Friday, July 27, 2007

Demokrasi dan Kesadaran Manusia

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Setelah enam bulan menjabat Presiden Ceko-Slovakia, Vaclav Havel, pada 29 Juni 1990 menyampaikan pidato di depan Parlemen Federal negara itu tentang demokrasi. "Sesuai dengan tradisi, semangat mengubah kesadaran manusia adalah bagian dari demokrasi yang sesungguhnya dan hal itu tidak akan berfungsi dengan baik tanpa ada sistem ekonomi." (Vaclav Havel, Menata Negeri Dari Kehancuran, terj. Biro Penerjemah PP dan A.Rahman Zainuddin. Jakarta: Dian Rakyat-Yayasan Obor Indonesia, 1995, hlm 256-257).

Kutipan itu mengatakan dua syarat pokok yang harus dipenuhi untuk berhasilnya sebuah demokrasi, yaitu terwujudnya perubahan kesadaran manusia pendukung dan adanya sistem ekonomi yang mantap yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Sekalipun Havel berangkat dari realitas Ceska yang ketika itu baru saja terlepas dari penjara komunisme yang sekian lama membunuh kesadaran warga, nilai universal pernyataan itu tidak diragukan lagi.

Untuk Indonesia, para politisi dengan partainya masing-masing adalah komponen yang paling bertanggung jawab bagi berhasil atau gagalnya pelaksanaan demokrasi, karena konstitusi kita memang diarahkan ke sana. Akibatnya kekuatan independen, kecuali di Aceh, menemui jalan buntu untuk berhak maju sebagai calon untuk jabatan eksekutif. Di mata Havel, demokrasi menuntut perubahan kesadaran manusia, di samping adanya sistem ekonomi yang efektif sebagai penunjangnya. Pada kedua ranah ini Indonesia masih sangat lemah, jika bukan rapuh.

Tengoklah kelakuan sebagian besar politisi kita yang belum siuman akan tanggung jawabnya untuk membela rakyat yang diwakilinya. Kesadaran mereka tentang kondisi abnormal bangsa ini hampir nol. Korupsi yang masih merajalela, lautan kemiskinan yang terbentang luas, dan jaringan narkoba yang sedang mengepung bangsa ini, belum cukup kuat untuk menggugah kesadaran politisi kita, dari pucuk sampai ke akar, keadaannya hampir tak berbeda.

Suasana mental yang semacam itulah yang menjadi salah satu sebab mengapa Indonesia masih saja berjalan seperti keong dalam mengurus dirinya. Bukan karena kesalahan demokrasi sebagai sistem politik, tetapi karena kualitas politisi kita yang rata-rata berada di bawah standar minimum. Sistem politik otoritarian masa lampau telah menutup pintu bagi munculnya politisi berkualitas sebagai tangga awal untuk menjadi negarawan.

Bersamaan dengan itu sistem ekonomi sejak kita merdeka tidak pernah berpihak kepada rakyat kecil sebagai penghuni terbesar nusantara ini. Tahun 1950-an muncul Gerakan Asaat untuk membela pribumi yang miskin itu, tetapi kandas di awal kebangkitannya. Kecenderungan ekonomi kapitalistik menjadi faktor utama mengapa gerakan prorakyat itu harus dipukul. Di era Orba, yang muncul justru kapitalisme semu dalam format kongkalikong antara pengusaha dan penguasa. Tren semacam ini masih belum juga berubah sampai hari ini. Aset negara menjadi sasaran rebutan para oportunis ini.

Memang bencana alam telah datang silih berganti plus bencana Lapindo yang membuat rakyat yang terkena musibah menjadi putus asa. Tetapi, jika demokrasi dan sistem ekonomi kita berpihak kepada rakyat, tidak ada masalah besar yang tidak dapat diselesaikan. Kesadaran untuk berpihak inilah yang belum juga muncul dari hati dan kepala para elite bangsa ini yang masih saja senang berkicau di atas panggung politik dari pemilu ke pemilu. Jika borok politik ini tidak juga sembuh dalam tempo dekat, maka rasa muak dan bahkan benci terhadap demokrasi akan bermunculan, dikira demokrasilah yang menjadi biang kerok dari segala ketidakpastian ini.

Sebab itu, kesadaran untuk berubah ke arah sikap mental yang berpihak menjadi syarat mutlak bagi terciptanya sebuah bangunan demokrasi yang sehat dan kuat. Di luar itu, cita-cita mulia demokrasi yang menghormati hak asasi dan kebebasan manusia akan tetap saja menggantung di awan tinggi, sementara warga di bumi berjalan sempoyongan karena kelaparan dan janji-janji kosong setelah lebih 60 tahun kita merdeka. Inilah Indonesia, sebuah negeri elok di sekitar katulistiwa, tetapi menemukan para petualang yang sarat dengan dosa dan dusta, manusia tuna kesadaran.

No comments: