Ulil Abshar-Abdalla:
Puritanisme Akibatkan Kemiskinan Intelektual
25/06/2007
Sementara orang Muktazilah sangat rasional dan banyak menggunakan takwil dalam pemahaman teks. Mereka sangat rasionalis dan mementingkan aspek kebebasan manusia. Tetapi bukan juga berarti manusia bebas tanpa kendali. Mereka pun menekankan pentingnya tanggung jawab. Salah satu doktrin mereka yang sangat terkenal adalah prinsip al-wa’d wal wa`îd (janji Tuhan tentang imbalan dan sanksi).
Proses pencerahan Islam dapat juga dilakukan lewat pembacaan-ulang terhadap kekayaan tradisi intelektualisme Islam klasik. Bagaimana itu mungkin? Berikut perbincangan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Ulil Abshar-Abdalla, mahasiswa doktoral Universitas Harvard, Amerika Serikat, di Radio 68H Jakarta, Kamis (7/6) lalu.
Mas Ulil, apa kelebihan belajar Islam di Amerika?
Memang, banyak orang agak heran mengapa ke Amerika untuk belajar Islam. Kalau sudah ada di sana, kita akan tahu bahwa sebetulnya kajian Islam di dunia Barat sekarang ini berkembang dengan sangat pesat, dan jauh lebih baik daripada di dunia Islam sendiri. Dan saya kira, alasan paling utamanya mengapa di sana kajian Islam lebih maju dalam beberapa hal, adalah karena adanya aspek kebebasan. Nah, aspek kebebasan inilah titik kunci perkembangan pesat pemikiran Islam klasik sejak abad VIII-XV M sehingga membuatnya kaya.
Saya kira, salah satu ciri khas studi Islam di Barat, antara lain karena seorang sarjana dapat melakukan pengkajian atas Islam tanpa rasa ketakutan terhadap kesimpulan akhirnya. Itulah yang juga terjadi pada masa Islam klasik. Jadi, orang diberi kebebasan untuk melakukan kajian walau kesimpulan akhirnya mungkin saja berlawanan dengan kesimpulan yang ditentukan oleh lembaga resmi. Tidak ada kekhawatiran bahwa kajian itu nantinya berkesimpulan melawan doktrin yang dianggap ortodoks.
Kalau kita mengkaji masa Islam klasik, tentu saja ada lembaga yang mewakili ortodoksi Islam. Lembaga itu dianggap mewakili kebenaran resmi dan semua orang takut pada lembaga itu. Tapi, iklim kebebasan masa itu, kalau kita bandingkan dengan sekarang, jauh lebih dinikmati.
Apa saja faktor penyebabnya?
Faktonya tentu banyak. Antara lain yang cukup relevan adalah karena adanya spirit independensi atau otonomi intelektual. Jadi, seorang pemikir masih berani beraktivitas tanpa dibebani oleh madzhab tertentu. Dengan begitu, mereka mampu berpikir tanpa ketakutan apakah yang dia lakukan sesuai dengan pakem yang ada atau tidak. Otonomi intelektual inilah yang saya kira sangat penting untuk dikembangkan.
Tapi isu ditutupnya pintu ijtihad yang menandai kemandekan berpikir belakangan, saya kita tidak main-main. Adanya doktrin itu telah menyebabkan atmosfir pemikiran menjadi penuh dengan ketakutan. Kalau anda berpikir lain, menyalahi aturan madzhab yang ada, maka anda akan disebut orang kafir, murtad, ataupun melakukan bidah. Itu sangat meneror. Sebelum periode itu, orang masih sangat bebas untuk melakukan intellectual exercise.
Bisa Anda gambarkan kekayaan intelektual klasik Islam?
Kalau bicara kekayaan intelektual klasik Islam, saya tak hanya bicara mengenai pemikiran agama, tetapi dunia pemikiran Islam klasik secara keseluruhan. Kalau kita lihat, skup atau bidang kajian intelektual Islam klasik itu sangat luas sekali. Bukan hanya di bidang keagamaan, tapi juga di berbagai bidang yang dalam bahasa sekarang disebut humaniora, humanities, atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Misalnya teori dan kritik sastra, sejarah, musik, filsafat, kedokteran, logika, dan sebagainya. Di masa itu, perkembangan ilmu pengetahuan seperti mengalami peledakan luar biasa. Bukan saja pada aspek ilmu-ilmu keagamaan, tetapi juga aspek lainnya.
Yang perlu saya tekankan: pada masa itu, yang giat membawa obor kemerdekaan berpikir adalah orang-orang Muktazilah. Kalau anda melihat sejarah pemikiran Islam klasik, yang terdepan dan tokoh-tokoh utama dalam penelitian atau pengkajian ilmu sastra atau ilmu balaghah, adalah orang-orang Muktazilah. Misalnya, Yusuf as-Sakkaki yang menulis buku Miftâhul `Ulûm, sebuah buku dasar dalam teori kritik sastra Arab.
Di bidang tata bahasa Arab, yang terdepan dalam menuliskan buku-buku ini juga orang-orang Muktazilah. Di bidang teologi, mereka juga dikenal sebagai sangat rasional dan terdepan. Di bidang pemikiran hukum, mereka memang kurang menonjol. Tapi dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, mereka menonjol sekali. Dan itu semua adalah bagian dari kekayaan khazanah intelektualisme Islam klasik.
Seperti apa rasionalitas kaum Muktazilah itu?
Orang Muktazilah tentu tidak ingin merasionalkan semua perkara. Ada hal-hal yang memang tak bisa dirasionalkan. Jadi kalau mengatakan kelompok-kelompok tertentu menggunakan pendekatan rasional dalam agama, itu bukan berarti merasionalkan semuanya. Sudah barang tentu ada beberapa hal dalam agama yang tak mungkin dirasionalkan. Rasionalitas itu ada pada semangat umum pendekatannya. Menurut saya, pendapat Muktazilah bahwa Tuhan akan memberi ganjaran dan siksaan sesuai apa yang dilakukan oleh manusia adalah prinsip teologi yang rasional dan penting. Dari sanalah tanggung jawab moral manusia menjadi relevan dan penting.
Ada anekdot teologis yang saya suka dari almarhum Imadudin Abdurrahim, salah seorang pendiri ICMI. Dalam suatu kuliah tauhid, ia mengatakan: ”Ada dua bangunan yang saling berdampingan. Yang satu mushalla atau masjid, yang lain tempat judi. Kedua-duanya bangunan yang menjulang tinggi. Bedanya, tempat judi memasang penangkal petir, sementara masjid tidak. Kalau ada petir menyambar, yang kena petir tentulah masjid, meski itu tempat ibadah.”
Menurut saya, anekdot ini kongruen dengan prinsip Muktazilah tadi. Kalau Anda bekerja melawan hukum alam di dunia ini, Anda akan dihukum pula oleh hukum tersebut. Bagi Muktazilah, Tuhan pun bekerja dengan prosedur hukum alam itu. Tuhan sendiri tidak bisa bekerja melawan hukum alam. Intinya, Tuhan tidak bisa memperlakukan manusia secara semena-mena berdasarkan hukum yang tidak masuk akal.
Apa pentingya menghidupkan lagi semangat Muktazilah sekarang ini?
Ketika menyinggung Muktazilah, saya tidak mengatakan bahwa kekayaan intelektualisme Islam hanya milik Muktazilah. Muktazilah saya rujuk karena dalam masyarakat Islam sekarang, tampaknya ada kecenderungan kuat untuk takut kepada pendekatan akal dalam agama. Itu agak menyedihkan. Karena dalam tradisi Islam, ada salah satu kelompok yang sangat besar dan punya pengaruh cukup lama. Jangan lupa, Muktazilah punya peran yang cukup penting di dunia Islam dalam waktu yang tak kurang dari tiga abad.
Pengaruh mereka meluas dari Baghdad, ke daerah yang sekarang disebut Iran—seperti Khurasan, Nisabur dan Afganistan—sampai ke kawasan Mesir dan Yaman. Jadi, pengaruh mereka pernah membentang dari ujung paling selatan dunia Islam di Yaman sampai ujung paling utara di Afganistan. Itu luas sekali. Dan selama tiga abad itu mereka cukup dominan sebagai arus pemikiran. Tapi, karena alasan yang tidak bisa kita bahas dalam kesempatan ini, tiba-tiba kelompok ini menghilang dari sejarah. Dan saya kira, ini salah satu tragedi yang layak kita ratapi. Kita telah kehilangan satu arus yang amat penting dalam dunia pemikiran Islam.
Mengapa produk pemikiran Muktazilah layak kita kagumi sampai saat ini?
Menurut saya, era Muktazilah adalah periode penting dalam sejarah pemikiran Islam. Orang sering punya pemahaman salah terhadap Muktazilah. Mereka layak dikagumi sebagai the defenders of reason; pembela akal-budi dalam sejarah Islam. Dalam politik pun, orang Muktazilah, selain Khawarij, gigih menentang kekuasaan turun-temurun; kekuasaan politik yang ketika itu dominan. Ketika al-Makmun—Khalifah Abbasiah yang menjadi patron Muktazilah—menjadi penguasa, orang-orang Muktazilah masa itu justru tidak suka padanya. Ada banyak ulama atau sarjana Muktazilah yang tidak mau masuk struktur kekuasaan. Mereka tidak terlalu suka al-Makmun, meski mereka diberikan patronase. Intinya, mereka tidak suka dengan keseluruhan sistem politik Abbasiah yang berdasarkan garis keturunan atau kedinastian.
Sebab, orang Muktazilah berpendapat bahwa kekuasaan harusnya dipilih dengan cara yang demokratis. Mereka menolak tegas hadis yang mengatakan bahwa penguasa haruslah datang dari suku Quraisy. Ini bukan hadis yang mereka anggap valid. Menariknya, ketika al-Makmun menjelang meninggal, dia justru dibujuk oleh sejumlah orang sekelilingnya untuk mengangkat putranya sebagai pengganti. Tapi dia menolak karena dia adalah seorang Muktazilah. Dia tidak mau menetukan pemimpin sesudahnya.
Karena itu, yang jadi khalifah sesudah dia adalah adiknya, bukan anaknya sendiri. Dia menolak itu dan percaya pada prinsip Muktazilah yang mengatakan bahwa kepemimpinan harus demokratis. Jadi, meskipun al-Makmun bekerja dalam kerangka politik kekhilafahan, semangatnya tetap rasional dan sesuai dengan doktrin politik Muktazilah yang menolak adanya kekuasaan turun-temurun.
Bagaimana dengan noda politik Muktazilah yang dituduh bertanggungjawab terhadap tragedi inkuisisi Ibnu Hanbal dalam kasus kemakhlukan Alquran?
Itu adalah salah satu kesalahan besar Muktazilah yang harus diakui juga. Tapi harus diingat bahwa sarjana atau tokoh Muktazilah yang berada di balik peristiwa itu hanya satu orang saja, yaitu seorang qadhi yang saya lupa namanya. Jajaran tokoh-tokoh penting Muktazilah lainnya sangat tidak setuju dengan praktek inkuisisi. Mereka menganggap itu hanya urusan politik belaka.
Dalam hubungan antara agama dan kekuasaan politik, dapatkah Muktazilah disebut penyokong sekularisme?
Istilah sekularisme tentu tak bisa kita terapkan pada masa itu, karena tidak ada seorang pun yang berpikir di level itu. Bahwa orang seperti Mohammad Arkoun menyebut ada bentuk-bentuk sekularisme pada masa klasik Islam, itu soal lain. Tapi saat itu, semua orang, baik yang beragama Islam atau bukan, memandang bahwa urusan agama dan politik itu mesti bersatu. Tapi yang perlu diapresiasi dari Muktazilah adalah pendapat yang menghendaki kekuasaan yang demokratis, bukan didominasi kelompok tertentu secara turun-temurun.
Tapi kaum Khawarij kan juga menghendaki kekuasaan yang dipilih bebas?
Saya kira, bedanya sangat jauh. Pendekatan orang Khawarij dalam memahami agama sangat literalistik. Apa yang tertulis teks, mereka terima apa adanya. Sementara orang Muktazilah sangat rasional dan banyak menggunakan takwil dalam pemahaman teks. Mereka sangat rasionalis dan mementingkan aspek kebebasan manusia. Tetapi bukan juga berarti manusia bebas tanpa kendali. Mereka pun menekankan pentingnya tanggung jawab. Salah satu doktrin mereka yang sangat terkenal adalah prinsip al-wa’d wal wa`îd (janji Tuhan tentang imbalan dan sanksi).
Prinsip ini beda sekali dengan teori yang dikembangkan kelompok lain. Orang Jabariyah atau Asyariyah mengatakan bahwa Tuhan akan memberi pahala atau siksa kepada manusia semau Dia. Kalau Dia mau, Dia bisa mengganjar pahala atau menyiksa orang yang berbuat benar. Jadi, seolah-olah Tuhan adalah subyek yang seenaknya sendiri. Meski mereka tidak menyatakan itu secara eksplisit, tapi implikasi dari doktrin itu telah membebaskan manusia dari tanggung jawab moral.
Kita rindu Muktazilah. Tapi kata Fazlur Rahman, doktrin ortodoksi Islam telah dipertahankan tuntas lewat lembaga-lembaga pendidikan Islam. Apakah Anda melihat itu dalam dunia pendidikan Islam dewasa ini?
Kalau melihat kajian Islam di dunia pendidikan, sebenarnya saya kurang puas. Masih banyak hal kurang, terutama hilangnya keberanian untuk melakukan eksperimentasi dengan banyak gagasan dan teori-teori baru, serta kurangnya variasi pendekatan. Padahal, ketika menjadi seorang sarjana, Anda sebaiknya melupakan dulu beban iman anda. Jargonnya: kalau masuk kelas studi agama, Anda harus melepaskan iman anda untuk sementara waktu. Jargon ini sangat ditekankan dalam studi-studi agama di Barat. Anda harus berani melakukan kajian terhadap agama sendiri, meski kajian itu nantinya harus menabrak pakem ortodoksi dan kebenaran resmi. Bila anda masih dibebani pakem itu, anda bisa tidak bebas melakukan kajian.
Contohnya?
Anda tentu tahu mahasiswa doktroral yang menulis disertasi tapi kesimpulannya dianggap menyinggung kekuasaan resmi atau doktrin agama di Universitas al-Azhar, Mesir. Ia lalu diadili. Itu sangat tragis bagi dunia akademis. Kalau studi di Barat, Anda bebas mengkaji apapun. Anda bisa mengkaji Muktazilah, sekte-sekte Islam apapun, bahkan tokoh-tokoh yang subversif dan kritis terhadap agama. Anda pun dapat mengkaji tokoh-tokoh yang sangat bersimpati pada agama. Tapi pada akhirnya, Anda tidak diwajibkan untuk mengambil kesimpulan yang sesuai dengan kebenaran yang dianggap sudah final. Itulah yang saya sebut dalam salah satu artikel saya di Jawa Pos satu tahun silam sebagai agnostisisme intelektual.
Jadi, Anda harus menjadi seorang agnostik untuk sementara waktu, tepat ketika menjadi seorang pengkaji. Anda harus mengabaikan dulu doktrin agama. Tapi, itu tak berarti doktrin-doktrin agama dikesampingkan sama sekali. Anda tetap saja dapat menjadi seorang muslim yang taat dan beriman. Tapi, saat melakukan kajian ilmiah, Anda harus berani mengabaikan doktrin-doktrin itu untuk sementara waktu. Sebab, dalam tahap tertentu, suatu kajian yang ilmiah tidak mustahil akan bertabrakan dengan iman anda.
Kita ingin sekali menengok kembali tradisi Islam yang kaya. Tapi bagi kaum puritan, kita hanya perlu kembali ke Alquran dan Sunnah yang dianggap sebagai perampingan Islam dari unsur-unsur yang membebaninya. Bagaimana pandangan Anda tentang puritanisme ini?
Dalam sejarah agama-agama besar, selalu saja ada tendensi ke arah puritanisme. Juga dalam kekristenan. Martin Luther dan Calvinisme misalnya, punya juga semangat dasar puritanistik. Mereka ingin sekali membersihkan agama Kristen dari unsur-unsur bidah. Pada aspek itu, mereka bisa benar. Tapi, puritanisme bisa juga membawa jebakan lain: pengeringan intelektual. Dalam istilah Fazlur Rahman, puritanisme dapat mengakibatkan intellectual impoverishment; membuat kita miskin secara intelektual. Sebab, kita tak bersedia lagi melihat kekayaan tradisi yang berlimpahkan unsur rasionalisme, mistisisme, setengah rasional, dan macam-macam lagi.
Perlu diingat, tradisi penting sekali untuk kita lihat kembali agar perkembangan-perkembangan belakangan dapat kita carikan fondasinya. Misalnya dalam soal demokrasi. Salah satu aspek penting demokrasi adalah pemilihan bebas dan adanya sirkulasi kekuasaan secara damai. Itu salah satu pemikiran penting yang layak kita pelajari pula dari tradisi klasik Islam. Memang, pemikiran tradisi klasik Islam tentang itu tidak akan cemerlang lagi untuk konteks kita sekarang. Sebab, kita sudah menerima prinsip umum demokrasi dalam praktek. Tapi pada zamannya, itu adalah pemikiran yang cemerlang. Dan bagi umat Islam, penting untuk menunjukkan bahwa sebetulnya tradisi juga cukup memberi landasan. Tentu tak semua hal bisa kita carikan landasan tradisinya. Tapi dalam beberapa hal, itu bisa.
Sebagai perlawanan terhadap puritanisme, kini umat Islam kembali menggali tradisi intelektualisme Islam guna mencari pencerahan. Mengapa itu terjadi?
Karena kembali pada Alquran dan Sunnah saja, sebetulnya membuat kita terperosok ke dalam kemiskinan intelektual juga. Orang yang menganjurkan kembali kepada Alquran dan Sunnah, pada akhirnya juga tak bisa menghindar dari penafsiran-penafsiran masa klasik. Mereka juga merujuk al-Ghazali dan lainnya. Jadi, puritanisme itu memang mustahil. Bagaimana mungkin kita bisa meninggalkan tradisi intelektualisme Islam yang kaya itu kalau kita ingin mengembangkan tradisi baru?! Kalau ingin menghidupkan kembali semangat pencerahan Islam, bagaimana mungkin meninggalkan rujukan tradisi yang pernah berkembang di dalam Islam sendiri?!
Saya tidak mengatakan bahwa tradisi Islam klasik semuanya mengandung aspek pencerahan. Karena itu, kembali ke tradisi pun harus dengan semangat yang kritis. Tidak semua yang kita jumpai dalam tradisi bisa kita adopsi. Tapi banyak sekali hal yang bisa ditengok ulang. Misalnya tradisi pengkajian historis terhadap kitab suci yang dalam kekristenan disebut historical cristisism. Dalam Islam, tradisi ini sebetulnya sudah berkembang pesat dalam kajian ilmu Alquran. Buku sarjana Islam klasik seperti Imam as-Suyûthi, al-Itqân fî `Ulûmil Qur’ân, banyak sekali memuat bahan kajian Alquran yang kritis dan historis. Keberanian al-Suyûthi jauh lebih dahsyat daripada sarjana-sarjana zaman sekarang. [Novriantoni]
No comments:
Post a Comment