Yusman Roy:
Akhlak Mulia, Buah Shalat Berkualitas
18/06/2007
Ajaran Islam sendiri melarang permusuhan di antara sesama muslim dan menjadikan mereka sebagai saudara. Karenanya, kita harus tetap menjaga kerukunan dan menghindari aksi hujat-menghujat. Semua itu bukan bagian dari akhlak yang mulia. Saya yakin orang yang shalatnya diterima Allah akan tercermin di dalam budi pekertinya.
Gagasan shalat dua bahasa membawanya ke penjara. Setelah satu setengah tahun masa kurungan, ia masih belum bebas menjalankan keyakinan tentang pentingnya shalat dua bahasa. Bagaimana gagasan shalat dua bahasa muncul dari Yusman Roy? Berikut perbincangan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Pengasuh Pondok Iktikaf Ngaji Lelaku, Malang itu, di Kantor Berita Radio 68H Jakarta, Kamis (31 Mei) lalu.
Pak Roy, bagaimana awal mula Anda mengenal agama?
Sebenarnya ini berawal semata-mata dari faktor usia. Sejak usia remaja, sudah ada kesadaran pada diri saya tentang perlunya melakukan kebaikan. Terus terang, saya cemburu pada teman-teman yang bisa berkelakuan baik dan punya moralitas tinggi. Ini terjadi sekitar tahun 1980-an. Karena itu, saya turun dari ring tinju (Roy adalah mantan petinju profesional) setelah sempat memecahkan rekor tercepat KO tinju profesional di Indonesia.
Dari sana saya mulai iri melihat teman-teman yang berkelakuan lebih baik dari saya. Lalu saya mulai mempelajari agama dan membaca Alquran yang ada terjemahannya. Saya juga mulai belajar bahasa Arab. Alhamdulillah, setelah itu saya jadi tahu persis bahwa segala sesuatunya akan kembali kepada kekuasaan Allah. Allah berfirman: “Allah akan menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.” Hal ini tak bisa ditawar-tawar. Allah berkenan memberi petunjuk dan membimbing saya, sehingga pintu hati saya dibukakan untuk memahami Islam.
Sebelum memeluk Islam, seperti apa riwayat keberagamaan Anda?
Bapak saya Islam, tapi ibu saya keturunan Belanda yang beragama Katolik. Karena itu, di masa kecil, saya beragama Katolik. Tapi, pilihan beragama pada waktu itu bukan atas dasar kesadaran, tapi lebih karena ikut-ikutan. Karena itu, saya belum bisa merasakan kenikmatan beribadah kepada Allah. Dan secara otomatis, kenakalan-kenakalan masa kecil tak bisa dihindari, sampai memasuki usia remaja dan menjalani profesi sebagai petinju.
Jujur saya katakan, saya pernah hidup di masa jahiliah. Artinya, terlalu bebas dan tidak memakai aturan-aturan. Tapi itu bagian dari hidup saya yang tidak bisa dipisahkan. Dan itu juga hal yang patut saya syukuri. Karena itu, memasuki usia ke-52 ini, saat melihat anak-anak nakal, saya tak terlalu pesimistis. Saya tetap punya harapan. Sebab, diri saya yang dulunya nakal nggak ketulungan, toh bisa sadar dan berhenti juga. Dan alhamdulillah, tiba-tiba Allah membukakan pintu hati saya untuk berijtihad dengan gagasan shalat dua bahasa yang diterima sebagian kalangan muslim.
Anda ingin menekankan bahwa dalam kehidupan itu ada fase-fase atau terminal-terminal yang harus dilalui orang?
Ya. Itu saya katakan sesuai dengan filsafat Jawa: aja dumeh. Maksudnya, kalau melihat sesuatu yang kurang pas, janganlah terlalu dikecam, tapi kita arahkan ke arah yang lebih baik. Istilahnya selalu bil hikmah atau dengan kearifan. Jangan bertindak diskriminatif karena itu tak akan memberi kesempatan kepada orang untuk berbuat baik. Berikan orang kesempatan untuk berbuat baik. Caranya banyak.
Dalam hidup, saya sudah terbiasa melihat anak-anak nakal. Kuncinya: bagaimana kita, sebagai orangtua, mengarahkan yang muda tanpa rasa sakit hati. Kebanyakan orangtua nelangsa ketika melihat anak muda yang nakal. Mungkin itu karena tidak ada pembekalan yang cukup pada orangtua tentang bagaimana mendidik anak yang tak cocok dengan keinginannya. Padahal, itu justru memukul hati sendiri. Biarlah sang anak berkembang sendiri.
Adakah guru yang ikut membimbing Anda masuk Islam dan menginspirasi untuk punya gagasan tertentu tentang Islam?
Awalnya saya mengaji syariat dasar kurang lebih lima belas tahun. Setelah itu saya tingkatkan lagi dengan mengambil jurusan bil hikmah. Itu lima tahun, dengan seorang kiai yang cukup ternama di Surabaya dan Malang. Jadi 20 tahun saya menuntut ilmu. Setelah 20 tahun menuntut ilmu, saya lalu mengemas gagasan untuk memperbaiki kulitas shalat, baik sendiri maupun berjamaah.
Mengapa secara spesifik memilih shalat?
Karena dari sanalah saya berangkat memperbaiki akhlak saya pribadi. Shalat itu tiangnya agama. Dan di dalam agama dikatakan juga bahwa “Inna as-shalâta tanhâ `anil fahsyâ’i wal munkar (sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan buruk dan kemunkaran)”. Itu tercantum dalam Alquran surat 29: 45. Jadi saya ingin ada pembentukan karakter melalui shalat.
Tapi shalat jenis apakah yang Anda maksud?
Memang tidak sembarang shalat. Tiwas orang sudah kelihatan aktif shalat, tapi karakternya tetap tak berubah; masih tetap ada kefasikan-kefasikan. Ini sungguh menusuk hati saya. Banyak orang yang aktif shalat tapi juga jadi penjahat besar. Setelah saya dekati, ternyata benar apa yang saya prediksi: mereka melafalkan bahasa Arabnya saja. Mereka tak tahu artinya. Inilah yang jadi masalah.
Padahal dalam Alquran surat al-Ma’un (4-5), Allah berfirman: “Fawailun lil mushallîn, alladzîna hum `an shalâtihim sâhun” (celakalah pelaku shalat yang melalaikan shalatnya). Lalai di sini banyak aspeknya. Bisa juga karena tidak tahu konsekuensi dari apa yang dibaca dan apa yang didengarnya.
Sebab biasanya, ketika orang mendengarkan imam dalam shalat, bisa jadi sang makmum tidak paham maksud dan pesan dari ayat-ayat yang dibacakan imam. Sehingga tidak ada yang bisa diingat. Dari sanalah saya menyimpulkan adanya orang yang gagal shalat, dan itu celaka betul. Dalam surat Maryam ayat 59, Allah berfirman: “Maka datanglah sesudah mereka golongan yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya. Maka mereka kelak akan menemui kesesatannya.”
Menurut saya, orang yang menyia-nyiakan shalat itu jumlahnya cukup lumayan, termasuk saya sendiri dulunya. Akibatnya, banyak orang yang shalat, tapi masih banyak yang melakukan kejahatan. Bagi saya, hanya shalat yang berkualitaslah yang bisa membuat orang berakhlak karimah. Saya membuktikan, dengan memperbaiki kualitas shalat, kehidupan saya ternyata mulai stabil. Dari sana saya mulai menular-nularkan pengalaman kepada orang lain.
Kapan fase kesadaran itu tumbuh?
Pas sudah dewasa, ketika saya sudah punya anak dan mulai mengasuh sebuah pondok di Malang. Pondok itu saya bangun untuk menampung teman-teman yang datang dengan membawa berbagai masalah. Ada yang sumpek, karirnya gagal, dan sebagainya. Mereka saya arahkan untuk sembahyang dengan memahami apa yang dia baca dalam shalat yang menggunakan bahasa Arab. Untuk itu, di pondok saya, ketika shalat jamaah, bacaaan Alquran sang imam selalu disertai dengan terjemahannya.
Itulah yang disebut shalat dua bahasa; shalat yang selama ini dianggap kontroversial dan sering diliput. Banyak orang menganggap itu sesat-menyesatkan serta menodai agama. Akhirnya, saya ditangkap dan didakwa telah menodai agama lewat pasal 156A KUHP. Tapi dalam proses hukum di pengadilan, dakwaan itu tidak terbukti. Setelah beradu argumen dengan MUI, dengan para saksi ahli, saya tidak terbukti menodai agama.
Jadi, apa yang kami lakukan ini sesungguhnya legal menurut hukum negara. Mengimami shalat berjamaah dengan bahasa Arab disertai terjemahan sesuai dengan bahasa suatu kaum agar para makmumnya bisa memahami pesan-pesannya, itu pun ada landasan hukum dan hujjah-nya.
Meski begitu, saya tetap ditahan selama kurang lebih satu setengah tahun dengan alasan lain (dakwaan subsider): dianggap menyebarkan permusuhan. Inilah yang membuat saya tidak puas. Saya orang Islam yang tidak pernah ingin menebar permusuhan, apalagi dengan sesama muslim. Ajaran Islam sendiri melarang permusuhan di antara sesama muslim dan menjadikan mereka sebagai saudara. Karenanya, kita harus tetap menjaga kerukunan dan menghindari aksi hujat-menghujat. Semua itu bukan bagian dari akhlak yang mulia. Saya yakin orang yang shalatnya diterima Allah akan tercermin di dalam budi pekertinya.
Selain shalat dua bahasa, apa lagi yang Anda layani di pondok?
Di pondok, saya juga menerima rekan-rekan yang datang dengan berbagai masalah. Mereka saya terima dengan gratis, alias tanpa pungutan apapun. Tidak ada zikir-zikir atau terapi khusus untuk menangani mereka. Di pondok, saya hanya menekankan unsur kedisiplinan diri dan ketakwaan kepada Allah. Mereka saya haruskan menaati peraturan-peraturan pondok, apapun bentuknya, sepanjang tak melanggar ajaran Alquran dan sunnah rasul.
Dengan takwa itulah sikap dan mental mereka diharpkan berubah. Dalam pada itu, mereka saya ajarkan shalat, maksud dan tujuannya. Allah menyatakan “walâ taqrabus shalâta wa’antum sukâra, hattâ ta`lamû mâ taqûlûn” (janganlah kalian shalat dalam keadaan mabuk, sehingga kalian tidak mengetahui apa yang kalian ucapkan!).
Anda mengibaratkan shalat dengan bahasa yang tidak dimengerti pelakunya seperti shalatnya orang yang teler?
Ya, betul. Jadi tuntutannya: bagi orang yang shalat dengan bahasa Arab yang masih baku, ia harus paham maksud dan tujuannnya. Karena itulah saya menciptakan cara shalat dua bahasa. Dalam surat al-A’raf ayat 204 dinyatakan “wa idzâ quri’al qur’ânu fastami`û lahû wa anshitû la`allakum turhamûn” (dan apabila dibacakan Alquran kepada kalian, maka dengar dan perhatikan dengan seksama agar kalian mendapat rahmat).
Dari ayat itu, saya menyimpulkan adalah keharusan yang tak bisa ditawar-tawar bagi orang yang mendengarkan ayat Alquran untuk memahami maksudnya. Kalau dia tidak mengerti, itu berarti pelanggaran atas anjuran Alquran. Akibatnya, shalatnya tidak bisa membekas. Jadi, itulah dasar saya menggagas shalat dua bahasa.
Bagaimana Anda memahami hadis Nabi berikut: shallû kamâ ra’aitumûnî ushallî (shalatlah kamu sebagaimana aku shalat!)?
Hadis tersebut bisa dikatakan sahih kalau dikaitkan dengan firman Allah yang menyatakan “Innas shalâta tanhâ `anil fahsyâ’i wal munkar”. Artinya, dengan hadis itu, Nabi berkomentar: “Kamu itu, kalau mau shalat, mbok ya seperti saya! Apakah saya arogan, jahat, dan sebagainya?!” Artinya, ini berkaitan dengan perilaku yang dihasilkan oleh shalat. Jadi bukan hanya soal bahasanya yang harus diperhatikan, tapi lebih pada akhlaknya.
Karena itulah Nabi mengatakan: ”Shallû kamâ ra’aitumûnî ushallî.” Yang perlu dicatat, dalam masalah shalat, saya tak pernah mengurangi hal-hal yang prinsip. Semua sama dengan yang lain. Bedanya, saya menyertakan bacaan-bacaan yang pakai bahasa Arab itu dengan terjemahan Indonesianya. Dan ini bagi saya ada perintahnya di dalam ayat Alquran sendiri. Saya lebih berpegang pada ayat suci Alquran dalam soal ini.
Apakah tidak malah jadi dagelan kalau ayat yang dibacakan dalam shalat dua bahasa itu malah ayat ”demi kuda yang berlari kencang” (wal â`diyâti dlabhâ), misalnya?
Para imam yang menjadi pemimpin shalat dua bahasa sudah barang tentu orang-orang yang cerdas dan bisa membaca situasi dan kondisi. Kalau misalnya sedang marak perjudian, maka yang dibacakan adalah ayat-ayat tentang perjudian. Dengan begitu, fungsi shalatnya ada. Sebab Allah berfirman “Wa aqimis shalâta li dzikrî” (tunaikanlah shalat untuk mengingatku!). Karenanya, untuk apa malah dibacakan ayat yang tidak-tidak?! Nah, di sini dituntut adanya imam yang cerdas dan bisa membaca situasi dan kondisi. Dengan itu, ia mampu menyampaikan pesan-pesan Allah yang terkait dengan persoalan yang aktual.
Ada yang bilang, soal shalat yang mengatur hubungan pribadi kita yang langsung dengan Tuhan saja kok diributkan. Biarlah bacaan-bacaaan shalat jadi seperti mantra yang tidak perlu dipahami, agar terkesan lebih sakral. Tanggapan Anda?
Memang ada benarnya; masalah shalat saja kok diributkan! Tapi perlu diingat, justru masalah ini menjadi hal yang sangat ironis. Karena shalat yang saya lakoni, saya justru harus dipenjara. Padahal, saya pribadi punya tujuan baik. Lebih ironis lagi, tak pernah ada yang berniat untuk berdialog dengan saya. Dengan tangan-tangan kekuasaan, orang-orang langsung memerintahkan untuk menangkap dan menghukum saya. Karena itu saya juga berkesimpulan, kalau shalat seseorang memang berkualitas, pasti dia terhindar dari perbuatan munkar.
Pak Roy, menurut Anda unsur apa dari agama yang paling penting?
Tentu saja budi pekerti. Kalau kita berangkat dari agama yang konsisten, akan ada buahnya, yaitu adanya akhlak yang karimah. Nabi Muhammad sendiri menyatakan bahwa dia diutus untuk menyempurnakan budi pekerti. Jadi inti dari agama itu ada pada akhlak. Nah, bagi kita yang beragama impor ini sudah barang tentu harus paham artinya dan isi pesannya. Kalau bahasanya saja kita tidak tahu, bagaimana kita bisa menghayati isinya. [Novriantoni].
No comments:
Post a Comment