekarang, kawasan Palestina bukan zona aman bagi penduduk negeri itu. Di Palestina, orang Yahudi dan Islam saling menghancurkan.
Dengan bukti-bukti itu, sebagian umat Islam segera menarik kesimpulan dan generalisasi perihal orang-orang Yahudi. Bahwa orang Yahudi memang tidak bisa dipercaya. Untuk memperkuat pandangan itu, dibacakanlah sebuah ayat Alquran, “tidak akan rela orang-orang Yahudi dan Nashrani hingga kalian (umat Islam) mengikuti agama mereka.” (Qs. al-Baqarah [2]: 120).
Ayat lain menyebutkan, “banyak dari Ahli Kitab yang menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran setelah kalian beriman, karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. al-Baqarah [2]: 109).
Ayat itu sebenarnya merupakan respons khusus terhadap perilaku orang-orang Yahudi seperti Ka`ab bin al-Asyraf, Hayy bin Akhthab, Abu Yasir bin Akhthab, Syas bin Qais al-Yahudi yang hendak me-Yahudi-kan orang-orang Islam. Sayang, status ayat yang sebenarnya bersifat sosial-politik itu dinaikkan menjadi ayat teologis. Akibatnya, seluruh orang Yahudi dipukul rata.
Kaum terpelajar tahu, generalisasi adalah simplifikasi. Sejarah membuktikan, tidak seluruh orang Yahudi berperilaku buruk terhadap umat Islam. Pertama, ketika berusia dua belas tahun, di tahun 582 M, Muhammad kecil menyertai pamannya (Abu Thalib) dalam kafilah dagang menuju Syam. Sesampai di Boshra, mereka bertemu dengan Buhaira (disebut juga Jirjis atau Sirjin), seorang pendeta Yahudi. Pendeta itu menegaskan, ada tiga manusia utama, yaitu Buhaira, Rubab al-Syana, dan satu orang yang sedang ditunggu. Orang itu, menurut dia, adalah anak muda yang sedang berada di sisinya, Muhammad.
Ketika kepergian kedua Muhammad ke Syam bersama Maysarah untuk menjalankan bisnis Khadijah (sebelum menjadi istrinya), Nestor (pendeta Yahudi) memberikan kesaksian tentang kenabian Muhammad. Nestor berkata, dia seorang nabi. Ini berarti pengakuan terhadap kenabian Muhammad justru pertama diberikan oleh orang Yahudi, Buhaira dan Nestor.
Kedua, Mukhayrîq, seorang Yahudi Bani Tsa`labah yang pintar dan kaya raya (menguasai ladang dan kebun-kebun kurma di Madinah), adalah salah seorang korban Perang Uhud. Di pagi hari, saat mendengar informasi akan berlangsungnya perang Musyrik Makkah dengan umat Islam, Mukhayriq memerintah pengikutnya agar tunduk pada Piagam Madinah.
Sebagaimana dalam Piagam Madinah, membela umat Islam dari serangan luar adalah benar. Ketika diprotes karena peperangan bertepatan dengan hari Sabat, Mukhayrîq menjawab: membantu Muhammad tak menodai hari Sabat. Dia menegaskan, Muhammad adalah ahli warisnya. “Jika gugur dalam peperangan nanti, semua hartaku kuserahkan kepada Muhammad untuk suatu keperluan yang akan Tuhan tunjukkan kepadanya,” tandas Mukhayrîq. Dia menyiapkan pedang, berangkat menuju Bukit Uhud, dan turut berjuang hingga akhirnya meninggal dunia. Mukhayriq adalah prototipe Yahudi yang taat asas dan kuat memegang kesepakatan.
Ketiga, orang-orang Yahudi pernah membantu umat Islam dalam penaklukan kota Andalusia. Pada zaman Daulah Abbasiyah, orang-orang Yahudi – selain orang Nashrani dan Shabi’ah – banyak membantu berjalannya roda pemerintahan. Saat itu, orang-orang Yahudi terlibat dalam proses penerjemahan buku-buku dari bahasa Yunani dan Suryani ke dalam bahasa Arab.
Fakta-fakta kesejarahan seperti itu penting diungkap ke publik agar umat Islam tahu bahwa selalu ada kelompok-kelompok di kalangan Yahudi yang berpikir objektif dan bertindak adil dalam menata hubungan dengan umat Islam. Itu penting untuk menata hubungan antaragama.
Sebagaimana dalam kelompok lain terdapat orang jahat dan orang baik, begitu pula halnya dengan orang Yahudi. Mereka tidak seburuk yang kita bayangkan.[]
*Penulis adalah peneliti the WAHID Institute.
No comments:
Post a Comment