Friday, July 20, 2007

Koran » Opini

Jumat, 20 Juli 2007

Akulturasi Islam-Barat

Oleh : dwo

Rifqi Fauzi
Mahasiswa Jurusan Hadits Universitas Al Azhar Kairo, Mesir.

Peradaban merupakan inti dari maju mundurnya suatu negara ataupun agama. Mesir kuno, Yunani kuno, Romawi kuno dan Cina kuno, disebut sebagai negara yang maju disebabkan mereka mempunyai perdaban yang maju. Malah, ketika negara mereka hancur, peradaban mereka terus bertahan dan bisa mempengaruhi perdaban-perdaban yang lain.

Islam sebagai agama yang lahir melalui kerasulan Nabi Muhammad SAW, membawa perdaban baru bagi dunia ini, sehingga Islam dalam waktu 23 tahun dapat mempengaruhi peradaban paganisme jahiliyah bangsa Arab. Pengaruh Islam ini kemudian juga menjalar terhadap peradaban-perdaban lain akibat perjuangan para sahabat yang secara gigih menyebarkan Islam ke seluruh penjuru jagat raya ini. Samuel Huntington dalam tesisnya clash of civilization, menjadikan peradaban Islam sebagai ancaman terbesar bagi peradaban Barat masa kini.

Sudah menjadi hukum alam jika suatu peradaban di dunia ini terpuruk, maka ia akan mengadopsi peradaban yang lebih maju. Islam, pada mulanya mengalami masa kejayaan dari mulai akhir masa kekhalifahan bani Umayyah, dilanjutkan kemajuan pada masa kekhalifahan bani Abassiyah. Tapi kemudian Islam mengalami kemunduran dengan runtuhnya kekhalifahan bani Utsmaniyyah oleh gerakan sekularisasi Kemal Ataturk di Turki. Akibat dari keruntuhan itu, di akhir abad ke-19 ini Islam banyak mengadopsi perdaban Barat, sebagai langkah untuk memajukan kembali peradabannya.

Tapi, haruskah umat Islam mengadopsi seluruh peradaban yang menjadi hak milik Barat, dan meninggalkan identitasnya sendiri? Padahal identitas Islam sudah terbukti berhasil selama berabad-abad dan pernah menjadi pemegang peradaban di dunia ini, sebelum akhirnya harus beralih ke Barat.

Belajar dari ulama klasik
Selama ini banyak umat Islam yang melupakan sejarah sendiri, sehingga mereka hanya mengenal Barat sebagai penggagas mutlak terjadinya revolusi industri di abad ke-17 M. Padahal 10 abad sebelumnya, umat Islam sudah mulai mempelajari ilmu pengetahuan yang menjadi kontribusi penting bagi terjadinya Revolusi Industri di Barat . Terbukti, pada akhir abad ke-7 M Khalid bin Yazid (cucu pertama dari khalifah bani Umayyah) merupakan sosok yang pertama dalam sejarah kekhalifahan umat Islam yang belajar Ilmu kesehatan kepada John (seorang ahli bahasa dari Alexandria). Beliau juga belajar kimia kepada Marrinos dari Yunani (Dr Sharif Kaf Al-Ghazal:2005). Setelah itu dimulailah penerjemahan besar-besaran yang dilakukan pada zaman bani Abassiyah.

Perpustakaan Bait Al Hikmah yang didirikan oleh Khalifah Al Ma’mun berisi para penerjemah yang terdiri dari orang Yahudi, Kristen, dan para penyembah Bintang. Di antara para penerjemah yang cukup terkenal dengan produk terjemahannya itu adalah Yahya ibn Al Bitriq (wafat 200 H/ 815 M) yang banyak menerjemahkan buku-buku kedokteran pemikir Yunani, seperti Kitab Al Hayawan (buku tentang makhluk hidup) dan Timaeus karya Plato. Al-Hajjaj ibn Mathar yang hidup pada masa pemerintahan Al Ma’mun menerjemahkan buku Euklids ke dalam bahasa Arab serta menafsirkan buku Al Majisti karya Ptolemaeus. Abd Al Masih ibn Na’imah Al Himsi (wafat 220 H/ 835 M) yang menerjemahkan buku Sophistica karya Aristoteles.

Yuhana ibn Masawaih seorang dokter pandai dari Jundisapur (wafat 242 H/ 857 M) yang kemudian diangkat oleh Khalifah Al Ma’mun sebagai kepala perpustakaan bait Al Hikmah, banyak menerjemahkan buku kedokteran klasik. Seorang penerjemah yang sangat terkenal karena banyak terjemahan yang dilahirkannya adalah Hunain ibn Ishaq Al Abadi yang merupakan seorang Kristen Nestorian (194-260 H/ 810-873 M). Ulama-ulama kita, meski mempelajari sains Yunani, Romawi, Alexandria, dan sebagainya, tidak serta-merta mereka mengadopsi keseluruhan Ilmu-Ilmu yang dipelajarinya sehingga mengubah world view Islam yang selama ini dipegang teguh. Konsep ketuhanan ilmuan Yunani berbeda dengan ajaran tauhid Islam, sehingga para ulama kita tidak mengadopsinya. Mereka malah mencoba mengritknya, sehingga kita kenal adanya ilmu kalam. Umar bin Khatab pernah meniru kodifikasi undang-undang dari Rumania akan tetapi beliau menolak undang-undang Yustinian Pertama (483-565 M) karena bertentangan dengan syariat Islam.

Barat adapatasi Islam
Abad ke-13 M merupakan akhir dari pengembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Setelah itu kekacauan demi kekacauan terjadi dalam Islam. Di antara kekacauan itu adalah penjajahan bangsa Mongolia terhadap Islam pada tahun 1218-1268 M dan meletusnya perang salib Konstatinopel Bizantium pada tahun 1204. Disusul Imprelialisme Prancis atas Timur Tengah pada 19 Mei 1798 yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte dengan membawa 38 ribu prajurit dan 400 kapal. Napoleon mendaratkan 4.300 prajurit di Alexandria untuk merebut kota tersebut. Napoleon membangun kerajaan di Mesir, kemudian ia membawa kaum intelektual serta membangun sebuah perpustakaan yang penuh dengan literatur Eropa modern, dan sebuah mesin cetak berhuruf Arab (Karen Amstrong:2002). Selain melalui penjajahan, bangsa Barat juga banyak menerjemahkan buku-buku ilmuwan Islam seperti karya Ar Razi, Jabir, Ibnu Sina, dan lain-lain.

Sebagaimana ilmuwan Islam terdahulu, sewaktu mengadopsi ilmu pengetahuan dari peradaban kuno, ilmuwan Barat pun ketika mengadopsi ilmu pengetahuan dari Islam tidak serta-merta mengambil keseluruhan Ilmu Islam. Mereka tidak menjadikan filsafat Ibnu Rusyd sebagai pegangan, akan tetapi mereka menjadikan Ibnu Rusyd sebagai pen-syarah dari filsafat Aristoteles. Sehingga yang diambil bukan filsafat Ibnu Rusyd yang penuh ajaran Islam akan tetapi mereka mengambil ajaran Aristoteles itu sendiri.

Muhammad Imarah dalam bukunya Ghazwul Fikri, menyebutkan bahwa, ada beberapa ajaran Islam yang tidak diadopsi oleh Barat ketika mereka mempelajari sains Islam. Di antaranya, pertama, Barat tidak mengadopsi ajaran Islam yang memadukan syariat Islam dengan kehidupan dunia. Mereka memisahkan dunia dari agama. Kedua, mereka tidak mengambil ajaran Islam yang mengutamakan kemaslahatan bersama, akan tetapi kehidupan mereka bersifat individualis. Ketiga, Barat tidak mengambil ajaran yang mengutamakan akhlak dan ganjaran akhirat dalam amalan, akan tetapi mereka beramal sesuai syahwat mereka. Keempat, mereka tidak mengambil ajaran kekhalifahan sebagai sistem negara akan tetapi mereka mengambil sistem demokrasi. Jadi, sangatlah rugi jika umat Islam sekarang harus terkontamitasi dengan nilai-nilai Barat ketika mereka mencoba mengadopsi peradabannya, seperti liberalisme, sekularisme, feminisme, dan lain-lain. Padahal hal itu hanya akan mendekontruksi nilai-nilai keagungan Islam, yang telah dipegang teguh selama berabad-abad. Mengapa umat Islam tidak mencontoh cara Barat dalam mengadopsi perdaban Islam, sebelum akhirnya mereka berhasil memegang peradaban dunia?

Ikhtisar
- Peradaban yang runtuh biasanya terdorong untuk mengadopsi peradaban lain yang memimpin dunia.
- Proses adopsi ini tidak lantas dilakukan dengan meninggalkan identitas aslinya.
- Peradaban Islam di masa kejayaannya pun diadopsi oleh peradaban Barat. Proses adopsi ini dilakukan dengan tetap mengedepankan identitas Baratnya.
- Sangatlah merugi jika saat ini banyak umat Islam yang mengadopsi budaya Barat dengan menanggalkan identitas keislamannya.

No comments: