Tuesday, July 10, 2007

Dari Sekularisasi ke Dimensi Publik Agama

IHSAN ALI-FAUZI

Di bawah payung menara-kembar toleransi, pola-pola hubungan agama dan negara yang lebih konkret bisa dirumuskan sesuai dengan ruang dan waktu. Dengan itu bisa dilampaui rumusan sederhana mengenai sekularisasi sebagai pemisahan "gereja" dan negara.

Belakangan ini teori sekularisasi kembali ramai diperdebatkan. Sebagian pemain lama, seperti Peter Berger yang menyunting Desecularization of the World (1996), mengaku bahwa teori lama mereka salah. Yang lain seperti Steve Bruce kukuh dengan pendapat lama. Yang lain lagi semacam José Casanova mengusulkan cara-cara baru dalam melihat sekularisasi. Tahun 2006 Hedgehog Review mengeluarkan edisi bagus dengan tema After Secularization. Sayang, isinya tak menunjukkan bahwa kita sudah berada di wilayah sesudah-sekularisasi.

Debat itu menghangat terkait dengan peningkatan pengaruh politik gerakan keagamaan: Kristen Kanan di AS, fundamentalisme Yahudi di Israel, fundamentalisme Hindu di India, dan fundamentalisme Islam di banyak tempat, termasuk di Eropa. Gejala ini tak saja mengganggu asumsi pokok teori sekularisasi, tapi juga rumusan lama tentang pemisahan gereja dan negara. Inilah momen ketika, meminjam Nancy Rosenblum (2000), kewajiban kewarganegaraan makin bergesekan dengan tuntutan iman; ketika orang berusaha menyeimbangkan komitmen keagamaan mereka dengan penalaran sekular dalam rumusan Robert Audy (2003).

Kedua perkembangan tersebut bersinergi dalam praktik politik. Teori sekularisasi bisa salah bisa tidak, masih adekuat atau tidak. Itu soal riset. Yang pasti, salah satu elemennya, yakni privatisasi agama, kini makin kuat bermetamorfosis ke dalam tema diskusi yang juga menghangat: agama dalam ruang publik. Bukankah para aktivis PKS, seperti kolega mereka pendukung Partai Demokrasi Kristen di Eropa, adalah warga negara yang aspirasinya wajib didengar?

Dua kubu besar

Sulit bicara memuaskan tentang debat sekularisasi dalam ruang terbatas ini, tapi secara garis besar ada dua kubu besar di sana.

Kubu pertama ialah teori sekularisasi klasik. Kita singkat saja dengan TSK.

Rumusan awal TSK diberikan Saint-Simon dan Comte yang memandang bahwa modernitas dan agama tak mungkin bersatu. Rumusan kemudian oleh bapak ilmu sosial modern (Marx, Durkheim, dan Weber) yang dengan alasan berbeda sama-sama sepakat bahwa era agama akan lewat. Di abad ke-20 teori sekularisasi bercampur dengan teori modernisasi: makin modern masyarakat, makin kompleks penataan hidup mereka, makin rasional dan individual mereka, dan makin kurang religius mereka.

TSK mengajukan sejumlah bukti. Yang cukup jelas, kita terus menyaksikan ekspansi lembaga-lembaga sekular dalam berbagai bidang yang memainkan peran yang dulu dimainkan agama. Para dukun makin kehilangan pasien sebab yang disebut terakhir beralih ke dokter, misalnya. Lalu dari jendela awal abad ke-21 ini kita mencatat kepercayaan Kristen Ortodoks terus merosot yang sebenarnya dimulai sejak awal abad ke-19.

Dua keberatan diajukan kepada TSK. Pertama menyangkut data: rentang waktu yang dijadikan bukti kurang panjang dan umumnya diambil dari sejarah Barat abad ke-20. Lagi pula, apakah betul Kristen Ortodoks merosot. Tidak mungkinkah ia sedang mengalami transisi, jadi tak sepenuhnya mati? Kedua menyangkut tafsir atas data. Jika benar klaim TSK bahwa sekularisasi diakibatkan modernisasi, kita berharap menemukan korelasi kuat dan langsung antara dimensi-dimensi modernisasi (urbanisasi, rasionalisasi, dan seterusnya) dan indikator-indikator sekularisasi (menurunnya partisipasi keagamaan) di sepanjang waktu dan tempat. Dari bukti-bukti secara umum, sepertinya kita menemukan korelasi itu. Namun, kalau variasi internalnya dilihat lebih jauh, yang ada adalah gambaran lebih kompleks. Bandingkan misalnya negara-negara Skandinavia yang amat sekular dengan Belanda yang kurang sekular. Bagaimana hal ini dijelaskan, padahal Belanda lebih dulu mengalami modernisasi?

Kubu kedua ialah model ekonomi agama. Kita singkat saja sebagai MEA.

MEA yang diinspirasikan ekonomi neoklasik berargumen bahwa vitalitas agama berhubungan secara positif dengan kompetisi agama dan secara negatif dengan regulasi agama. Ringkasnya: bila pasar agama didominasi sedikit "perusahaan" (gereja) besar atau banyak diregulasi negara, yang terjadi adalah tumbuhnya "perusahaan" agama yang geraknya lamban, "produk" agama yang buruk, dan tingkat "konsumsi" agama yang rendah. Dengan kata lain: stagnasi agama. Kata pendukung MEA, kalau ada variasi dalam vitalitas agama, itu tak disebabkan oleh sekularisasi, melainkan oleh perubahan-perubahan dalam "ekonomi agama". Kata Stark dan Iannaccone, dua dedengkot MEA, "Teori sekularisasi harus kita drop dari diskusi, kita makamkan, dan kita tulis RIP di atas makamnya."

Sejak dasawarsa 1980-an para pendukung MEA mempelajari hubungan antara pluralisme dan vitalitas keagamaan di AS. Umumnya mereka menemukan hubungan positif di antara keduanya. Vitalitas ini tak bisa dijelaskan kecuali dengan melihat keragaman organisasi-organisasi agama, kompetisi di antara organisasi-organisasi itu, kebebasan beragama, dan pemisahan yang tegas antara agama dan negara. Denominasi-denominasi mainstream yang usianya lebih tua di AS, seperti Katolik dan Episcopal, terus ditantang oleh gereja-gereja evangelis yang menuntut lebih banyak energi dan waktu dari para penganutnya, tetapi juga menawarkan produk lebih menarik.

Namun, kata lawan mereka, data MEA melulu diangkat dari kasus AS. Dari ranah Eropa, MEA tak bisa menjelaskan mengapa kongregasi di beberapa negara di Eropa Selatan seperti Spanyol terus bertahan: monopoli Gereja Katolik tak diikuti oleh menurunnya "permintaan" akan agama. MEA dianggap terlalu menekankan aspek-aspek institusional ("pasar agama" dan "regulasi agama") yang menawarkan agama, tetapi menyepelekan hasrat individual manusia akan agama. Bantahan MEA atas teori sekularisasi dianggap berlebihan: teori itu adalah teori mengenai perubahan sosial- struktural dan pengaruhnya terhadap agama, bukan teori mengenai perilaku individual yang menjadi fokus perhatian MEA.

Terobosan baru

Hingga titik ini debat sekularisasi seperti berjalan di tempat. Ada cara pandang Eropa dan AS dalam melihat persoalan ini, dan mereka tidak bicara mengenai hal yang sama. TSK mencirikan umumnya sosiologi agama Eropa (kata Casanova: menjadi semacam European fait accompli!). MEA banyak berkembang di AS.

Selain itu, kadang para ilmuwan sosial mencampuradukkan deskripsi tentang sekularisasi dengan hasrat mereka untuk menjadikannya sesuatu yang normatif. Di sini kita menjumpai tautologi: naiknya fundamentalisme agama dipandang hanya sebagai menunjukkan merebaknya perlawanan terhadap modernitas dan gagalnya modernisasi. Di sini teori sekularisasi "diselamatkan" dengan menjadikannya sesuatu yang normatif: agar sebuah masyarakat menjadi modern, maka ia harus sekular; dan agar ia sekular, masyarakat itu harus menempatkan agama di ruang-ruang yang nonpolitis karena aransemen ini esensial bagi masyarakat modern.

Namun, kemandekan diskusi di atas mungkin juga karena sekarang kita makin pintar. Kata José Casanova: "Bukan makhluk yang kita teliti yang berubah atau berbeda, tetapi cara kita melihat makhluk itu yang kini makin canggih."

Dari sini muncul sejumlah terobosan. Dalam Sacred and Secular (2004), Pippa Norris dan Ronald Inglehart mengeluarkan hasil survei mereka atas 80 masyarakat di dunia, mengenai hubungan antara apa yang mereka sebut existential security dengan sekularisasi. Di sini wilayah riset diperlebar, tapi faktor penjelas sekularisasi dipersempit. Data-data mereka menunjukkan: kelompok masyarakat dunia yang hidup sehari-hari anggotanya dipengaruhi oleh ancaman kemiskinan, penyakit, dan kematian dini tetap religius sebagaimana mereka religius seabad yang lalu. Namun, mereka juga mengalami pertumbuhan penduduk yang cepat. Sebaliknya, di masyarakat-masyarakat yang kaya, bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa sekularisasi sudah berlangsung setidaknya sejak pertengahan abad ke-20 (mungkin lebih awal), tapi pada saat yang sama, tingkat pertumbuhan penduduk di sana stagnan.

Jika dikombinasikan, catat Norris dan Inglehart, kecenderungan-kecenderungan di atas menunjukkan dua hal penting. Pertama, masyarakat-masyarakat yang kaya menjadi makin sekular, tetapi dunia secara keseluruhan makin religius. Ini akibat pertumbuhan penduduk yang jomplang.

Pada titik ini mereka sepakat dengan tesis Huntington tentang benturan peradaban. Bedanya, Norris dan Inglehart melihat bahwa benturan itu tak mesti berujung pada konflik kekerasan antara kubu yang sakral dan yang sekular. Itu tergantung pada sejauh mana kaum fanatik dan demagog di kubu masing-masing berhasil atau tidak dalam memanfaatkan jurang yang ada, untuk mengaktualkannya menjadi konflik kekerasan.

Terobosan lain ditawarkan Casanova. Untuk kepentingan analitis, menurut Casanova, penting bagi kita memilah tiga unsur dalam teori sekularisasi yang selalu dipandang sebagai bagian esensial dari modernisasi: (1) diferensiasi struktural yang terus berlangsung dalam ruang-ruang sosial, yang berakibat pada pemisahan agama dari politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan seterusnya; (2) privatisasi agama; dan (3) merosotnya peran sosial dari keyakinan, komitmen, dan lembaga-lembaga keagamaan.

Dari ketiga unsur di atas, kata Casanova, yang sepenuhnya mungkin untuk dikenai sekularisasi terhadapnya hanyalah unsur (1) dan (3), sedangkan unsur (2) tidak. Deprivatisasi (lawan privatisasi) tidak serta-merta merupakan penolakan atas teori sekularisasi karena hal itu dapat berlangsung dalam cara yang konsisten dengan prasyarat-prasyarat masyarakat modern, termasuk sistem politik yang demokratis. Dengan kata lain, soalnya bukanlah apakah agama itu pada esensinya bersifat privat atau publik, dan karenanya sesuai atau tidak dengan modernisasi dan Pencerahan, tetapi bagaimana agama menjadi publik.

Dimensi publik agama: toleransi kembar

Di sini kita sebenarnya sudah memasuki wilayah debat baru, yaitu mengenai batas-batas "publik" dari agama. Dalam pandangan Casanova, jika ekspresi publik agama atau deprivatisasi agama memperkuat bangunan masyarakat sipil (seperti di Polandia dan Filipina: Gereja Katolik mendukung demokratisasi) atau turut memajukan debat publik seputar nilai-nilai liberal (seperti di AS), maka hal itu sepenuhnya sejalan dengan modernitas. Namun, jika deprivatisasi agama menggerogoti masyarakat sipil (seperti di Mesir: kelompok fundamentalis Islam mengancam para pemikir Muslim liberal) atau kebebasan individu (seperti di Iran), maka hal itu merupakan pemberontakan terhadap modernitas dan nilai-nilai universal Pencerahan.

Di atas saya tengah mencoba menunjukkan penolakan Casanova terhadap identifikasi menyeluruh privatisasi agama dengan sekularisasi, bahwa deprivatisasi agama tidak sepenuhnya bertentangan dengan sekularisasi. Namun, ia sebenarnya juga sedang bicara mengenai hal lain, yakni bahwa ekspresi publik agama hanya mungkin dilakukan jika agama menjunjung tinggi toleransi dan pluralisme. Bagaimana Anda berharap bahwa ekspresi publik agama Anda diperbolehkan jika Anda tak membuka kesempatan bagi hal yang sama oleh agama lain?

Soalnya, prosedur Casanova di atas sebenarnya mensyaratkan penerimaan agama bukan saja atas modernitas, tetapi juga atas asumsi-asumsi wacana liberal tentang kehidupan dan politik. Artinya, agama harus siap masuk ke dalam ruang publik dalam rangka memperjuangkan kepentingan mereka melalui perdebatan yang rasional. Karena argumen publik bersifat trans-subyektif, seperti dikatakan John Rawls, maka apa pun yang berasal dari agama tak boleh diistimewakan hanya karena ia berasal dari wahyu. Ia hanya dapat diterima setelah terbukti dapat dibela oleh penalaran publik. Hukum agama (misalnya: agar ia bisa dibela dan dipraktikkan secara publik) harus terbukti memenuhi prinsip resiprokalitas, diterima menurut "nalar publik". Kepada musuh-musuh mereka, kalangan agamawan yang hendak mem-"publik"-kan agama mereka harus melakukan persuasi, bukan koersi.

Akhirnya kita harus menyinggung apa yang oleh Alfred Stepan (2001) disebut sebagai menara-kembar toleransi, sebagai pola pokok hubungan agama dan negara. Stepan merumuskannya secara negatif: kelompok-kelompok agama tak boleh melakukan apa pun yang bisa menghambat kebebasan pemerintahan yang terpilih untuk membuat dan menjalankan kebijakan. Demikian juga sebaliknya.

Di mana letak otonomi keduanya?

Untuk negara: lembaga-lembaga agama tak boleh memiliki hak istimewa yang memungkinkan mereka memaksakan mandat tertentu kepada pemerintahan terpilih. Pemerintah harus leluasa menentukan dan menjalankan kebijakan.

Untuk agama: individu dan kelompok agama tak saja diberi kebebasan menjalankan ibadah, melainkan juga mengedepankan nilai-nilai mereka ke hadapan publik, sejauh hal-hal itu tidak mengganggu kebebasan orang atau kelompok lain, atau melanggar prinsip demokrasi dan hukum dengan jalan kekerasan.

Di bawah payung menara-kembar toleransi itu, pola- pola hubungan agama dan negara yang lebih konkret bisa dirumuskan sesuai dengan ruang dan waktu dan, karena itu, tidak sakral. Dengannya kita bisa melampaui rumusan sederhana mengenai "pemisahan gereja dan negara" yang kadang mengacaukan. Ringkasnya: dimensi publik agama tidak boleh segera dicurigai hanya karena ia datang dari agama, sebagaimana ia tidak boleh segera diistimewakan dengan alasan yang sama.

Ihsan Ali-Fauzi Direktur Program Yayasan Paramadina, Jakarta

No comments: