Haedar Nashir dan Pramono U Tanthowi:
Mereka memaknai Islam secara absolut dan harfiah. Tapi di sisi lain, Islam juga mengalami reduksi sedemikian rupa ketika hanya diterjemahkan sebagai syariat yang lebih condong ke aspek hudud (hukum pidana). Karena itu, ketika tampil dengan slogan mereka, yang muncul sesungguhnya adalah syariatisasi dan ideologisasi Islam yang berorientasi pada kekuasaan.
Perjuangan formalisasi syariat di tingkat negara tak pernah berhenti sejak republik ini berdiri. Kini, perjuangan itu diwakili oleh gerakan Islam syariat yang berpandangan salafiyah-ideologis. Mengapa gerakan ini tak pernah mati? Buku Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah-Ideologis di Indonesia memberi cukup jawaban. Berikut perbincangan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan penulis buku tersebut, Haedar Nashir (Ketua PP Muhammadiyah), dilengkapi komentar Pramono U Tanthowi, mahasiswa Ilmu Politik University of Hawaii, Amerika Serikat, di Kantor Berita Radio 68H Jakarta.
Pak Haedar, buku Anda, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, merupakan ulasan pertama tentang gerakan-gerakan Islam baru di Indonesia sejak era reformasi. Apa yang dimaksud dengan istilah �salafiyah ideologis� di situ?
Haedar Nashir: Penggunaan istilah �salafiyah-ideologis� itu saya rujukkan ke semangat puritanisasi yang tumbuh di dalam beberapa gerakan Islam setelah era reformasi. Menurut saya, ini gejala yang agak lain dari gerakan salafiyah pada umumnya. Salafisme memang merupakan gerakan kebangkitan Islam yang tekanannya pada pemurnian dan ingin menerapkan Islam secara otentik sebagaimana era salaf (generasi Islam perdana). Pada generasi salafiyah sebelumnya, gerakan-gerakan semacam ini bercabang menjadi kelompok yang fokus untuk pemurnian, dan yang lebih ke arah pembaharuan Islam.
Nah, salafisme yang muncul sekarang ini tekanannya justru lebih ke politik. Semangat puritanisasinya kemudian memeroleh tambatan pada aspek Islam dalam konstruksi syariat yang muara sebenarnya ke arah integralisme Islam yang telah tereduksi. Orientasi ideologis mereka tampak sangat kentara. Mereka ingin menerapkan syariat dalam konteks negara�syariat yang melembaga ke dalam negara. Dari situ saya menyimpulkan bahwa gerakan-gerakan ini lebih berorientasi ke tujuan-tujuan politik.
Apakah ada kelanjutan atau pertalian antara gerakan salafiyah ideologis ini dengan gerakan-gerakan Islam sebelumnya, seperti NII atau DI/TII dan unsur-unsur salafisme dalam Muhamadiyah sendiri?
Gerakan salafiyah awal, seperti Muhamadiyah, Nahdlatul Ulama dan lainnya, pada tahun 1930-an memang sempat juga berwacana soal ideologi negara. Tapi saat itu, konteksnya memang dalam rangka sedang mencari dasar negara. Ketika itu, semua segmen masyarakat Indonesia sedang mencari, termasuk kelompok nasionalis. Muhammadiyah dan NU lahir dalam pergumulan yang mulai paham tentang modernisme. Karena itu, tawarannya bersifat demokratis sekali.
Tapi di era sekarang, memang ada semacam kontinuitas, karena mereka juga menginginkan Piagam Jakarta melembaga kembali. Jadi, ada semacam dendam ideologis setelah kegagalan Piagam Jakarta. Tapi persambungan ini bukanlah model ideologis yang sama seperti di era 1930-an, tapi lebih bernuansa. Sekarang, gerakan-gerakan Islam syariat ini tumbuh di tiga wilayah besar yang selama ini dikenal sebagai basis DI/TII yang terkuat, yaitu Jawa Barat, Aceh, Sulawesi, dan beberapa daerah tertentu di Jawa Tengah.
Apa poin yang ingin Anda tekankan?
Poin kita adalah: ada dua konstruksi yang problematis dalam gerakan Islam syariat sekarang ini. Pertama, Islam mereka konstruksi sebagai ajaran yang k�ffah atau menyeluruh dan ingin dimasukkan ke hampir semua aspek kehidupan. Mereka memaknai Islam secara absolut dan harfiah. Tapi di sisi lain, Islam juga mengalami reduksi sedemikian rupa ketika hanya diterjemahkan sebagai syariat yang lebih condong ke aspek hudud (hukum pidana). Karena itu, ketika tampil dengan slogan mereka, yang muncul sesungguhnya adalah syariatisasi dan ideologisasi Islam yang berorientasi pada kekuasaan.
Kedua, dalam konteks kontinuitas dan diskontinuitas tadi, gerakan salafiyah ideologis ini dapat juga dilihat sebagai semacam sempalan dari yang sudah ada sebelumnya. Mereka seakan memutus mata rantai corak Islam Indonesia yang bersifat moderat dan terkadang tampil sebagai antitesis upaya domestifikasi Islam yang dibawakan oleh para wali dan generasi Islam awal abad XX. Akibatnya, yang terjadi adalah munculnya wajah Islam yang begitu absolut, lebih rigid, harfiah, dan cenderung tidak toleran terhadap pandangan orang lain.
Apa dampak gerakan ini jika kelak semakin meluas di tengah masyarakat Indonesia?
Ada tiga kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, suasana toleransi pada umat Islam akan semakin menyempit. Padahal selama ini, Islam menjadi dinamis karena keragaman internalnya. Tapi kalau gerakan ini menguat, kalau ada banyak pandangan yang bermunculan, cara menanggapinya bukan lagi dengan dialog, tapi fatwa dan klaim sesat-menyesatkan.
Kedua, proses dakwah Islam akan selalu bercorak struktural di mana orientasi akhirnya terletak pada perebutan kekuasaan. Memang, aspek kekuasaan juga penting guna membangun negara agar berfungsi untuk mengurusi rakyat. Tapi, ketika agama terlalu ambisius ingin masuk ke pusaran kekuasaan, itu justru akan mematikan gerakan pencerahan dan fungsi Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Ketiga, kendatipun umat Islam Indonesia di republik ini mayoritas, tapi secara sosiologis mereka tetap sangat beragam. Dan mayoritas itu justru �kaum abangan� dengan latar belakang sosio-kultural dan religiusitas yang tetap Islam. Nah, tampilnya corak Islam yang absolut dan serba syariat menjadi arus yang kuat, mungkin sekali akan menimbulkan fragmentasi di tubuh umat Islam sendiri. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan bagi mereka yang selama ini abangan dan sudah nyaman dengan corak Islam kultural untuk berpaling ke tempat lain yang lebih memberi kenyamanan secara teologis.
Apa rekomendasi buku yang diangkat dari disertasi Anda ini untuk gerakan Islam lainnya atau pemerintah?
Ada dua rekomendasi. Pertama, buat gerakan Islam yang sudah menjadi arus besar seperti Muhamadiyah dan NU, mereka perlu merevitalisasi gerakan dakwahnya. Tantangannya: bagaimana memperkaya khazanah keagamaan agar dapat menjawab problem-problem kultural dan struktural di masyarakat yang selama ini sedang mengalami krisis. Nah, jawaban-jawaban teologis yang penuh mozaik dari Islam mainstream ini, kemungkinan dapat menjadi alternatif bagi proses objektikasi dan netralisasi gerakan Islam syariat.
Kedua, bagi pemerintah, sejauh tak mampu memecahkan problem kemiskinan dan marginalisasi sosial karena peran yang salah kaprah, maka radikalisme atas nama apapun akan selalu tumbuh, termasuk atas nama agama. Dan ini akan memberi peluang bagi gerakan-gerakan Islam semacam ini untuk tetap tumbuh dan mekar di negeri ini.
Mas Pramono, Pak Haidar telah menjelaskan isi bukunya secara global. Anda punya pendapat lain tentang buku ini?
Pramono U. Tanthowi: Sejauh yang saya baca, buku ini menggunakan kata syariat sebagai variabel independen untuk menjelaskan adanya kelompok-kelompok Islam baru yang menggunakan isu syariat sebagai tujuan akhir pergerakannya. Jadi kata syariat digunakan sebagai penjelas untuk membedakan antara kelompok ini dari kelompok lain yang punya tujuan yang berbeda. Oleh Mas Haedar, kelompok ini dispesifikasi dari tujuannya. Semua kelompok Islam yang bertujuan menerapkan syariat Islam secara formal atau memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta sebagai dasar negara, ia sebut sebagai gerakan Islam syariat.
Unit analisis buku ini gerakan Islam apa saja?
Mas Haidar membaginya menjadi dua. Pertama, gerakan Islam syariat yang sifat gerakannya top-down. Yaitu organisasi-organisasi atau partai-partai yang memperjuangkan kembalinya Piagam Jakarta ke dalam konstitusi kita. Di dalam kelompok ini ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Kedua, gerakan Islam syariat yang sifat gerakannya bottom-up. Di sini terdapat kelompok-kelompok masyarakat atau organisasi yang justru memperjuangkan syariat Islam melalui peraturan-peraturan di daerah, instruksi bupati, dan instrumen lainya. Mereka-mereka ini memperjuangkan syariat melalui peraturan-peraturan di daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Menurut Anda, apa makna penting terbitnya buku ini?
Sejauh ini kita sering melabeli kelompok-kelompok yang disebut di atas secara berbeda-beda. Misalnya, kita sering mengelompokkan MMI, FPI, dan HTI ke dalam kelompok tersendiri. Sementara PPP, PBB, dan PKS berada dalam kelompok lain. Memang, sebagai berupa partai, dan sebagian lain berbentuk ormas. Nah, oleh Mas Haidar, mereka dipersatukan, karena mereka punya objektif yang sama, yakni ingin menerapkan syariat Islam secara formal di bumi Indonesia.
Kehadiran buku ini juga merupakan fenomena yang menarik. Karena fenomena gerakan-gerakan Islam baru ditulis oleh seorang sarjana yang dilahirkan dalam organisasi Islam sendiri (Haedar Nashir adalah salah seorang ketua PP Muhammadiyah yang mendapat gelar doktor sosiologi dari Universitas Gajah Mada, Jogjakarta, 2006). Untuk waktu cukup lama, buku-buku sejenis ini biasanya ditulis oleh para pengamat Barat. Karena itu, wajar bila terkadang mereka tidak memahami isi jeroan gerakan-gerakan semacam ini. Hadirnya buku ini sangat menggembirakan.
Apakah ada persinggungan ideologis antara gerakan-gerakan ini dengan ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah?
Soal persinggungan ideologis itu memang tak bisa ditutupi-tutupi. Tapi selain itu, ada juga konflik antara Muhamadiyah misalnya dengan PKS, MMI atau HTI. Itu memang terjadi secara faktual. Saya kira, di lingkungan NU juga ada keprihatinan yang sama. Organisasi-organisasi Islam yang sudah dianggap mapan seperti Muhammadiyah dan NU terkadang mengalami semacam erosi atau intervensi dari luar dan itu menggerogoti aspek keorganisasian dan keanggotaan mereka.
Apakah NU dan Muhamadiyah tidak memperjuangkan syariat sebagaimana mereka?
Yang membedakan Muhamadiyah, NU, dan organisasi-organisasi yang dibahas di buku ini adalah: organisasi-organisasi ini memperjuangkan syariat Islam secara struktural melalui lembaga-lembaga kenegaraan. Mereka berjuang di level konstitusi atau paling kurang sudah membentuk peraturan-peraturan daerah berbasis syariat Islam. Sementara itu, Muhammadiyah dan NU memperjuangkan syariat melalui dakwah yang bersifat kultural dan lebih personal. Itu yang membedakannya secara mencolok. Perbedaan lain: Muhamadiyah dan NU sudah menerima NKRI dan Pancasila sebagai keputusan final. Sementara gerakan-gerakan ini tetap memperjuangkan syariat Islam di tingkat negara.
Apakah penerimaan terhadap NKRI dan Pancasila itu didasarkan atas kesadaran bahwa teokrasi tidak baik bagi negara atau karena apa?
Kita harus paham bahwa dalam sejarahnya, baik Muhammadiyah maupun NU sangat gencar memperjuangkan Piagam Jakarta di era 1950-an. Dan keduanya sudah jatuh-bangun dan banyak makan asam-garam dalam perjuangan aspirasi umat Islam Indonesia. Tapi kemudian mereka tahu bahwa ada sesuatu yang salah kalau mereka tetap memperjuangkan aspek itu. Pertanyaan kita kini: mengapa gerakan-gerakan yang memperjuangkan hal itu selalu muncul?
Mas Haidar menemukan jawabnya. Ternyata, selalu ada reproduksi gagasan dan adanya peluang-peluang yang memberi kesempatan ke arah itu. Peluang itu terkadang dipicu juga oleh perkembangan sosial-politik di tingkat nasional. Dalam buku ini dijelaskan bahwa kelompok-kelompok seperti ini selalu muncul setiap kali terjadi krisis berskala nasional seperti krisis ekonomi dan sosial-politik. Jadi, mereka memang tak ada matinya. Pertanyaan besar buku ini memang itu; kok tidak ada matinya, ya?! Jawaban yang ditemukan adalah: mereka ternyata selalu melakukan reproduksi gagasan salafiyah ideologis.
Harry J. Benda dalam Bulan Sabit dan Matahari Terbit, menyimpulkan bahwa sejarah Islam Indonesia adalah sejarah perluasan peradaban santri dalam berbagai aspek kehidupan. Kalau begitu, apa yang meresahkan dari gerakan Islam syariat ini?
Sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sebab fenomena kebangkitan Islam sejak era reformasi ternyata tidak punya korelasi yang positif dengan pilihan politik mereka. Contohnya, pada Pemilu 1955 (pemilu demokratis pertama) total suara pemilih partai Islam berjumlah sekitar 43%. Tapi di era reformasi, baik pada Pemilu 1999 maupun 2004, total suara pemilih partai Islam yang memperjuangkan syariat tidak sampai 40%. Jadi ada penurunan. Karena itu, bagi saya tetap ada fenomena yang menggembirakan. Yaitu, adanya kebangkitan gairah keagamaan di tingkat masyarakat, tanpa dibarengi oleh pilihan-pilihan politik yang semakin Islamis.
Tapi ketika secara umum kekuatan politik mereka lemah di tingkat nasional, gerakan ini malah mampu mewujudkan formalisasi syariat di berbagai daerah. Kenapa bisa begitu?
Saya kira, mereka mulai sadar bahwa tantangan memperjuangkan syariat di tingkat konstitusi terlalu besar. Banyak sekali tantangan politik dan ongkosnya pun terlalu besar. Karena itu, mereka menggunakan strategi lain, yaitu strategi makan bubur panas. Mereka bergerak dari pinggir-pinggir untuk menuju ke tengah. Kini mereka baru punya kekuatan elektoral yang cukup di tingkat parlemen di beberapa daerah. Ketika dukungan masyarakat Islam untuk formalisasi syariat cukup kuat, mereka akan mengembangkan formalisasi syariat di tempat itu. [Novriantoni]
No comments:
Post a Comment