Oleh : YUSUF TANTOWI*
Sejak dua bulan lalu, saya dengan beberapa teman menerbitkan Buletin Jumat Al-Masjid. Buletin ini dicetak sebayak 5000 eksemplar yang disebar di semua kabupaten-kota dipulau Lombok. Buletin ini kami terbitkan sebagai media pencerahan tentang berbagai isu keagamaan yang belakangan ini terjebak pada perdebatan bidah, sesat, dan kafir. Dalam konteks dialog, perdebatan seperti ini sudah tidak sehat.
Ketika pertama kali buletin ini disebar, kami mendapatkan respon yang sangat positif dari masyarakat. Indikatornya dilihat dari banyaknya permintaan dari Takmir (pengurus masjid). Bagi masyarakat, selain dibagikan secara gratis buletin ini dianggap sebagai bacaan alternatif ditengah keringnya materi khutbah yang disampaikan khotib. Materi yang disampaikan bahkan cendrung diulang-ulang.
Di Lombok Barat kami mendapatkan pengalaman penting. Seorang takmir tiba-tiba berujar kepada distributor buletin Al-Masjid. “Jangan dulu disebar disini, jangan-jangan ini buletin yang suka menyesatkan dan mengkafirkan masyarakat” cetusnya. Mendapatkan komentar seperti itu, distributor kami Lombok Barat kemudian menjelaskan maksud dan tujuan buletin jum’at ini diterbitkan. Setelah dijelaskan, ta’mir tersebut bisa menerima.
Mendengar respon takmir tersebut, kita mendapatkan gambaran bahwa munculnya klaim-klaim sesat, bidah dan kafir begitu sensitif bagi masyarakat. Bagi masyarakat desa yang sangat kukuh memegang tali kekeluargaan, klaim seperti itu bukan hal yang pamilier untuk dilakukan. Ia bisa berimplikasi tidak sehat, bahkan berpotensi menjadi triger (pemicu) pecahnya konflik komunal baru ditengah masyarakat.
Masyarakat sadar, konflik komunal sangat mudah disulut kalau itu mengatasnamakan agama. Mengenai masalah yang satu ini, kita di Indonesia khususnya Lombok sudah kenyang dengan pegalaman seperti ini. Mulai dari kasus penyerangan kampung Ahmadiyah di Gegerung, pembakaran rumah pengikut Salafi di Gunung Sari Lombok Barat, juga pembakaran masjid Salafi di Masbagek Lombok Timur.
Pengalaman serupa juga kembali saya alami ketika mengadakan workshop perdamaian di sebuah hotel berbintang di kawasan wisata Senggigi, Lombok Barat beberapa waktu lalu. Worskhop ini diadakan oleh Lembaga Kajian dan Pemberdayaan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU ini memang dihajatkan untuk membekali dan memotivasi tokoh-tokoh agama dan ormas Islam untuk peka dan sensitif terhadap gejala konflik bermotif agama dan adat dimasyarakat.
Hari kedua kami menghadirkan fasilitator dari Jakarta, namanya Piet A Manoppo, muslim. Ia seorang aktivis penggerak perdamaian yang banyak malakukan advokasi di daerah konflik Ambon dan Maluku. Usai memperkenalkan diri secukupnya, seorang peserta yang berasal dari Lombok Timur tiba-tiba interupsi. “Sebelum kita lanjutkan, saya ingin tahu bapak agamanya apa ?” cetus pria yang sudah menyandang haji itu.
Mendengar pertanyaan seperti itu Piet A Manoppo, tampak kaget. Namun ia berusaha menyembunyikan kekagetannya. “Bagi saya agama itu tidak penting, yang penting adalah cinta dan kasih sayang. Dengan cinta semua perbedaan dan kekurangan orang lain bisa kita maknai sebagai anugrah yang patut kita syukuri. Sekarang agama sudah menjadi alat pembenar untuk mengkafir, menyesatkan bahkan membunuh orang lain. Jadi agama sudah kehilangan keistimewaannya sebagai pembawa rahmat” jelasnya panjang lebar.
Ilustrasi di atas menggambarkan kepada kita bahwa umat Islam bukan hanya mulai kehilangan kemesraan terhadap pengikut agama lain, tapi dengan sesama muslim pun kemesraan itu ternyata memudar. Pada kasus di Lombok Barat dan Lombok Timur tadi mayoritas menjadi ancaman bagi minoritas. Di sini mayoritas telah menjadi penentu kebenaran bagi bagi kelompok minoritas.
Berbarengan dengan itu saya juga melihat mengerasnya konservatisme beragama. Model beragama seperti ini harus diwaspadai karena menjadi kekuatan imperialisme yang merampas kebebasan individu dalam menyatakan dan menikmati kebebasannya. Pada hal kebebasan adalah anugrah yang paling esensial yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia.
Belakangan pekerjaan besar umat Islam ialah menjelaskan kembali kepada publik bahwa Islam agama cinta damai. Islam juga mengharamkan segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan atas nama agama. Namun akibat ulah segelintir orang yang mengaku Islam, wajah Islam kini tidak lagi bersahabat bahkan nampak menyeramkan. Citra seperti tentu merugikan bagi umat Islam. Di negara-negara Barat Islam bahkan begitu dicurigai.
Kondisi di atas tentu memprihatinkan kita semua, termasuk tokoh-tokoh agama. Bentuk keprihatinan itu kemudian diwujudkan dengan terus mewacanakan pentingnya pluralisme beragama kepada masyarakat. Pluralisme yang dimaksud, bukan memposisikan semua agama sama tapi mengakui kebenaran lain di luar kebenaran yang kita yakini.
Yang paling strategis, pluralisme bertujuan meningkatkan kualitas kemesraan semua umat beragama. Melalui pluralisme umat beragama diajak untuk tersenyum dengan perbedaan. Meski tersenyum adalah perkara biasa tapi ia bisa menjebatani lahirnya ruang dialog yang sehat, terbuka dan tidak kaku menyikapi perbedaan.
Ini penting disemai sejak dini agar senyum tidak menjadi kekayaan yang hilang seperti yang ditakutkan oleh ‘resi manajemen’ asal Bali Gede Prama.Untuk merawat senyum dan kemesraan umat perlu ditumbuhkan kesadaran plural. Jika kesadaran plural ini tumbuh dibenak masyarakat beragama maka akan lahir harmoni serta energi kebersamaan yang semakin erat. Untuk itu semua ormas Islam juga bertanggungjawab mengkampanyekan Islam moderat kepada jamaahnya.
Islam yang mesra bukan berarti lemes dan lembek. Islam yang mesra justru dapat menerima perbedaan dan kekurangan masing-masing sebagai fakta sosial yang patut dihormati. Maka setiap yang merusak harmoni di tengah umat bagian dari musuh umat beragama. Puncaknya kita bersedia bermuamalah dengan aliran dan agama lain secara mesra. Jika Islam masih kita anggap bisa memberikan solusi terhadap berbagai problem umat, pilihannya tidak lain yaitu menyuarakan pesan agama yang sejuk dan menentramkan. Islam tapi Mesra!
*AKTIFIS JARINGAN ISLAM KAMPUS (JARIK) MATARAM DAN MASIH MENEMPUH STUDI DI IAIN MATARAM
No comments:
Post a Comment