Umat Islam di negeri ini jumlahnya mayoritas. Tahun 2000 persentasenya 89,22 persen dari total penduduk. Patut disyukuri bahwa jumlah sebesar itu telah mengantarkan Indonesia menjadi negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Tak berlebihan jika setiap dinamika Islam yang muncul di Nusantara tercinta ini selalu menjadi perhatian dunia, bahkan untuk isu terorisme yang sangat merugikan nama baik umat sekalipun.
Namun besar angka tak berarti selesai urusan. Mayoritas jumlah tapi minoritas dalam kualitas. Umat marginal secara politik, sekadar jadi maf'ul-bih alias objek penderita. Tertinggal dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Masih rendah mutu sumber daya manusianya. Kondisi kesehatan dan lingkungannya pun masih memprihatinkan. Lebih parah lagi kondisi ekonominya, masih dililit kemiskinan.
Kemiskinan bahkan masih menjadi momok terbesar umat Islam di negeri kepulauan nan luas ini. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga saat ini. Di era reformasi keadaan umat yang miskin tidak lebih baik. Padahal dari kemiskinan itulah segala hal bermula. Tak bisa memenuhi kecukupan makan, sandang, dan papan. Kesehatan rendah. Taraf pendidikan di bawah standar, bahkan ada yang tak bersekolah. Kondisi kesejahteraan pun tak memenuhi harapan hidup. Hidup umat jadi serba marginal.
Karena serba marginal, umat Islam di negeri ini tak bertenaga. Tidak memiliki daya hidup yang kuat, apalagi di atas standar. Kekuatannya sebatas demografis, itu pun terfragmentasi. Lebih sebagai kekuatan semu seperti gincu. Tampak dahsyat dari luar, tapi bagaikan genangan danau.
Menggelembung tak mengalir. Meminjam istilah Pak AR Fakhruddin, ibarat gajah bengkak (gajah abuh). Besar dan berpenyakit, karenanya sulit bergerak lincah. Padahal gerak merupakan lambang daya hidup selaku khalifat fiy al-arld.
Di negeri-negeri muslim pun kondisi umat tak jauh beda, kendati di Timur Tengah secara ekonomi baik. Tapi di negeri-negeri Afrika sangat parah, bahkan di bawah Indonesia. Sementara kaum Muslim di Timur Tengah secara politik tak dapat jadi uswah hasanah. Mereka tak berdaya melawan Israel, hingga sejak tahun 1948 belum berhasil membebaskan Palestina. Padahal negeri Zionis itu wilayahnya sempit, penduduknya hanya enam juta, dan posisinya dikepung negara-negara Arab yang kuat secara ekonomi dan militer. Negeri-negeri Islam itu besar tapi tak bersatu. Apa daya, jumlah besar bagaikan buih. Besar dengan gelembung putih tak berisi.
Padahal Tuhan telah memberi janji bahwa umat Muhammad ini akan menjadi khalifah yang berkuasa di muka bumi sebagaimana kejayaan umat terdahulu (QS An-Nur: 55). Janji Tuhan sangatlah tepat dan pasti, lebih-lebih diungkapkan dengan kalimat ta'qid (penguat). Namun karena tak memenuhi syarat, maka umat Islam masih belum jaya. Tak memenuhi syarat untuk menjadi khalifah yang digdaya di muka bumi ini.
Di negeri Nusantara tercinta ini apa yang bisa dilakukan dengan umat yang lemah atau marginal? Tak banyak yang dapat dilakukan, sebatas ikhtiar minimal. Bahkan sebaliknya, banyak yang menjadi bahan mobilisasi tak bertanggung jawab. Lebih-lebih mobilisasi politik dalam berbagai perhelatan. Ketika pemilu dan pilkada hingga pilkades mereka disapa dan kadang dimanjakan, tetapi sehabis pesta umat ditinggalkan dan tak dihiraukan. Para elite dan partai politik pun begitu gairah kalau sedang ada maunya. Mujahadah akbar, khaul, tabligh akbar, dan perhelatan berbau ritual agama pun digelar dengan penuh semangat. Tetapi usai hajat digelar, umat pun gigit jari.
Di negeri ini bahkan ada asumsi sekaligus komoditi politik menarik untuk umat yang marginal. Politik Islam katanya sangatlah penting dan strategis untuk amar makruf nahi munkar melalui kekuasaan. Melalui tangan negara. Memang tepat jika dijalankan. Negara dan institusi-institusi politik yang berada di dalamnya merupakan tangan yang efektif dan strategis untuk mengurus rakyat, termasuk umat Islam. Apa yang tak mampu dilakukan oleh tangan-tangan kekuasaan.
Namun apa daya. Negara, partai politik, dan para elite strategis di dalamnya hingga saat ini tak mampu menjalankan amanat rakyatnya, amanat umat. Keadaan bahkan sebaliknya, umat sekadar jadi sasaran mobilisasi belaka. Ketika umat dirundung musibah dan dililit kesusahan hidup, pemimpin puncak sibuk dengan tebar pesona dan urusan-urusan citra, juga sibuk dengan rencana politik 2009. Partai dan elite politik di parlemen pun lebih banyak mengurus dirinya, termasuk urusan kenaikan gaji dan tunjangan.
Partai politik Islam pun seolah tak jauh beda. Tak sungguh-sungguh peduli dengan urusan umat yang besar-besar seperti memecahkan kemiskinan, pengangguran, dan kesejahteraan rakyat/umat melalui kebijakan-kebijakan politik pro-rakyat. RUU APP saja hingga kini tak jelas nasibnya, padahal bagi umat itu penting karena menyangkut ikhtiar membangun akhlak dan melawan demoralisasi yang makin liar. Kadang umat sekadar diberi kembang gula politik seperti demo para aktivis politik dan pernyataan tokohnya yang menyenangkan hati umat seketika, tetapi tak mengubah keadaan. Apalagi memecahkan kemiskinan, pengangguran, dan marginalisasi sosial umat. Padahal, partai politik sesungguhnya harus bermain di aras kebijakan, bukan dalam kerja-kerja sosial dan keagamaan yang sebenarnya bukan wilayahnya. Partai politik dan para elitenya semestinya bergerak di jalur kekuasaan. Berbuatlah optimal bila perlu mati-matian di level kebijakan negara.
Kepemimpinan umat pun seolah kehilangan fungsinya yang efektif dan strategis untuk memberdayakan umat. Urusan pilkada dan perhelatan-perhelatan politik lainnya sering menyita energi umat dan para elitenya. Menteri Agama sampai melakukan kritik, para ulama sibuk dengan urusan politik, abai dalam mendidik dan mencerahkan umat. Nalar umat dipadati dengan urusan sesat-menyesatkan paham, yang membuat pikiran umat menjadi bernapas pendek dan hilangnya ruh kearifan dan kecerdasan. Sementara elemen umat yang galak, akhirnya menumpahkan energi keagamaannya untuk selalu marah dan melakukan tindakan kekerasan tanpa pertimbangan panjang, yang pada akhirnya meruntuhkan nama baik dan kehormatan Islam.
Padahal, kata Al-Mawardi, kepemimpinan umat itu harus hadir sebagai pantulan kerisalahan Nabi, yakni "fiy harasat al-din wa al-siyasat al-dunya". Menegakkan nilai-nilai agama dan mengurus urusan dunia dengan sebaik-baiknya. Nilai-nilai agama yang berbasis kerisalahan Nabi, tiada lain menjadi rahmat bagi semesta alam sebagaimana deklarasi Tuhan untuk risalah Muhammad: wa ma arsal-n-ka illa rahmatan lil-'alamin (QS Al-Anbiya: 107). Sedangkan siyasah (politik) adalah "sawas al-amr", mengurus urusan sesuatu (dunia) dengan baik dan benar, bukan pekerjaan siasat menyiasati dan akal-akalan.
Memang, tak mudah menghadirkan politik dan kepemimpinan umat yang membumi, yang menyentuh dunia nyata. Lebih-lebih dalam masyarakat dan bangsa yang masih dibalut budaya parokhial dan patrimonial. Dua institusi terpenting umat itu seringkali gagal dalam menyentuh dan memecahkan masalah-masalah konkret yang dihadapi umat. Apalagi untuk merambah persoalan-persoalan universal yang serba melampaui dunia umat. Kultur politik dan kepemimpinan umat alih-alih tak mampu menyelesaikan urusan-urusan dunia yang kompleks dan nyata, malah giat memproduksi simbol dan pesona kulit luar. Merah menyala di angkasa, tapi kehilangan substansi dan fungsi untuk membebaskan dan mencerahkan kehidupan umat di dunia nyata.
No comments:
Post a Comment